Jumat, 24 September 2010

Video Gambaran Indismart.mpg

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.


Berry Natalegawa Jalan Kaki 420 Mil London-Edinburg Untuk Unicef

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.





LONDON--Seorang ayah dari tiga putra melakukan jalan kaki sepanjang 420 mil dari London ke Edinburgh untuk mengumpulkan dana bagi anak-anak UNICEF di Indonesia. Berry Natalegawa (48) yang lama menetap di Inggris kepada koresponden Antara London, Rabu menyampaikan rencananya untuk berjalan kaki selama dua minggu yang dimulai Kamis 22 Mei mendatang.

Berry Natalegawa, dari Limesdale Gardens, Edgware, London berharap dapat mengumpulkan dana sebesar 250.000 Poundsterling untuk UNICEF dengan berjalan sepanjang 420 mil dari London ke Edinburgh. Duta besar RI untuk Kerajan Inggris dan Republik Irlandia Yuri Thamrin secara khusus menyampaikan penghargaan kepada Berry Natalegawa yang akan melakukan kegiatan sosial itu

Sebagai warga Indonesia yang tinggal di UK sudah sepantasnya dan berkewajiban melapor Life`s walk in aid of UNICEF ini ke KBRI, ujar Berry. Dubes Yuri Thamrin dan KBRI London akan mendukung rencana Barry yang dinilai sangat positif, apalagi UNICEF juga mempunyai banyak program Indonesia, ujarnya.

Menurut Berry, tujuan hanya satu. "Saya ingin menolong orang-orang yang tidak mampu dan terbelenggu dalam serba kekurangan," ujar adik Menlu RI Marty Natalegawa. Dikatakannya diberbagai belahan dunia banyak anak-anak yang hidup sengsara dan menderita tanpa kemampuan untuk keluar dari kondisi yang di hadapi nya.



Berry memberi contoh peristiwa Haiti dan Chile, juga gempa di Indonesia yang menyebabkan anak-anak selalu menjadi korban.

Diakuinya Mengapa saya melakukan jalan, karena ia benar-benar terdorong untuk bergerak dan melakukan sesuatu, ujar suami Zulindatando Berry Natalegawa yang dinikahinya August 1987. "Saya benar prihatin dan sedih melihat keadaan di sekitar, yang seringkali menyangkut anak-anak," ujar arsitek yang memiliki usaha konsultan disain.

Di Asia, juga di Afrika kita selalu mendengar dan tidak jarang melihat sendiri kesulitan yang berkepanjangan, mulai anak-anak sampai usia lanjut. Menurut Berry yang sebelumnya melakukan lari 10 Km untuk amal itu ingin melakukan sesuatu dalam hidupnya yang dapat merubah paling tidak dapat meringankan penderitaan anak anak di dunia.

Ia mengakui, "Kali ini saya melakukan sendiri, maksudnya tanpa peserta lain yaitu berjalan dan melangkah, satu demi satu, yang dapat dimanifestasikan sebagai perjuangan seseorang." Berry mengakui jarak antara London dan Edinburgh cukup jauh. "Saya harus menghadapinya sendiri," ujarnya yang disebutnya sebagai Life`s walk. Satu Journey, satu life`s walk.
Red: Krisman Purwoko
Sumber: ant

Jangan Bangga Jadi Guru "Killer"

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.






sumber: http://www.klubguru .com/2-view. php?subaction= showfull& id=1285250752& archive=& start_from= &ucat=1&




*JAKARTA, KOMPAS.com* — Metode pendidikan Indonesia yang mengutamakan
pemberian nilai buruk pada siswa sebagai salah satu bentuk hukuman
menjadikan anak-anak Indonesia yang cerdas menjadi tidak percaya diri.
Padahal, seharusnya sistem pemberian nilai yang tepat ialah memberikan
nilai sebagai wujud memberi semangat, seperti yang dilakukan di negara maju.
Hal itu diungkapkan Prof Rhenald Kasali, PhD, Guru Besar Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia (UI), di sela-sela acara Education Fair SMA Kanisius,
Jakarta, Kamis (23/9/2010).

Menurut Rhenald, keadaan ini masih terus berlaku di Indonesia. "Sampai hari
ini dosen atau guru masih melakukan seperti itu. Jadi, kalau orang enggak
bisa, enggak dibantu cari jalan keluarnya, tapi malah dibikin jadi panik,
dibuat makin tidak mengerti dengan dikasih nilai jelek. Rasanya ada
kebanggaan jadi dosen killer," katanya.

