Oleh Nanang Bagus Subekti
Beberapa
kali saya ditanya oleh mahasiswa dan teman-teman saya mengapa saya memilih
pekerjaan sebagai seorang guru. Jawaban saya memang sangat sederhana yaitu
karena inilah profesi yang cocok dengan isi hati saya.
Keputusan
menjadi seorang guru memang hal yang dilematis karena pada saat itu penghargaan
menjadi guru sangatlah kecil, jauh dibanding profesi yang lain, apalagi jika
posisi saya hanya sebatas sebagai guru honorer atau dosen luar biasa maka
penghargaanya sangat kecil.
Ketika
masih menjadi tenaga honorer, sangat susah membayangkan apakah pendapat saya
akan cukup untuk menghidupi keluarga saya secara layak. Berkali-kali saya
berpikir untuk mencari pekerjaan selain menjadi guru, toh hati serasa berat
untuk meninggalkan pekerjaan sebagai pendidik ini. Akhirnya, sejak tahun 1999
saya putuskan untuk menekuni dunia pendidikan yang selalu memberikan kepuasan
batin yang luar biasa bagi diri saya.
Implikasi dari keputusan untuk menjadi seorang pendidikan adalah
saya harus sadar betul dengan penghargaan yang saya akan peroleh kelak. Saya
selalu ingat pesan sesama rekan pendidik yang mengatakan ‘kalau mau kaya
jangan jadi guru‘. Saya memahami betul apa yang selalu disampaikan
teman-teman tersebut. Dalam hati kecil saya ada dorongan besar untuk menunjukan
bahwa dengan menjadi guru pun kita bisa hidup cukup bahkan lebih dari cukup.
Jika dilihat lebih jauh mengapa saya tertarik menjadi guru, hal
ini tidak lepas dari latar belakang keluarga saya. Bapak saya seorang guru SD
swasta sedangkan ibu saya hanya seorang lulusan SD. Hidup di suatu pedesaan
tidak memberikan pengalaman yang lebih banyak dibanding anak-anak seusia saya
yang tinggal di kota. Figur yang saya hadapi hanyalah Bapak saya yang menjadi
seorang guru SD dan aneka pekerjaan sederhana yang saya masih tertarik seperti
menjadi seorang sopir bis.
Hampir
setiap saat bertanya ke orang tua, jika saya besar sebaiknya menjadi apa. Bapak
saya selalu bercerita jika menjadi guru itu enak. Ternyata saran orang tua saya
tersebut perlahan-lahan masuk dalam diri saya dan saya mulai tekun belajar.
Hampir setiap malam orang tua saya menunggui saya belajar dengan berbekal lampu
minyak tanah atau petromax. Maklum hidup di desa yang tanpa listrik hingga saya
kelas 6 SD tidak ada TV seperti saat ini. Permainan pun serba kampung alias
ndeso sekali seperti main di sawah dan sungai.
Minat
menjadi guru terus muncul sejak saya masuk SMP. Ketika itu saya memilih sekolah
di lereng merapi Yogyakarta. Sebuah sekolah di pinggiran yang jauh dari pusat
kota. Pokoknya semua serba kampung dengan fasilitas pas-pasan. Saya menjumpai
seorang guru Bahasa Inggris yang luar biasa. Beliau menunjukan bagaimana
mudahnya belajar bahasa Inggris. Sejak itulah saya suka dengan bahasa Inggris,
dan ingin menjadi guru bahasa Inggris.
Lain
SMP lain SMA. Ketika masuk MAN saya memilih sekolah di kota supaya ada
pengalaman lain. Tidak jauh dari pengalaman saat SMP, saat di MAN saya juga
menemukan guru Bahasa Inggris yang hebat. Beliau mendorong motivasi saya
menjadi guru bahasa Inggris semakin kuat. Akhirnya, saya putuskan mengambil
kursus bahasa Inggris yang murah-murah di kota Jogja, dengan tujuan yang
penting saya bisa belajar bahasa Inggris. Waktu sehari-hari saya habiskan untuk
belajar bahasa Inggris dengan harapan ketika lulus saya bisa menjadi guide
pariwisata.
Ketika
lulus MAN, saya berpikir kemungkinan untuk kuliah atau mencari pekerjaan lain.
Kondisi ekonomi orang tua yang pas-pasan adalah alasan utama saya.
