Sebagai manusia, kita
sering dihinggapi perasaan-perasaan buruk seperti: dendam, sakit hati, marah,
iri hati, keserakahan, rasa takut, dan benci. Dapatkah perasaan-perasaan
tersebut dilenyapkan dari batin kita dengan cara melarikan diri atau dengan
jalan menekannya? Hal ini penting bagi kita untuk ditelusuri, diselidiki, dan
dipelajari karena ternyata dalam kenyataannya salah satu dari nafsu-nafsu
tersebut selalu muncul tanpa kita sadari. Perasaan tersebut menyelinap begitu
saja dalam hati, dan tentu saja sangat mengganggu bagaikan sebutir kerikil
dalam sepatu. Mungkinkah kita terbebas dari semua nafsu tersebut dengan daya
upaya kita?
Alangkah bijaknya
apabila kita mau bertanya, dari mana timbulnya nafsu-nafsu seperti dendam,
benci, marah, iri hati, ujub, ria, takabur, serakah, rasa takut, dan sebagainya
itu. Sesungguhnya, semua itu timbul dari adanya pikiran yang membentuk si Aku
dengan keinginannya untuk mengejar kesenangan dan menjauhi kesusahan. Karena si
Aku ini merasa diganggu, dirugikan baik lahir maupun batin, maka timbullah
kemarahan, kebencian, dan dendam. Karena si Aku ini ingin mengejar kesenangan,
maka lahirlah keserakahan, kesombongan, iri hati, dan sebagainya.
Ketika kemarahan muncul, berdasarkan pengalaman sendiri atau
informasi dari orang lain, si Aku melihat bahwa kemarahan itu ternyata tidak
akan menguntungkan. Lalu, muncullah keinginan lain lagi, yaitu
keinginan untukmelenyapkan kemarahan. Jelas
sekali bahwa yang marah dan yang ingin bebas dari kemarahan tersebut masih yang
itu-itu juga, masih si Aku yang ingin senang. Hakekatnya adalah bahwa si Aku
ingin bebas dari rasa marah karena dianggap menyenangkan. Jadi, si Marah adalah
si Aku, si Ingin Bebas dari kemarahan pun adalah si Aku sendiri. Bermacam-macam
daya upaya dilakukan kita untuk bebas dari kemarahan, kebencian, dan
sebagainya. Ada yang melarikan diri dari kenyataan itu dengan cara menghibur
diri, pergi ke tempat karaoke, pergi ke pub atau klab malam untuk berjoget dan
minum sampai mabuk, bahkan ada yang pergi ke tempat sunyi sekedar untuk
menyepi. Ada pula yang mempergunakan kekuatan kemauan untuk menghimpit dan
menekan kemarahan yang timbul tersebut dengan membaca wirid-wirid tertentu.
Pendeknya, segala macam daya upaya dilakukan untuk membebaskan diri dari
kenyataan, yaitu amarah.
Bagaimana hasilnya?
Sepintas tampak
berhasil. Kemarahan tidak muncul lagi karena ada penekanan kemauan dan hiburan.
Akan tetapi, mustahil melenyapkan penyakit apabila hanya dengan menggosok-gosok
wilayah yang sakit agar nyerinya berkurang atau lenyap. Sesungguhnya
penyakitnya masih tetap ada, yang ditekan hanyalah rasa nyeri, maka suatu waktu
rasa nyeri itupun akan muncul kembali. Demikian pula dengan kemarahan,
kebencian, dan sebagainya. Memang dengan upaya penekanan atau hiburan,
kemarahan itu seolah-olah pada lahirnya sudah lenyap, api kemarahan tampaknya
padam. Namun sesungguhnya tidaklah demikian adanya, api itu masih tetap membara
bagaikan api dalam sekam, dari luar tidak tampak menyala padahal di bagian
dalamnya tetap membara dan sewaktu-waktu siap untuk berkobar kembali.
Oleh karena itu,
terciptalah lingkaran setan pada diri kita. Marah – disabarkan atau ditekan –
marah lagi – ditekan lagi, terus begitu selama kita masih hidup. Beranikah kita
menghadapi keadaan tersebut secara langsung? Saat muncul marah, dendam, benci,
iri, takut, dan sebagainya, mengapa kita harus lari? Mengapa kita tidak mencoba
untuk menanggulanginya dengan cara mengamati, menyelidiki, dan mempelajarinya
secara langsung? Mengapa kita tidak membuka mata dan waspada, penuh kesadaran
akan semua itu? Jika marah timbul dan kita membuka mata penuh kewaspadaan,
mengamatinya tanpa campur tangan si Aku yang ingin mengubah keadaan dengan cara
ingin sabar dan sebagainya, maka apakah yang terjadi dengan kemarahan tersebut?
Cobalah! Segala pengertian itu tanpa guna kalau tidak disertai dengan
penghayatan. Pengertian harus disertai dengan penghayatan. Tanpa penghayatan,
segala macam pengertian hanyalah pengetahuan kosong belaka, hanya berupa
teori-teori usang yang pantas disimpan di lemari-lemari lapuk untuk sekedar
hiasan belaka. Pengetahuan seperti itu tiada manfaatnya bagi kehidupan. Dengan
demikian, kalau muncul marah, dendam, benci, takut, dan sebagainya, kita hadapi
saja dan kita buka mata hati kita untuk mengamatinya dengan penuh perhatian,
penuh kewaspadaan dan kesadaran.
Sesungguhnya, pengekangan nafsu, pengendalian diri dan tekanan
acapkali diajarkan kepada kita berupa pendidikan dan pengajaran. Justru pelajaran inilah yang menimbulkan
konflik-konflik dalam batin kita, antara kenyataan dan angan-angan yang selalu
bertolak-belakang. Kenyataannya kita ini serakah, akan tetapi angan-angan yang
dijejalkan kepada kita adalah agar kita tidak serakah, demikian seterusnya.
Sumber penyakitnya tidak pernah diobati dan dilenyapkan, hanya rasa nyeri saja
yang kita usahakan untuk diringankan atau dilenyapkan. Tentu saja, sang
penyakit akan selalu kambuh lagi kalau ada pemicunya kembali. Ternyata, sumber
penyakitnya adalah ada pada si Aku yang selalu ingin senang dan ingin menjauhi
susah.
Kemarahan, kebencian, dan dendam timbul karena pikiran si Aku tersinggung atau merasa dirugikan.
Kalau tidak ada si Aku yang merasa dirugikan, mungkinkah kemarahan itu ada?
Hanya dengan pengamatan yang penuh kewaspadaan akan menciptakan pengertian.
Hanya dengan pengertian disertai kesadaran yang memunculkan penghayatan. Dengan
jalan itu, lahirlah tanggapan-tanggapan spontan seketika. Pengertian dan
penghayatan dari pengamatan inilah yang akan meniadakan marah, benci, dan
dendam. Dengan tiadanya marah, benci, dan dendam mendekatkan hati kita kepada
kebebasan, cinta, dan kasih sayang. Kalau sudah begitu, kita tidak perlu lagi
belajar sabar.
Oleh Irman Nurhapitudin Dimyati
Best Regarts,
Yudi Riswandy.
www.goesmart.com