Rhenald melanjutkan, di luar negeri justru kebalikannya. "Di negara maju
(Amerika), anak saya bahasa Inggrisnya jelek justru dikasih nilai exellent.
Tujuannya mendorong memberikan kesempatan sehingga akhirnya dia menjadi
lebih percaya diri. Metode mereka (sekolah luar negeri) ialah orang
di-encourage supaya bersemangat dan akhirnya mau menjadi exellent," katanya.




Apabila Indonesia menerapkan metode ini, dampaknya sangat besar bagi murid
karena mereka akan menjadi lebih percaya diri. "Sebenarnya anak-anak kita
pintar, cuma tidak punya rasa percaya diri karena yang nilainya A kan hanya
5 sampai 6 persen, sementara yang 90 persen nilainya rata-rata," kata
Rhenald.

Kondisi ini tidak terlepas dari perilaku dosen atau guru di Indonesia yang
menerapkan metode model penjajah. "Perilaku dosen atau guru-guru di
Indonesia terjadi karena belajar dari dosen-dosen sebelumnya, model penjajah
bahwa anak itu bodoh, anak itu tertindas," katanya.

Selain itu, banyak orang menjadi guru atau dosen bukan karena panggilan
diri, melainkan karena tidak punya pilihan dalam hidup. "Dengan begitu,
ketika mereka menjadi guru atau dosen, mereka menjadi cenderung sangat
berkuasa. Karena juga dibayar rendah, mereka merasa dirinya berkuasa. Ketika
muridnya ternyata kurang cerdas, mereka cenderung ingin menghukum dan
menendang ke luar kelas. Mereka hanya bangga pada mereka yang mendapat nilai
A," papar Rhenald.
JAKARTA, KOMPAS.com — Metode pendidikan Indonesia yang mengutamakan
pemberian nilai buruk pada siswa sebagai salah satu bentuk hukuman
menjadikan anak-anak Indonesia yang cerdas menjadi tidak percaya diri.
Padahal, seharusnya sistem pemberian nilai yang tepat ialah memberikan
nilai sebagai wujud memberi semangat, seperti yang dilakukan di negara maju.

Menurut Rhenald, keadaan itu bisa diubah dengan seleksi ulang bagi para
guru. "Harus ada seleksi ulang bagi para guru, jadi ada penataran atau
pelatihan sehingga modal menjadi guru tidak hanya mengacu pada hard skill,
tetapi soft skill-nya juga," ujarnya.

Yang dimaksud soft skill, lanjut Rhenald, adalah motivasi, penggilan hidup
sebagai tenaga pendidik, dan keinginan untuk mengembangkan orang lain.
"Tidak hanya memandang dari segi akademisnya. Jadi, harus ada penilaian pada
behavioral competencies, " tambah Rhenald

Jumat, 17 September 2010

Ayo Belajar dan Berdiskusi Internet Sehat di Acara Blog Vaganza

Segera bergabung di www.indi-smart.com














Kamis, 16 September 2010

Menyiasati Agar Anak Tidak Sering Menonton TV

Segera bergabung di www.indi-smart.com


Judul asli: MengAkali TV bagi anak
oleh -Meti Mediyastuti-




Televisi adalah media hiburan yang sangat diminati semua orang, Pengaruh Media terhadap anak makin besar, teknologi semakin canggih & intensitasnya semakin tinggi. Padahal orangtua tidak punya waktu yang cukup untuk memerhatikan, mendampingi & mengawasi anak. Anak lebih banyak menghabiskan waktu menonton TV ketimbang melakukan hal lainnya.

Dalam seminggu anak menonton TV sekitar 170 jam. Apa yang mereka pelajari selama itu? Mereka akan belajar bahwa kekerasan itu menyelesaikan masalah. Mereka juga belajar untuk duduk di rumah dan menonton, bukannya bermain di luar dan berolahraga. Hal ini menjauhkan mereka dari pelajaran-pelajaran hidup yang penting, seperti bagaimana cara berinteraksi dengan teman sebaya, belajar cara berkompromi dan berbagi di dunia yang penuh dengan orang lain.

Sebenernya Televisi ada sisi Positif dan Negatifnya, tapi lebih banyak Negatifnya, ketimbang positifnya, terbukti dengan banyaknya Iklan yang sangat merusak anak, anak bisa meniru, juga bisa merengek apa yang ada dalam Iklan tersebut.

Yaa tergantung kita sebagai Orang tua, kita yang harus punya konsistensi buat anak hehehe...serius amat neh gw*_*
Aku coba sama Anakku sendiri, aku berusaha konsisten...matikan TV sekarang juga, ALhamdulillah berhasil..oya mungkin judul postingan ini hampir sama ama postingan terdahulu yang pernah aku tulis, tapi, tentu dong beda heheheh...

