Oleh: Salwa (wawa.live@yahoo.co.id)
Alumni : alumni IKIP Negeri Malang tahun 1999 dan sekarang sedang menempuh Master
of Arts in TESOL di Flinders University, South Australia. Bekerja :
sebagai tenaga pengajar di Universitas Islam Negeri Malang
Ada sebuah anekdot
tentang masa depan. Kelak jika seorang anak di tanya, “darimanakah telur itu
berasal?”, dengan spontan ia akan menjawab, “telur berasal dari supermarket”.
Lalu “bagaimanakah cara ayah mendapatkan uang untuk membeli telur”? Ia akan
menjawab “ Kan tinggal mengambilnya di ATM”. Mungkin orang akan tertawa ketika
mendengar cerita di atas, namun bukankah itu sebuah ironi?. Di abad yang
memiliki kemajuan seperti roket yang melesat, segalanya memang bisa diakses
dengan mudah. Tekhnologi telah menyajikan tentang itu, namun tak menutup
kemungkinan cerita diatas menjadi kenyataan, sebab di masa yang akan datang,
tak semua anak-anak dapat bersentuhan langsung dengan alam sekitarnya, Kini
banyak ruang bermain yang hilang dari lingkungan sekitar kehidupan mereka.
Tempat bermain yang alami memang tak tergantikan dengan tempat bermain buatan,
walau dengan tekhnologi yang modern.
SEKOLAH ALAM SEBAGAI PENYEIMBANG
Sekolah kini telah
identik dengan sebuah bangunan megah dengan tembok-tembok yang menjulang, coba,
apa yang sering kita bayangkan, apa yang tergambar dalam benak kita jika
mendengar kata sekolah. Lalu, coba kita bandingkan, apa yang ada dalam benak
kita, jika kita mendengar kata pendidikan? Apakah seorang guru yang disiplin,
dengan penggaris kayu di tangan, dan murid-murid yang duduk bersedekap dengan
tangan diatas meja, memakai baju putih rapi dengan rambut yang tersisir basah.
Atau mungkin rumus-rumus matematika dan fisika?.
Sekolah dan
pendidikan, telah menyajikan wajah yang lain, dengan batasan-batasan yang kita
ciptakan sendiri, atau tak sengaja tercipta karena pemahaman yang sempit
tentang keduanya. Bukankah di zaman globalisasi, semuanya serba tak terbatas
oleh sekat-sekat jarak dan waktu? Hendaknya kita mulai memahami tentang itu.
Sebuah gagasan cerdas, mulai di kembangkan di Negara berkembang
Indonesia, Negara dengan kekayaan alam yang melimpah. Hutan, laut, gunung, air,
udara,dengan beribu pulau hijau yang terbentang dari sabang di Aceh sampai
Merauke di Papua, adalah surga bagi kehidupan didalamnya. Termasuk bagi
anak-anak yang tumbuh berkembang dengan tersenyum. Gagasan tersebut adalah ‘Sekolah
Alam’.
Indonesia adalah
bagian dari negara-negara di dunia. Globalisasi sangat dirasakan di Indonesia,
hampir di segala bidang. Cepatnya arus globalisasi, kadang membuat Negara
berkembang dengan dua ratus juta lebih penduduknya ini terengah-engah karena
harus berkejaran dengan waktu dan arus tekhnologi.
Termasuk globalisasi
dibidang pendidikan, adalah perhatian yang penting dalam hal ini. Kemoderenan
hendaknya tidak membuat kita terbang terlalu tinggi sehingga membuat kaki
anak-anak kita tak lagi menjejak di bumi. Jalan tengah adalah dengan adanya
sarana pendidikan yang memadukan keduanya, antara kemoderenan dan alam.
Kita berharap
anak-anak kita tidak hanya bisa bermain namun juga kreatif. Bermain dengan
permainanan yang beraneka ragam, dan bukan hanya bermain playstation, Nintendo,
atau game online di rumah. Tentu banyak permainan yang membuat mereka lebih
kreatif. Kita berharap, anak-anak kita bisa bersosialisasi, namun bukan hanya
lewat facebook atau e-mail di komputer. Biarlah mereka mengembangkan
kepribadiannya dengan tatap muka bersama lingkungan sosialnya. Bersahabat
dengan teman-teman dari berbagai latar belakang sosial, agama, maupun
budayanya, tentu sebagai pelajaran berharga bagi mereka. Kita berharap
anak-anak mengerti perihal alam ini, namun bukan hanya dengan browsing di dunia
maya untuk melihat sawah, ternak, atau lautan, namun mereka bersentuhan dengan
alam sekitanya setiap saat, tanpa menunggu hari libur sekolah atau menunggu
program outbound dan rekreasi sekolah.
Manusia dianugrahi
indra penglihatan, sentuh, rasa, raba, dengar, dan penciuman untuk mengerti
alam sekitarnya. Sekali lagi sekolah alam menjadi sebuah sentuhan di dunia
pendidikan. Anak-anak di sekolah alam akan mengerti materi yang di sajikan
tanpa merasa bosan karena metode belajar sambil bermain adalah ciri khas dari
sekolah alam. Dengarlah, betapa cerianya tawa mereka ketika tangan kecil mereka
bersentuhan dengan lumpur di sawah, mereka berkejaran di pematang sawah, di
pantai yang landai, sambil belajar beraneka ragamnya ciptaan Tuhan yang maha
kuasa. Mereka mengerti secara langsung, tanpa harus berimajinasi atau hanya
melihat gambar-gambar, bagaimanakah bentuk bintang laut atau keong misalnya.
