Oleh: Muhammad Kosim
Dalam pelaksaan pendidikan sejatinya umat Islam menerapkan pendidikan karakter berbasis al-Qur’an, seperti yang dikemukakan pada tulisan sebelumnya pada kolom opini, jumat (17/6) lalu di Koran ini. Namun peran seorang guru sangat menentukan dalam pendidikan karakter tersebut. Jika Alquran dijadikan sebagai basis, maka seorang guru pun mesti memiliki karakter sebagaimana yang diajarkan Alquran.
Untuk mengetahui karakter guru dalam perspektif Alquran, dapat dilihat dari istilah-istilah yang semakna dengan guru. Paling tidak, menurut Abuddin Nata, ada delapan Isitilah yang menunjukkan makna guru, yaitu: ulama, ar-rasikhuna fi al-ilm, ahl dzikr, murabbi, muzakky, ulul albab, mawa’idz, dan mudarris. Selain itu ada pula istilah mu’allim, mursyd dan sebagainya.
Pertama, ulama. Dalam Fathir/35: 28, mengisyaratkan bahwa ulama adalah orang yang memiliki ilmu, dengan ilmunya ia “takut” kepada Allah. Ilmu yang dimiliki ulama bisa berupa ilmu agama (tafaqqahu fi al-din) atau ilmu alam (seperti sains). Sedangkan hakikat ilmu itu sendiri sama-sama berasal dari Allah. Jadi tugas utama seorang ulama adalah mengajarkan ilmu yang menjadikan seseorang takut dan dekat kepada Allah.
Jadi, guru sebagai ulama sejatinya menguasai ilmu agama dan ilmu secara mendalam, mau mengajarkan ilmunya itu atas panggilan agama; memiliki akhlak mulia dan menjadi teladan bagi masyarakat; serta mengembangkan ilmunya secara terus-menerus,melakukan peran sebagai pelindung dan pembimbing masyarakat, sebagai motivator dalam pembangunan, melakukan peran sebagai tokoh masyarakat; dsb.
Tegasnya,bukan guru agama saja yang patut disebut ulama, tetapi guru umum yang mengajarkan ilmunya atas panggilan agama dan menanamkan nilai-nilai tauhid melalui ilmu itu, ia pun patut disebut ulama.
Kedua, ar-rasikhuna fi al-ilm. Istilah ini ditemukan dalam surat Ali Imran/3: 7 yaitu orang yang mendalam imunya sehingga ia tidak hanya dapat memahami ayat-ayat yang jelas dan terang maksudnya (ayat-ayat muhkamat), juga memahami ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian (interpretable) . Mereka adalah orang yang memperoleh hidayah dari Allah. Iman mereka kokoh, taat menjalankan ibadah, memiliki kepedulian sosial, serta berakhlakul karimah.
Guru seyogyanya memiliki karakter sebagai ar-rasikhuna fi al-’ilm, hampir sama dengan karakter ulama. Bedanya, ulama tidak saja di bidang ilmu pengetahuan, tetapi juga dalam kehidupan sosial. Sementara ar-rasikhuna fi al-’alm lebih terkonsentrasi pada ilmu pengetahuan.
Ketiga, Ahl dzikr. Istilah ini terdapat dalam surat An-Nahl/16: 43), yaitu orang yang memiliki pengetahuan, menguasai masalah, atau ahli di bidangnya. Sebagai ahl dzikr, karakter guru hendaklah sebagai orang yang mengingatkan pada siswa dari perbuatan yang melanggar larangan Allah dan Rasul-Nya. Guru adalah seseorang yang mendalami ajaran-ajaran yang berasal dari Allah SWT, terutama yang terkait dengan bidang keilmuannya.
Keempat, murabbi. Istilah ini seakar dengan kata rabb atau tarbiyah, artinya pemelihara, pendidik, atau menumbuhkembangkan. Allah juga murabbi bagi makhluk-Nya (al-Fatihah/ 1:2). Adapun pendidikan Allah terhadap manusia terbagi dua, yaitu: pendidikan kejadian fisiknya serta pendidikan keagamaan dan akhlak.
Al-Muraghi menyebutkan bahwa al-Murabbi adalah orang yang memelihara, mengajar yang dibimbingnya dan diatur tingkah lakunya. Guru sebagai al-Murabbi adalah seseorang yang berusaha menumbuhkan, membina, membimbing, mengarahkan segenap potensi peserta didik secara bertahap dan berkelanjutan.
Mereka membina aspek jasmani dan rohani manusia sehingga berkembang secara sempurna. Karena itu seorang guru harus memiliki kesanggupan dan kecakapan baik jasmani maupuan rohani, sehingga tugasnya yang berat itu dapat ia laksanakan dengan sebaik-baiknya.
Kelima, Muzakki, yaitu orang yang menyucikan. Di antara ayat yang mengandung istilah ini adalah surat al-Baqarah/2: 151. Sesungguhnya, yang melakukan tugas membersihkan dan menyucikan adalah Allah dan Nabi Muhammad SAW. Jadi Allah dan Rasul adalah al-Muzakki.