Nah postingan kali ini, aku sangat berharap, gimana caranya mengAkali Tv buat anak, karena Anak sekarang gak bisa terhindari dari TV, kecuali si TV itu gak ada sama sekali di rumah hehehe

Dan aku coba anak-anakku nonton TV hanya sabtu Mingu ternyata berhasil, ketika Azka anak sulungku hari jumat pulang sekolah udah langsung minta dinyalakan TV, karena besoknya libur, Nah dalam waktu anak menonton TV, kita juga harus bisa mendampingi anak2 nonton apa...

Aku selalu berusaha :
disekitar TV selalu disimpen banyak mainan kesukaannya, plus Buku-buku yang digemarinya, karena anakku suka sama buku juga, dengan demikian Anak akan buyar konsentrasinya, anak akan memilih mainan atau buku-buku yang ia gemari.

Walopun acaranya seru banget, tetep tidak akan konsentrasi full pada TV, atau kita bisa candain mereka di depan TV, itupun sangat berhasil, Apalagi kalo dah Iklan anak-anak akan pindah konsentrasi pada maenanya, padahal anak2 biasanya paling suka liat Iklanna, tapi dengan cara tadi dengan mainannya, anak akan buyar terhdap TV, lebih memilih mainan yang didepannya ketimbang TV, bener lho...aku lakuin sama anak-anakku hehehehe.

Sampe akhirnya anak meninggalakan itu TV dan anak konsentrasi ke mainannya,,,ffffuuiiihh berhasil..sampe aku smepet bilang
" kaka koq TVnya gak ditonton"
terus Kaka Jawab :
" Matiin aja mi, kaka lagi seru neh "
heheheh...

Moga bisa yaa semuanya, coba aja deh, cara yang sangat sederhana, tapi jangan lupa kita tetep jadi Orangtua yang proaktif juga, sambil dampingi anak nonton, kita sambil baca buku-buku kesukaannya, sambil diceritain dengan penuh penghayatan , dan dengan intonasi sesuai cerita di buku...coba deh hehhehe..

http://tips-dunia-anak.blogspot.com/atom.xml

Selasa, 07 September 2010

Diskon Indismart untuk Pemegang Adira Club Member

Segera bergabung di www.indi-smart.com





Kabar Gembira! khusus bagi pemegang Adira Club Member,  Indismart  akan memberikan diskon istimewa untuk setiap pembelian Voucher Indismart di Kantor Indismart, Contact Sales ACM, dan Stand Adira/ACM/Indismart di event tertentu. Diskon ini berlaku untuk pembelian voucher 6 bulan (10%) dan 12 bulan (15%). Maksimum jumlah pembelian untuk satu kartu adalah tiga voucher.  Promo ini berlaku mulai 15 September 2010 hingga 14 September 2013

Senin, 06 September 2010

Mohon Maaf Lahir dan Batin

Segera bergabung di www.indi-smart.com

Kamis, 02 September 2010

Homeschooling dan Kesiapan Orang Tua

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.


Oleh Maya Ana Pujiati  







Tulisan ini saya dedikasikan untuk para peminat homeschooling.

Homeschooling kini bukan lagi sebuah wacana. Sudah banyak orang yang mencobanya. Namun sejauh ini, persoalan tentang legalitas masih saja menjadi bahan pembicaraan dan bahkan polemik. Pemerintah sendiri nampaknya memiliki paradigma sendiri tentang kehadiran homeschooling. Memperkaya model pendidikan, tentu iya, namun di sisi lain, ketika homeschooling sudah tersosialisasikan wacananya kepada masyarakat, tata kelengkapan teknisnya juga perlu disiapkan. Satu hal yang sangat penting untuk ditindaklanjuti, adalah kesiapan orang tua.

Homeschooling dalam persepsi saya, bukanlah perkara yang mudah. Kendati dalam gambaran kasar sepertinya begitu menyenangkan dan fleksibel, tapi karena kefleksibelan itu pula orang tua harus memiliki wawasan yang kaya dalam melayani kebutuhan belajar anak-anak. Orang tua membutuhkan panduan untuk membimbing anak-anak, meski tidak selalu harus menjadi guru dalam pengertian guru yang berdiri di depan kelas. Tidak semua orang tua siap dengan kondisi fleksibel dan serba harus menyiapkannya sendiri. Hal itu pula nampaknya yang memicu munculnya “sekolah-sekolah” homeschooling. Dengan menyadari bahwa tidak semua peminat homeschooling adalah orang-orang yang siap dari sisi mental dan juga skill, banyak lembaga-lembaga berlabelkan homeschooling berdiri di tengah-tengah kita.

