Jika
ada pertanyaan kebijakan pendidikan apa yang paling kontroversial di Indonesia
saat ini? Tampaknya sebagian besar orang akan menunjuk pada dua kata
yaitu Ujian Nasional. Memang, sejak kelahiranya tahun
2005, di masyarakat (umum, praktisi maupun teoritisi pendidikan), kebijakan
Ujian Nasional senantiasa menjadi bahan perdebatan yang tajam. Di satu sisi,
ada sebagian pihak yang mendukung dan sebagian lagi ada yang jelas-jelas
menentang kehadiran, tentu dengan argumentasinya masing-masing.
Kelompok pendukung ujian nasional pada umumnya menganggap bahwa
ujian nasional masih diperlukan, terutama untuk kepentingan pengendalian mutu
pendidikan secara nasional dan penegakan akuntabilitas pengelola dan
penyelenggara pendidikan. Sementara, dari pihak yang menolak kehadiran Ujian
Nasional menganggap bahwa kehadiran Ujian Nasional sebagai penentu
kelulusan telah banyak madlaratnya dari pada manfaatnya, baik dilihat
dari sisi psikologis, ekonomis, yuridis dan terutama pedagogis. [lihat tulisan
ini: Kemdikbud, lakukan reposisi terhadap Ujian Nasional!]
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan PGRI pada tahun 2012
menunjukkan bahwa sebagian besar guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah
menganggap kebijakan ujian nasional (UN) tidak tepat. Sebanyak 28,57
persen, guru menganggap UN sebagai kebijakan yang tidak tepat, dan 42,86 persen
sangat tidak tepat. Kepala sekolah menganggap kebijakan UN tidak tepat
26,15 persen, dan 49.23 persen menganggap kebijakan UN sangat tidak tepat.
Adapun pengawas sekolah sebanyak 27 persen menganggap kebijakan UN tidak tepat
dan sangat tidak tepat 41,77 persen. Menurut Ketua Umum Pengurus Besar
Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), Sulistiyo, bahwa munculnya pesepsi
dari ketiga unsur praktisi pendidikan tersebut disebabkan karena Ujian Nasional
tidak berhasil meningkatkan semangat belajar, menimbulkan kecurangan,
menimbulkan ketegangan murid, dan menanamkan mental koruptif pada anak. (Kompas.com, 16-04-2013).
Untuk meredusir polemik dan masalah yang berkaitan dengan
penyelenggaraan Ujian Nasional ini, sejak tahun 2011 pemerintah
telah berkompromi dengan menetapkan “sharing” kontribusi
penentuan kelulusan siswa menggunakan formulasi : 40% nilai sekolah dan 60%
nilai ujian nasional. Tetapi ketentuan ini tampaknya belum menjadi obat
mujarab, malah beresiko memunculkan masalah baru dalam bentuk praktik
penggelembungan (bubble) nilai siswa, yang tidak menggambarkan kemampuan
sebenarnya.
Dalam pandangan saya, ketika sekolah memaksakan dan
dipaksakan (oleh para pemaksa) untuk fokus pada ujian nasional dan
menjadikan ujian nasional sebagai tujuan, maka secara langsung atau tidak
langsung di sana akan terjadi pengikisan keutuhan makna pendidikan. Proses
pendidikan tidak lagi dipandang sebagai proses pemanusiaan manusia, tetapi
sudah tergelincir dan terjebak pada proses dehumanisasi dan domistikasi guna
mencapai target keberhasilan kognitif semata atau mungkin target di luar
kepentingan pendidikan itu sendiri. Lebih parah lagi, ketika ujian nasional
masih selalu diwarnai dengan berbagai kecurangan yang sistemik dan disengaja
[lihat tulisan ini, Oh, UN itu Begini?],
maka anak-anak kita sesungguhnya telah kehilangan dua hal penting dalam
hidupnya, yaitu intelektual sekaligus moralnya.
Tahun 2013 ini puteri bungsu saya tercatat sebagai peserta Ujian
Nasional SMA. Saya berusaha meyakinkan anak saya untuk tidak tergoda menyontek.
Saya katakan kepada dia, bahwa saya adalah orang yang lebih percaya
pada proses ketimbang hasil. Kewajiban dia adalah berusaha belajar
dengan sebaik mungkin dan mengisi soal-soal ujian nasional sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya. Persoalan hasil (lulus atau tidak lulus), itu
adalah urusan Tuhan, bukan menjadi kewajiban dia. Saya tegaskan pula, sebagai
orang tua, saya tetap bangga, kalau nanti hasil ujiannya tidak sesuai dengan
harapan, yang penting sudah berusaha sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya.
Begitulah refleksi
saya terkait dengan hiruk pikuknya pelaksanaan Ujian Nasional 2013. Bagaimana
menurut Anda?
Meski kita belum mampu menyediakan pendidikan
yang terbaik untuk anak-anak kita tetapi paling tidak berikanlah mereka
pendidikan yang tepat dan benar.
Regards, Yudi Riswandy, www.goesmart.com