Mempertimbangkan pekerjaan orang tua, maka saya harus mencari kampus yang
terjangkau dan murah. Akhirnya saya ambil S1 Pendidikan Bahasa Inggris dan
lulus pada tahun 2000. Hampir waktu-waktu kuliah saya habiskan untuk belajar
dan bekerja untuk mendapatkan tambahan uang saku. Alhamdulillah, masa kuliah S1
hanya 3.5 tahun dengan bantuan beasiswa dari berbagai lembaga dan perusahaan.
Dengan berbekal nilai IPK semester yang baik, saya mendapatkan beasiswa studi.
Lulus
pada tahun 2000 saya melamar menjadi asisten dosen dan dosen luar biasa di
beberapa PTS di Yogyakarta, beberapa sekolah dan lembaga bimbingan belajar.
Dorongan
kuat untuk belajar terus mengalir, sehingga saya memutuskan untuk studi lanjut.
Saya melihat biaya S2 sangat mahal sekali dan orang tua tidak akan mampu.
Bahlan tabungan saya pun tidak cukup untuk S2 di Yogyakarta.Tidak ada solusi
lain kecuali mencari beasiswa. Maka tahun 2002 saya melamar beasiswa dan tahun
2003 saya mendapatkan beasiswa lengkap dengan pelatihanya. Pada tahun itu saya
mendapatkan beasiswa S2 dari Pemerintah Australia dengan nama ADS (Australian
Development Scholarships) untuk menempuh S2 di Australia.
Pada
tahun 2006 saya selesaikan S2 dan ijasah saya keluar 2007. Pada waktu yang
bersamaan saya kembali ke Yogyakarta dan mengajar di almamater saya di
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa dan beberapa PT di Yogyakarta seperti UT
Yogyakarta, Univ PGRI Yogyakarta, Beberapa Akademi, dan menjadi pembicara
workshop atau seminar di wilayah Yogyakarta.
Awal
2007 keinginan belajar muncul kembali. Hal serupa saya lakukan yaitu melihat
besaran biaya S3 di dalam negeri. Hatipun kaget karena biayanya sangat tinggi
sekali. Dalam hati saya, tidak ada alasan lain selain mencari beasiswa. Pada
akhir tahun 2007, saya kirimkan aplikasi untuk melamar beasiswa LN Dikti.
Alhamdulillah lolos dan tahun 2008 saya kembali ke Australia di kampus yang sama
untuk melanjutkan studi S3.
Masa
– masa studi saya menikmati sekali. Banyak hal yang ingin saya pelajari tetapi
dana mepet. Pada suatu ketika, saya ingin belajar langsung dengan ahli
pendidikan bahasa Inggris. Saya sampaikan ke supervisor PhD saya, jika ada
summer course yang bagus di UNSW Sydney, tetapi saya tidak sanggup membayar
uang kuliah, tiket pesawat dan akomodasi. Hal yang sama terulang kembali. Saya
membuat aplikasi Grant untuk program ini. Dengan bahasa Inggris yang cukup
bagus dan alasan yang kuat, maka saya mendapatkan dana dari Flinders
University, Adelaide untuk mengikuti summer course di UNSW (University of New
South Wales) Sydney. Semua ditanggung oleh pihak universitas dan tidak keluar
uang sepeser pun.
Cerita
saya di atas hanyalah sebagai gambaran cerita anak kampung yang tidak pernah
masuk di sekolah SD, SMP dan SMA yang hebat dengan impian selangit. Saya
menyadari jika saya buka orang brilian dengan IQ super dan idealisme yang hebat
tetapi berusaha untuk tampil semaksimal mungkin menggali potensi yang ada dalam
diri kita. Jika dikaitkan dengan ajaran agama, maka rezeki Yang Kuasa itu luas
dan tidak ada yang tahu, karena rezeki itu sebuah misteri.
Kesuksesan
saya ini tidak saya capai sendirian, di sana ada keluarga besar dan keluarga
inti saya. Saya sangat bersyukur sekali memiliki keluarga yang sangat mendukung
karir saya (istri dan 2 orang anak saya), sehingga harus ikut wira-wiri ke sana
kemari.
Semoga
cerita ini memberikan inspirasi bagi kita untuk tetap maju dan jangan takut
melangkah. Selama kita konsisten dengan sesuatu yang baik dan tulus, Insya
Allah jalan kemudahan pasti akan datang.