Homeschooling bagi saya adalah pendidikan alternatif yang berbasis rumah. Namun faktanya, makna homeschooling kini menjadi bias. Menjamurnya “sekolah” berlabel homeschooling di beberapa tempat, khususnya Jakarta dan Bandung, membuat homeschooling memang hanya sebuah istilah yang tak bisa dicerna dari akar kata. Sama halnya ketika kita menamai sebuah tempat dengan sebutan cipanas tapi udara dan air di tempat itu ternyata dingin.

Setelah melewati berbagai pengkajian pribadi, saya bisa katakan bahwa homeschooling membutuhkan pertanggungjawaban. Jangan sampai wacana homeschooling hanya menjadi pemicu untuk merebaknya gerakan anti sekolah yang didasari oleh kemalasan. Karena bukan tidak mungkin, peminat homeschooling yang tidak siap secara mental dan skill, mereka tak hanya meninggalkan sekolah tapi juga meninggalkan belajar.

Homeschooling itu memang asyik, tapi tetap ada resikonya. Perhitungkan dengan matang untuk memilih homeschooling, sampai kita yakin betul bahwa pilihan itu memang paling tepat dan sesuai dengan kondisi dan kesiapan kita serta anak-anak. Seorang peminat homeschooling yang benar-benar serius, menurut saya bahkan harus memperhitungkan untuk siap dengan kondisi paling buruk, misalnya tanpa ijazah. Itu memang pilihan radikal, tapi ketika tujuan pendidikan pribadi sudah ditetapkan, hal itu bukanlah persoalan besar.

Keberadaan ijazah pada mulanya, bisa jadi memiliki tujuan filosofis yang lebih tinggi dari sekedar tanda lulus. Ijazah adalah simbol dari keseriusan belajar anak sekolah dalam masa pendidikannya. Kalau kemudian terjadi degradasi nilai pada ijazah, itulah anomali dari sebuah konsep. Kita pun akan menemukan hal itu di bidang apapun di luar bidang pendidikan.

Meskipun banyak persoalan terjadi di dunia pendidikan, untuk menyelesaikannya tidaklah bisa dengan cara-cara impulsif, saling curiga, dan menghakimi. Kalau homeschooling itu bisa menjadi salah satu pilihan di antara banyak pilihan yang ada, cari tahu dan pahami lebih dulu dengan sedalam-dalamnya. Mengalirlah seperti air, temukan hal-hal baru, dan teruslah belajar. Karena hanya dengan belajar kita bisa menemukan kearifan dari setiap pengetahuan dan pendapat yang hidup di sekeliling kita.

Sumber: http://duniaparenting.com/homeschooling-dan-kesiapan-orang-tua/

Homeschooling, Bukan Musuh Sekolah Formal

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.





"" DAMA tampak begitu antusias memperhatikan penjelasan Ny. Ika tentang kelelawar dari buku Jendela Iptek Seri Ekologi. Anak dan ibu ini begitu asyik... ""
DAMA tampak begitu antusias memperhatikan penjelasan Ny. Ika tentang kelelawar dari buku Jendela Iptek Seri Ekologi. Anak dan ibu ini begitu asyik belajar sambil duduk di lantai, tanpa menghiraukan orang-orang lewat di depan mereka.
 “Kalau kelelawar makannya apa, Ma? Kayak Batman, ya?” ungkap bocah tiga tahun ini sambil menunjuk gambar hewan nokturnal yang terpampang di buku tadi. Ny Ika sejenak membaca teks gambar.
 “Kelelawar ini makannya buah-buahan dan serangga. Coba lihat gambar binatang di halaman sebelahnya. Binatang apa, ya? Warnanya black and white seperti tapir yang kita lihat di halaman sebelumnya,” ungkap sang ibu sambil tersenyum.
Di sudut lain Kantor Cabang Homeschooling Kak Seto (HSKS) Bandung yang dikenalkan ke publik sejak 19 Januari 2008, terlihat seorang anak perempuan usia dua tahunan. Ia asyik mengamati kumpulan ikan sambil berusaha memasukkan tangan ke dalam akuarium.
Ibunya mengamati dari jarak setengah meter sambil terus berkomunikasi. Seringkali sang ibu berhasil menarik perhatian putrinya. Sehingga mereka bisa bernyanyi bersama, menari, membuat gerakan lucu, dan saling merespons dengan bahasa gestural.
Sepintas aktivitas tadi hanyalah kegiatan bermain antara orangtua dan anak. Namun bila dicermati para orangtua itu tengah menerapkan konsep homeschooling, yang salah satu kriterianya menempatkan anak sebagai subyek pendidikan.
Tokoh pendidikan anak Seto Mulyadi, menjelaskan dalam konsep homeschooling, orangtua atau orang dewasa berperan sebagai tutor atau pembimbing. Kegiatan belajar dirancang fleksibel sehingga homeschooler (peserta homeschooling) merasa nyaman belajar di mana saja.
 “Anak-anak bisa memperoleh banyak ilmu yang bisa langsung diimplementasikan. Sebab konsep homeschooling dirancang untuk meningkatkan life skill anak-anak sesuai minat dan bakat mereka,” jelas Kak Seto.
Penerapan konsep homeschooling di Indonesia, merupakan satu upaya masyarakat melaksanakan program wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) sembilan tahun. Pemerintah berharap angka partisipasi kasar pendidikan anak-anak bisa memenuhi target hingga 95 persen.

