Oleh: Tabrani Yunis
DALAM sebuah seri diskusi bulanan yang diselenggarakan oleh Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh di SD Negeri Neuheun, Aceh Besar, seorang guru peserta diskusi menyatakan kekesalannya terhadap kritik-kritik yang dialamatkan kepada guru. Perasaan kesal semakin memuncak, ketika pemandu diskusi mengatakan bahwa penyebab utama dari kehancuran dan kemerosotan kualitas pendidikan di negeri ini adalah karena guru.
Pertanyaan dan pernyataan guru di atas, adalah sebuah sikap reaktif terhadap banyaknya kritikan masyarakat terhadap dunia pendidikan yang berujung pada tindakan menyalahkan guru. Setiap kali tulisan yang mengulas tentang pendidikan dari berbagai perspektif itu akan tidak pernah lepas membahas soal guru. Guru kemudian menjadi penyebab terhadap rendahnya kualitas pendidikan di tanah air.
Rasa kesal, rasa sakit hati, atau bahkan sikap menolak terhadap kritik yang disampaikan banyak masyarakat terhadap eksistensi guru dalam membangun pendidikan yang berkualitas, bisa kita fahami, karena faktor penyebab rendahnya kualitas pendidikan di negeri tercinta ini bukanlah bersumber dari faktor tunggal (single factor), tetapi banyak faktor lain yang ikut berperan. Pendidikan sebagai sebuah sistem, mengikuti mata rantai sistem pada semua level. Kita akui, walau sudah 65 tahun kita merdeka, sistem pendidikan kita masih belum ideal dan memiliki standard yang cukup baik, dibandingkan dengan sistem pendidikan di negara-negara yang sudah maju.
Disorientasi dalam visi dan misi pendidikan yang kerap menjadi komoditas politik, dan politik pendidikan kita, serta buruknya wajah manajemen pendidikan di negeri ini adalah beberapa penyebab buruknya potret kualitas pendidikn di negeri ini. Jadi, karut-marut dunia pendidikan kita di Indonesia, sekali lagi memang benar, bukan disebabkan oleh satu faktor saja.
Namun, bagi guru yang selama ini dijadikan sebagai ujung tombak bagi pembangunan pendidikan, di lembaga pendidikan formal yang bernama sekolah itu, tidak selayaknya juga guru merasa kesal dan sakit hati ketika sederetan kritik dialamatkan kepada guru. Posisi guru sebagai juru kunci dalam dunia pendidikan memberikan harapan yang sangat besar kepada orang tua, agar anak-anak mereka bisa mendapatkan pendidikan seperti yang mereka harapkan agar sekolah yang dikemudikan oleh para guru, bisa mengantarkan anak-anak mereka menjadi sosok anak yang berilmu, berketerampilan, dan berakhlak mulia.
Kini ketika arus globalisasi semakin deras memasuki ruang kehidupan kita, menyebabkan perubahan moralitas dan polakehidupan semakin global dan menghancurkan moralitas yang sudah dibangun. Ketika dunia semakin global dan budaya konsumtif semakin mengkristal, maka tantangan guru dalam mendidik di sekolah pun semakin pelik dan sulit. Guru dituntut untuk mampu mengantisipasi perubahan perilaku anak didik yang sangat pesat. Bisa jadi di satu sisi, anak semakin cepat perkembangannya dibandingkan dengan guru. Guru pun, ditutut harus mampu membangun masa depan anak yang sukses.
Di samping itu, ada realitas bahwa banyak orang tua yang secara serta-merta menyerahkan bulat-bulat anak mereka kepada guru. Namun di pihak lain, tidak sedikit orang tua dari peserta didik tentu tidak pernah mau rugi dan disalahkan ketika mereka sudah mendelegasikan tugas dan fungsi mengajar, dan mendidik anak mereka kepada guru di sekolah.