Dalam konteks pendidikan, guru juga berperan sebagai al-muzakki, yaitu orang yang mampu membentuk manusia yang terhindar dari perbuatan yang keji dan munkar serta menjadi manusia yang berakhlak mulia. Karakter muzakki mengajarkan agar seorang guru senantiasa berupaya untuk menyucikan dirinya sehingga ia mudah menyucikan jiwa peserta didiknya.
Keenam, ulul albab. Di antara ayat yang memuat istilah ini adalah surat Ali Imran/3: 190-191. Ulul albab adalah orang yang berzikir dan berpikir. Mereka memiliki pemikiran (mind) luas dan dalam, perasaan (heart) halus dan peka, daya pikir (intellect) tajam dan kuat, pandangan (insight) luas dan dalam, pengertian (understanding) akurat, tepat, dan luas, serta memiliki kebijaksanaan (wisdom) yaitu mampu mendekati kebenaran dengan pertimbangan adil dan terbuka.
Ulul Albab adalah orang yang berakal atau orang yang dapat berfikir dengan menggunakan akalnya. Hal-hal yang mereka pikirkan itu amat banyak dan beragam, di antaranya ayat-ayat qauliyah (Alquran) dan ayat-ayat kauniyah (alam semesta).
Mereka juga mampu menganalisa secara mendalam terhadap berbagai masalah tersebut, kemudian ia dapat menarik hikmah atau pelajaran yang mendalam dari berbagai peristiwa tersebut.
Karakter ulul albab mengajarkan agar guru senantiasa menggunakan akalnya untuk memikirkan dan menganalisa berbagai ajaran yang berasal dari Tuhan, peristiwa yang terjadi di sekitarnya untuk diambil makna mengajarkan kepada anak didiknya.
Ketujuh, mawa’izh atau orang yang memberi nasehat (Qs. Asy-Syu’ara/26: 136). Guru sebagai mawa’izh adalah orang yang senantiasa mengingatkan, menasehatkandan menjaga anak-anak didiknya dari pengaruh yang berbahaya. Nasehat ituberdasarkan kepada ajaran al-Qur’an dan Hadis untuk melunakkan hati anak-anak muridnya sehingga mereka menjadi manusia yang terpelihara dari dosa-dosa serta mereka menjadi generasi yang shaleh dan berprestasi.
Kedelapan, mudarris. Di antara ayat yang mengandung akar kata ini adalah surat al-An’am/6: 105. Guru sebagai mudarris adalah orang yang senantiasa melakukan kegiatan ilmiah seperti membaca, memahami, mempelajari dan mendalami berbagai ajaran yang terdapat di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ia juga berupaya mengajarkan dan membimbing para siswanya agar memiliki tradisi ilmiah
yang kuat.
Kesembilan, mu’allim, yaitu orang yang berilmu. Istilah ini tersirat dalam surat al-Baqarah/2: 151. Makna ilmu dalam perspektif Alquran lebih luas dan mendalam dari istilah knowledge, sains, atau logos. Kata ilmu memiliki kaitan dengan alam, amal, dan al-‘alim. Ilmu berkembang dengan mengkaji alam. Ilmu itu harus diamalkan, dan ilmu tersebut mesti mendekatkan diri kepada al-’Alim, yaitu Allah Yang Maha Memiliki Ilmu.
Guru mesti mengajarkan ilmu yang terkait dengan kognisi, psikomotor, dan apeksi. Jadi guru bertanggung jawab untuk mengajarkan ilmu untuk diamalkan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Kesepuluh, mursyd yang berasal dari kata rasyada, artinya cerdas. Istilah ini terkandung dalam surat an-Nisa’/4: 6. Cerdas dimaksud tidak saja pada intelektualitasnya, tetapi berhubungan erat dengan spiritualnya.
Suatu ketika, Imam Syafi’i berkata: “saya mengadu kepada Waqi’ tentang buruknya hafalanku, maka dia mengajarkanku (fa arsyadani) agar meninggalkan maksiat. Dan ia mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya (nur), dan cahaya Allah SWT tidak diberikan kepada pelaku maksiat”.
Nasehat Waqi’ tersebut mengajarkan agar Syafi’i cerdas (irsyad) dengan meninggalkan kemaksiatan. Karakter guru sebagai mursyid, mesti menjadi orang yang cerdas baik dalam penguasaan materi, penerapan teknik dan metode, serta menjadi model, teladan atau tokoh identifikasi bagi anak didiknya yang jauh dari perbuatan-perbuatan maksiat.
Masih banyak istilah lain yang patut dikaji dan dikembangkan dari ayat-ayat Alquran. Jelasnya, kesepuluh istilah di atas menunjukkan bahwa karakter seorang guru tidak sekedar penyampai materi (transfer of knowledge), tetapi yang terpenting adalah melakukan internalisasi nilai (internalitation of values) yang berbasis Alquran.
Tegasnya, guru dituntut untuk membaca, mengkaji, mengamalkan dan mengajarkan ayat-ayat Alquran sesuai dengan bidang keilmuan yang dimilikinya. Dengan begitu tidak boleh berhenti belajar, meskipun telah mengajar. Guru harus tetap belajar membina dan mendidik dirinya sendiri sehingga berhasil mendidik orang lain. Dengan begitu generasi Qurani mudah terwujud. Wallahu a’lam.