Tapi di lapangan masih banyak anak-anak tak bisa masuk sekolah formal, karena tiga sebab. Secara psikologis anak tak cocok dengan metode belajar sekolah formal, secara finansial orangtua tak sanggup membiayai pendidikan anak. Atau karena letak sekolah sangat jauh dengan tempat tinggal mereka.
 “Jadi, homeschooling bukan musuh bagi sekolah formal. Bukan pula bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap sekolah formal. Konsep ini sebatas alternatif agar anak bisa belajar lebih nyaman tanpa dibebani banyak tugas atau dipaksa ikut disiplin seperti robot. Perlu diingat undang-undang kita mengatur tentang wajib belajar. Bukan wajib sekolah,” tegas Kak Seto.

Hambatan Teknis dan Khawatir Ijazah
STEVANUS, seorang warga Kota Bogor, mengaku sempat ragu menjalani konsep home schooling. Pria berkulit putih ini khawatir apa ia dan istri bisa mendidik putra mereka Jose (9) melalui cara belajar seperti ini. Setelah melakukan konsultasi dengan staf HSKS Jakarta, Stevanus mengambil program distance learning. Silabus dari tenaga ahli pendidikan di lembaga ini, menuntun tahap demi tahap apa yang perlu Stevanus ajarkan kepada Jose serta apa tujuannya.
 “Ternyata memang pelaksanaannya begitu fleksibel. Jose bahkan bisa belajar di kantor saya. Buat saya semua ini pengalaman berharga, dapat mengajarkan anak secara langsung. Kalaupun ada kendala kami bisa konsultasikan lewat komunitas home schooling,” ungkap Stevanus.
Kekawatiran lain orangtua melaksanakan home schooling yaitu masalah legalitas dan ijazah. “Secara pribadi saya ingin tahu apa kalau ikut home schooling anak saya nanti bisa dapat ijazah setara SD, SMP, dan SMA? Apa bisa lanjut ke perguruan tinggi?” ungkap Ny. Ika.
Kasubdin Dikluseporabud Disdik Kota Bandung, Wawan Dewanta, menjelaskan pemerintah memiliki program akselerasi pendidikan me­lalui program kejar paket A (setara SD), paket B (setara SMP), dan paket C (setara SMA).
 “Tapi sebelum ujian kesetaraan, peserta program kejar lebih dulu belajar di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat atau PKBM yang didirikan pemerintah. Beberapa perguruan tinggi di Bandung bisa menerima peserta program kejar paket C, selama ia lulus tes masuk. Hingga kini kami masih pelajari aturan teknis pemerintah pusat tentang peserta pendidikan homeschooling,” jelas Wawan.

Lebih Banyak Teman
SUATU penelitian di Amerika Serikat mengungkap homeschooler memiliki nilai akademik sekaligus keterampilan sosial lebih tinggi, diban­ding anak-anak di sekolah biasa. Sebab di sekolah umum anak tetap digabung dengan teman yang itu-itu juga. Meski tiap tahun mereka naik kelas. Sementara home schooler diajarkan empati supaya bisa bersosialisasi dengan siapapun. Termasuk dengan teman-teman baru di lingkungan baru. Bahkan karena sifat yang fleksibel beberapa kali homeschooler belajar di tenda pengungsi bersama anak-anak korban bencana.
Sampai sekarang memang masih ada orang keliru terhadap home schooling. Mereka mengatakan home schooling hanya cocok diterapkan buat anak-anak yang punya masalah interaksi dengan orang lain. Semoga penelitian di Amerika Serikat serta praktik konsep home schooling di Indonesia bisa meluruskan anggapan keliru tadi.


