Anda mungkin pernah
melihat atraksi ronggeng monyet atau topeng monyet, dimana seekor monyet dapat
memperagakan berjalan tegak sambil membawa payung-payungan, memikul
bakul-bakulan, mengendarai sepeda-sepedaan, dan aneka atraksi lainnya.
Atraksi
ini pada umumnya berlangsung di bawah kendali sang Pawang, dengan diiringi
bunyi gamelan sederhana. Setelah adegan selesai, para penonton merasa terhibur
dan langsung memberikan saweransukarela, sebagai balas jasa atau
tanda terima kasih atas atraksi yang telah disuguhkan oleh sang Pawang
dengan monyetnya.
Kemampuan
monyet untuk dapat memperagakan adegan seperti ilustrasi di atas tentu bukan
diperoleh secara tiba-tiba, tetapi pada dasarnya merupakan hasil belajar,
melalui sentuhan Sang Pawang dengan menggunakan teori belajar behaviorisme.
Walaupun mungkin sang Pawang sendiri tidak pernah paham apa itu teori
belajar behaviorisme, tetapi tampaknya dia telah berhasil menerapkan
teori belajar behavioristik secara sempurna dalam membentuk kompetensi dan
perilaku baru monyet.
Sedikit saya beri
gambaran bagaimana proses pembelajaran monyet untuk bisa mendapatkan kemampuan
atau kompetensi di atas. Pada mulanya, mungkin monyet itu merupakan hasil
tangkapan dari hutan, tentu dengan kemampuan awal layaknya seekor monyet liar.
Selanjutnya, dia dibawa ke lingkungan manusia, dengan diberi asrama yang
bernama kandang. Di bawah program pelatihan sang Pawang yang ketat, monyet
mengikuti berbagai kegiatan pembelajaran. Metode pembelajaran yang dilakukan
sang Pawang yaitu pemberian latihan yang terus-menerus dengan bertumpu pada dua
kekuatan utama, yaitu pemberian hadiah dan hukuman.
Untuk bisa berjalan
tegak, sang Pawang mengikat tangan monyet ke belakang pundaknya. Jika monyet
berhasil berdiri tegak sesuai dengan instruksi, sang Pawang langsung
memberikan hadiah berupa makanan yang disukai monyet, misalnya buah
pisang, atau memberikan tindakan-tindakan lainnya yang membuat
monyet senang. Tetapi jika gagal, sang Pawang langsung memberikan
hukuman, misalnya dengan menarik rantai atau tali yang membelenggu di
lehernya. Jika masih tetap membandel, sang Pawang pun tidak segan-segan
memberi sanksi lain untuk memaksanya hingga bisa berdiri tegak.
Pola pembelajaran
seperti ini terus-menerus dilakukan untuk memperoleh kompetensi-kompetensi baru
lainnya, seperti: memikul bakul-bakulan, membawa payung-payungan, bercermin,
dan sebagainya. Bahkan dia dilatih pula untuk melakukan atraksi kolabarasi
dengan anjing
Bersamaan dengan
berlangsungnya proses pembelajaran ini, sang Monyet diperdengarkan alunan
gamelan oleh sang Pawang, dengan tujuan agar dia bisa menampilkan
gerakan-gerakan yang dilatihkan, seiring dengan irama gamelan yang
diperdengarkannya.
Setelah selesai
mengikuti program pelatihan yang dikembangkan oleh sang Pawang dan monyet sudah
dianggap kompeten, mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal yang ditetapkan
sang Pawang, selanjutnya monyet diajak memasuki dunia baru, yang sangat
jauh berbeda dengan dunia sebelum dia mengikuti kegiatan
pembelajaran bersama sang Pawang.
Sejak saat itulah dia
bukan lagi monyet seperti rekan-rekannya yang hidup di hutan bebas. Dia tidak
lagi hidup bergelantungan dari pohon ke pohon, tetapi dia bergerak dari satu
kampung ke kampung lainnya, mempertontonkan keahlian yang diperolehnya dari
sang Pawang. Dia tidak lagi bercengkerama dengan keluarga dan sesamanya, tetapi
dia lebih banyak bergaul dengan manusia. Dia tidak perlu lagi bersusah-payah
mencari makanan sendiri, tetapi cukup menunggu jatah yang diberikan sang
Pawang. Sang Pawang pun dalam memberi makanan akan bergantung pada hasil
jerih payahnya keliling-keliling kampung bersama monyet kesayangannya.
Yang menjadi
pertanyaan, dengan aneka kemampuan yang didapat dari sang Pawang,
Apakah sesungguhnya monyet itu bahagia? Masih pantaskah kita
menyebutnya sebagai monyet? Bagaimana pula pendidikan yang sesuai
untuk manusia? Silahkan Anda renungkan dan mari kita
diskusikan melalui forum komentar yang ada.