Pendek kata, di pundak guru ada beban tanggung jawab yang sangat besar dan berat. Maka selalu saja guru dituntut agar profesional dan berkualitas. Beban itu semakin berat dengan besarnya tantangan global yang menantang dan memberikan ancaman terhadap eksistensi guru. Kemajuan teknologi yang begitu pesat dan merubah gaya hidup peserta didik dan masyarakat kita, telah membuat para guru banyak yang kelimpungan. Banyak guru yang tidak mampu dan tertinggal dalam mengimbangi dan mengatasi dampak dari pemilikan alat-alat teknologi oleh peserta didiknya, karena accessibility faktor guru yang rendah terhadap produk teknologi ini. Kemudian, kecepatan peserta didik menguasai teknologi dibandingkan kebanyakan guru juga membuat perubahan moralitas yang semakin complicated, mengubah paradigma kehidupan dan pola hubungan antara peserta didik dengan guru. Kondisi ini membuat guru menjadi kurang berdaya untuk memberikan pelayanan maksimal terhadap peserta didik mereka.
Berbenahlah
Tidak ada kata lain bagi guru, selain harus berbenah menyiapkan diri menghadapi semua kemungkinan yang terjadi sejalan dengan semakin beratnya tantangan guru di masa kini dan masa depan. Para guru harus berani merefleksi, introspeksi serta melakukan koreksi terhadap segala kelemahan dan kekurangan guru selama ini dalam menjalankan tugas profesinya sebagai guru. Diakui atau tidak, persoalan kompetensi guru yang rendah adalah sebuah realitas yang terjadi saat ini dalam dunia pendidikan kita. Sangat banyak guru yang tidak layak mengajar. Persoalannya bukan saja pada syarat administratif, tetapi juga para persoalan kualitas kompetensi.
Antaranews, tanggal 8 Maret 2010 mensinyalir, sekitar 1,3 juta atau 50 persen dari 2,7 juta guru di tanah air belum layak mengajar karena kurang memenuhi standard kualifikasi maupun sertifikasi yang telah ditentukan pemerintah. Memilukan bukan? Padahal, dalam banyak janji pemerintah setiap kali pergantian pucuk pimpinan di negeri ini selalu saja berikar untuk melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas guru. Namun kenyataannya, kualitas guru masih jalan di tempat, bahkan semakin buruk. Betapa memalukan kalau hingga saat ini banyak yang menilai kompetensi guru, berupa pengetahuan, ketrampilan dan sikap profesionalnya tidak jauh berubah. Padahal, usaha pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan guru, dinilai oleh banyak orang sudah cukup signifikan membaik. Oleh sebab itu, selayaknya para guru juga bertanya pada diri sendiri. Mengapa ketika program sertifikasi, program penyetaraan dan juga berbagai penataran guru.
Namun mengapa program-program itu tidak mampu mengatasi buruknya rupa guru dalam konstalasi kualitas?
Idealnya ketika program penyetaraan guru yang memberikan kesempatan kepada guru untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan lewat tambahan belajar secara gratis itu bisa meningkatkan kualitas guru. Nyatanya hanya beramai-ramai berburu strata satu agar bisa naik pangkat dan naik gaji.
Ketika pemerintah bermaksud meningkatkan kualitas guru lewat program sertifikasi, yang terjadi adalah para guru sibuk mencari dan mengumpulkan sertifikat, sementara pengetahuan dan ketrampilan mengajar tidak ikut meningkat? Celakanya, semua program itu menjadi program pembodohan dan pembohongan secara sistemik. Karena guru tetap tidak berubah dalam hal peningkatan kulaitas. Yang terjadi adalah dekadensi moral guru, karena menjadi pembohong demi kenaikan pangkat dan penghasilan.
Dikatakan demikian, karena banyaknya tindakan manipulasi kala mengurus kenaikan pangkat. Agar guru tidak menjadi pihak yang nanti menjadi destruktif dalam upaya perbaikan kualitas pendidikan, maka guru harus berbenah dan berubah, kembali ke khitah yang hakiki, bahwa kunci perbaikan kualitas pendikan yang utama ada pada diri guru. Maka, berbenahlah dan berkontemplasi serta berbuatlah.
* Tabrani Yunis adalah Guru dan Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh.
--
============ ========= =======
Center for Community Development and Education (CCDE)
Jl. T.P. Nyak Makam, Pango Raya
PO. Box 141 Banda Aceh 23001
Indonesia
Telp. +62 651 7428446
Email. ccde.aceh@gmail. com, potret.ccde@ gmail.com
Web : www.ccde.or.id