Format Homeschooling:

1.  Home schooling Tunggal
     Kegiatan belajar dilakukan satu keluarga tanpa bergantung dengan lainnya.
2.  Home schooling Majemuk
     Kegiatan belajar dilakukan dua keluarga atau lebih yang satu sama lain saling bekerjasama.
3.  Home schooling Komunitas
     Gabungan beberapa home schooling yang menyusun dan menentukan silabus, bahan ajar, kegiatan pokok, sarana/prasarana dan jadwal pembelajaran.

Sumber: http://pnfi.kemdiknas.go.id/publikasi/read/20080115133404/Homeschooling-Bukan-Musuh-Sekolah-Formal.html

HOME SCHOOLING SEBAGAI ALTERNATIF PEMBELAJARAN FORMAL

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.

Disarikan dari: http://tokay.blog.uns.ac.id/2010/01/10/home-schooling-sebagai-alternatif-pembelajaran-formal-boy/comment-page-1/#comment-24





LATAR BELAKANG
Menurut Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, jenis pendidikan di Indonesia terbagi menjadi tiga jalur, yaitu jalur formal, nonformal, dan informal. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Di masyarakat, pendidikan formal biasa dikenal sebagai SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Dalam pendidikan formal, siswa belajar dan dididik menurut kurikulum tertentu, diadakan di sekolah, serta belajar menurut materi ajar dan jadwal yang ditetapkan sebelumnya.
Manusia adalah makhluk yang unik, memiliki karakteristik masing-masing, kemampuan yang berbeda, serta kebutuhan yang berbeda pula. Maka bukanlah hal yang mengejutkan jika ada sekelompok siswa yang tidak cocok dengan sistem pendidikan formal. Jika siswa tidak dapat mengikuti pendidikan formal di sekolah karena alasan tertentu, ia berhak untuk memilih pendidikan alternatif lain yang dapat memenuhi haknya sebagai warga negara untuk belajar. Karena setiap anak berhak mendapatkan pendidikan, dalam bentuk apapun. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 31 ayat 1 menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Setiap orang tua menghendaki anak-anaknya mendapat pendidikan yang berkualitas, serta nilai-nilai iman dan moral yang tertanam dengan baik. Namun, melihat fakta bahwa tidak semua siswa merasa cocok dengan pembelajaran yang dilakukan di kelas, tidak terpenuhinya kebutuhan siswa karena keterbatasan waktu dan materi yang padat, kurang berkembangnya kemampuan siswa dalam bidang non-akademik karena tidak setiap sekolah mempunyai fasilitas untuk mengembangkannya, serta kurangnya pengembangan di bidang keagamaan, muncullah ide orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya di rumah. Hal ini yang menjadi latar belakang berdirinya home schooling. Keberadaan home schooling yang sah di mata Undang-undang membuat home schooling menjadi pendidikan alternatif yang akhir-akhir ini mulai banyak dipraktekkan oleh masyarakat Indonesia.

PENGERTIAN HOME SCHOOLING
Istilah home schooling berasal dari bahasa Inggris yang berarti sekolah rumah. Home schooling dikenal juga dengan nama homeschooling, home-based education, home education, home-schooling, unschooling, deschooling, a form of alternative education, sekolah mandiri atau sekolah rumah. Pengertian umum home schooling adalah model pendidikan dimana sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya. Memilih untuk bertanggungjawab berarti orangtua terlibat langsung menentukan proses penyelenggaraan pendidikan, penentuan arah dan tujuan pendidikan, nilai-nilai yang hendak dikembangkan, kecerdasan dan keterampilan, kurikulum dan materi, serta metode dan praktek belajar (Sumardiono dalam Simbolon: 2008).

SEJARAH HOME SCHOOLING
Menurut John Cadlwell Holt (Simbolon, 2008), filosofi berdirinya home schooling adalah manusia pada dasarnya makhluk belajar dan senang belajar, kita tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur, atau mengontrolnya. Didorong oleh filosofi tersebut, pada tahun 1960-an terjadi perbincangan dan perdebatan luas mengenai pendidikan sekolah dan sistem sekolah. Sebagai guru dan pengamat anak dan pendidikan, Holt menyatakan bahwa kegagalan akademis pada siswa tidak ditentukan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh sistem sekolah itu sendiri. Pada waktu yang hampir bersamaan, akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, Ray dan Dorothy Moor melakukan penelitian mengenai kecenderungan orang tua menyekolahkan anak lebih awal (early childhood education). Penelitian mereka menunjukkan bahwa memasukkan anak-anak pada sekolah formal sebelum usia 8-12 tahun bukan hanya tak efektif, tetapi sesungguhnya juga berakibat buruk bagi anak-anak, khususnya anak-anak laki-laki karena keterlambatan kedewasaan mereka (Sumardiono dalam Simbolon, 2008). Setelah pemikirannya tentang kegagalan sistem sekolah mendapat tanggapan luas, kemudian Holt menerbitkan karyanya yang lain Instead of Education dan Ways to Help People Do Things Better pada tahun 1976. Buku ini mendapat sambutan hangat dari para orangtua pendukung home schooling di berbagai penjuru Amerika Serikat. Pada tahun 1977, Holt menerbitkan majalah untuk pendidikan di rumah yang diberi nama Growing Without Schooling. Serupa dengan Holt, Ray dan Dorothy Moore kemudian menjadi pendukung dan konsultan penting home schooling. Setelah itu, home schooling terus berkembang dengan berbagai alasan. Selain karena alasan keyakinan (beliefs), pertumbuhan home schooling juga banyak dipicu oleh ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah formal.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB LAHIRNYA HOME SCHOOLING
1. KEGAGALAN SEKOLAH FORMAL
Kegagalan sekolah formal dalam menghasilkan mutu pendidikan yang lebih baik menjadi pemicu bagi keluarga-keluarga di Indonesia maupun di mancanegara untuk menyelenggarakan home schooling karena dinilai dapat menghasilkan pendidikan bermutu.
2. SOSOK HOME SCHOOLING TERKENAL

Banyaknya tokoh-tokoh penting dunia yang bisa berhasil dalam hidupnya tanpa menjalani sekolah formal juga memicu munculnya home schooling. Misalnya Benyamin Franklin, Thomas Alfa Edison, serta tokoh dalam negeri seperti K.H. Agus Salim dan Ki Hajar Dewantara.
3. TERSEDIANYA SARANA PENDUKUNG
Perkembangan home schooling ikut dipicu oleh perkembangan sarana dan fasilitas. Fasilitas itu antara lain fasilitas pendidikan (perpustakaan, museum, lembaga penelitian), fasilitas umum (taman, stasiun, jalan raya), fasilitas sosial (taman, panti asuhan, rumah sakit), fasilitas bisnis (mall, pameran, restoran, pabrik, sawah, perkebunan), dan fasilitas teknologi dan informasi (internet dan audiovisual).

KURIKULUM DAN MATERI PEMBELAJARAN HOME SCHOOLING
Kurikulum pembelajaran home schooling adalah kurikulum yang didesain sendiri namun tetap mengacu kepada kurikulum nasional. Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Bryan Ray menunjukkan bahwa mayoritas home schoolers (71%) memilih sendiri materi pembelajaran dan kurikulum dari kurikulum yang tersedia, kemudian melakukan penyesuaian agar sesuai dengan kebutuhan anak-anak dan keadaan keluarga. Selain itu, 24% diantaranya menggunakan paket kurikulum lengkap yang dibeli dari lembaga penyedia kurikulum dan materi ajar. Sekitar 3% menggunakan materi dari sekolah satelit (partner home schooling) atau program khusus yang dijalankan oleh sekolah swasta setempat.

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN HOME SCHOOLING
1. KELEBIHAN
Memberi banyak keleluasaan bagi anak untuk menikmati proses belajar tanpa harus merasa tertekan dengan beban-beban yang terkondisi oleh target kurikulum.
Menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, lingkungan sosial dan suasana belajar yang lebih baik.
Menghindari penyakit sosial yang dianggap orang tua dapat terjadi di sekolah seperti tawuran, kenakalan remaja (bullying), narkoba dan pelecehan.
Memberikan keterampilan khusus yang menuntut pembelajaran dalam waktu yang lama seperti pertanian, seni, olahraga, dan sejenisnya.
Memberikan kehangatan dan proteksi dalam pembelajaran terutama bagi anak yang sakit atau cacat.
2. KEKURANGAN
Tidak adanya suasana kompetitif sehingga anak tidak bisa membandingkan sampai dimana kemampuannya dibanding anak-anak lain seusianya.
Keterampilan dan dinamika bersosialisasi dengan teman sebaya relatif rendah.
Ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim (team work), organisasi dan kepemimpinan.
Proteksi berlebihan dari orang tua dapat memberikan efek samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi dan masalah sosial yang kompleks yang tidak terprediksi.

DASAR HUKUM HOME SCHOOLING
Keberadaan home schooling legal di mata hukum Indonesia. Home schooling termasuk kategori pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Negara tidak mengatur proses pembelajarannya, tetapi hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan. Hal ini termuat dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengenai pendidikan informal.
Selanjutnya, ketentuan mengenai kesetaraan diatur dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 26 ayat (6): “Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.”. Siswa yang mengikuti home schooling akan memperoleh ijazah kesetaraan yang dikeluarkan oleh Depdiknas yaitu Paket A setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C setara SMU. Ijazah ini dapat digunakan untuk meneruskan pendidikan sekolah formal yang lebih tinggi.

MODEL- MODEL HOME SCHOOLING
Menurut Depdiknas (Sumardiono, 2006), home schooling (sekolah rumah) pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) Sekolah rumah tunggal, yaitu layanan pendidikan yang dilakukan oleh orang tua/wali terhadap seorang anak atau lebih terutama di rumahnya sendiri atau di tempat-tempat lain yang menyenangkan bagi peserta didik, dan (2) Sekolah rumah majemuk, yaitu layanan pendidikan yang dilakukan oleh para orang tua/wali terhadap anak-anak dari suatu lingkungan yang tidak selalu bertalian dalam keluarga, yang diselenggarakan di beberapa rumah atau di tempat/fasilitas pendidikan yang ditentukan oleh suatu komunitas pendidikan yang dibentuk atau dikelola secara lebih teratur dan terstruktur.

HOME SCHOOLING DI INDONESIA

Perkembangan home schooling di Indonesia belum diketahui secara pasti karena belum ada penelitian khusus tetang asal mula perkembangannya. Namun, sebenarnya ada beberapa home schooling yang muncul di sekitar kita salah satunya adalah home schooling kak seto dengan metode mengajar yang unik school home kak seto mengutamakan kenyamanan si anak dalam belajar. Di home school kak seto tidak hanya mendidik anak secara biasa tetapi juga mendidik secara mental dan school home kak seto merupakan solusi dalam mencari homeschooling berkualitas di indonesia. Tak hanya di jakarta home schooling kak seto didirikan home school kak seto juga ada di cirebon dan bandung Dengan metode pengajaran yang tepat menjadikan homeschooling kak seto merupakan pilihan yang terbaik para pencari homeschooling di jakarta maupun di bandung atau corebon. Dengan metode dari kak seto yang membimbing mental anak kak seto juga memberikan metode untuk pengajaran yang baik sesuai umur sang anak. Homeschooling kak seto merupakan pilihan yang baik bagi orang tua yang ingin memberikan home schooling bagi anaknya. Jika dilihat dari konsep home schooling sebagai pembelajaran yang tidak berlangsung di pendidikan formal, ternyata home schooling telah dipraktekkan oleh beberapa tokoh seperti K.H. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka. K.H.Agus Salim memilih untuk mendidik anak-anaknya sendiri di rumah sehingga mereka tidak hanya pandai membaca, menulis dan berhitung, tetapi juga memperdalam keislaman dan menguasai berbagai bahasa asing. Sementara itu, jika merunut pengertian home schooling ala Amerika Serikat, home schooling di Indonesia sudah sejak tahun 1990-an. Saat ini, perkembangan home schooling di Indonesia dipengaruhi oleh akses terhadap informasi yang semakin terbuka dan membuat para orang tua memiliki semakin banyak pilihan untuk pendidikan anak-anaknya.

KESIMPULAN
Home schooling dapat dijadikan sebagai pendidikan alternatif bagi masyarakat yang tidak merasa cocok dengan kurikulum pendidikan formal seperti kurangnya penekanan pada pendidikan keimanan maupun materi ajar yang padat serta keinginan untuk meluangkan waktu yang lebih banyak bersama anaknya. Keberadaan home schooling sebagai pendidikan alternatif di Indonesia sangat penting mengingat fleksibilitas home schooling yang dapat dilakukan dimana saja, oleh siapa saja, dan kapan saja.

DAFTAR PUSTAKA

Ikhsan, M. (2006). Pendidikan Alternatif di Indonesia. [Online]. Tersedia: http://teknologipendidikan.wordpress.com/2006/09/12/pendidikan-alternatif-di-indonesia/.
Simbolon, P. (2008). Homeschooling sebagai Pendidikan Alternatif. [Online]. Tersedia: http://pormadi.wordpress.com/2007/11/12/homeschooling/.
Sumardiono (2006). Model Home Schooling. [Online]. Tersedia: http://www.sumardiono.com/index.php?option=com_content&task=view&id=310&Itemid=80.
_____. (2007). Homeschooling Semakin Meluas. [Online]. Tersedia: http://www.sumardiono.com/index.php?option=com_content&task=view&id=698&Itemid=79.
Undang-Undang Sisdiknas. Jakarta: Sinar Grafika _____. Pendidikan Formal. [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_formal.

Permainan untuk Balita Anda (klik play, pilih lagu di kiri, lalu tekan sembarang tuts)