Ini adalah pengalaman tak terlupakan bagi mereka, bahkan hingga mereka dewasa
kelak.
WAJAH SEKOLAH ALAM DI INDONESIA
Tantangan adalah kata
yang tepat dalam dunia kompetisi saat ini. Termasuk pada dunia pendidikan.
Pengaruh globalisasi yang masuk si segala lini kehidupan, memberikan tantangan
tersendiri bagi dunia pendidikan. Globalisasi tentu tak hanya identik dengan
tekhnologi, namun faktor-faktor alamiah juga merupakan elemen dasar bagi
berkembangnya tekhnologi itu sendiri. Alam tentu bukan hanya dapat di
ekploitasi secara materi saja, namun begitu banyak sesungguhnya yang bisa kita
pelajari dari alam.
Dalam bukunya Du de ‘education, Jean Jacques Rousseau ( 1712-1718)
menggambarkan cara pendidikan anak sejak lahir hingga remaja. Rousseau
menyarankan ‘back to nature’ dan pendekatan yang bersifat alamiah dalam
pendidikan anak, yaitu : ‘Naturalisme’. Naturalisme berarti, pendidikan akan di
peroleh dari alam, manusia atau benda, bersifat alamiah sehingga memacu
berkembangnya mutu seperti kebahagiaan, sportifitas dan rasa ingin tahu. Dalam
prakteknya, naturalisme menolak pakaian seragam (dress code), standarisasi
keterampilan dasar yang minimum. dan sangat mendorong kebebasan anak dalam
belajar. ( Artikel pendidikan network- Pendidikan Usia Dini yang Baik Landasan
keberhasilan pendidikan Masa depan, Drs. H. Agus Ruslan, M. M.Pd).
Pada tahun 1997,
sekolah alam mulai menampakkan eksistensinya di Indonesia. Gagasan tersebut
tercetus dari seorang mantan staf ahli Mentri Negara BUMN, beliau adalah Lendo
Novo.
Ir. Lendo Novo adalah
alumni tekhnik perminyakan Institut Tekhnologi Bandung (ITB). Sejak tahun 1992,
lendo merancang konsep sekolah alam, yaitu bagaimana murid-murid bisa belajar
sambil bermain. Di tahun 1997, barulah beliau bisa mewujudkan berdirinya
Sekolah Alam, yaitu di Ciganjur, Jakarta Selatan.
DUKUNGAN PEMERINTAH
Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pada puncak peringatan hari Pendidikan Nasional 11 Mei 2010
di istana negara mengatakan bahwa reformasi di bidang pendidikan harus terus di
tindaklanjuti dengan menggunakan dua perspektif, yaitu mengembalikan pendidikan
pada hakekatnya serta mengembangkan inovasi. Beliau juga mengatakan untuk
mengembangkan pendidikan pada nilai-nilai dasarnya, maka harus ditinjau kembali
kurikulum, metodologi, serta sistem evaluasi. Sedangkan untuk mengembangkan
inovasi masa depan, maka anak didik harus di pacu mengembangkan keingintahuan
intelektual dengan kebebasan berimaji konstruktif sebebas-bebasnya agar
kreatifitas dapat tumbuh dalam pikiran mereka.
Yang perlu di
garisbawahi pada pernyataan presiden adalah, mengembalikan pendidikan pada
hakekatnya serta mengembangkan inovasi. Bukankah hakekat dari pendidikan adalah
pengajaran tata perilaku yang seimbang antara material dan spiritual? Hal
inilah yang dikembangkan di sekolah alam dengan pengembangan kurikulum yang
memadukan pengajaran positif, pemikiran ilmiah, pengajaran kepemimpinan, serta
jiwa kewirausahaan ( entrepreneurship).
Jelas ini adalah
inovasi baru, dimana proses mengajar dan belajar bisa berlangsung dengan sangat
menyenangkan. Terjadi di beberapa sekolah alam di Indonesia, murid-murid
justru senang bersekolah sehingga mereka tak menunggu-nunggu waktu
pulang, mereka ingin agar esok pagi segera menjelang agar bisa bersekolah lagi.
Ini adalah cara belajar mengajar yang unik dan menyenangkan bagi murid, orang
tua, dan guru.
Pada peringatan hari
Pendidikan Nasional tersebut salah satu sekolah alam di Indonesia juga menerima
penghargaan sebagai sekolah perintis pendidikan karakter. Pendidikan karakter
mutlak di butuhkan di zaman seperti ini, sebagaimana kata wakil mentri
pendidikan nasional, Fasli Jalal, bahwa untuk mencapai keberhasilan dalam
pembangunan karakter, harus diciptakan komunitas karakter sehingga pandidikan
karakter tidak hanya bergaung di sekolah saja, tetapi juga sampai ke seluruh
lapisan masyarakat.
SEKOLAH ALAM DAN GLOBALISASI
Globalisasi memang
merupakan keuntungan, dimana informasi bisa di akses tanpa batas. Globalisasi
juga sebagai motivasi bagi negara-negara berkembang untuk memacu eksistensinya
agar lebih kompetitif di segala bidang, tak terkecuali bidang pendidikan. Pendidikan
yang baik bagi masyarakat adalah prasyarat mutlak bagi sebuah Negara jika
ingin eksis di era globalisasi sekarang ini. Bagaimana mungkin sebuah Negara
yang masyarakatnya kurang dalam skill dan knowledge untuk bisa bersaing di
dunia internasional? Tentu akan sangat sulit.
Yang pertama adalah
masalah biaya pendidikan. Pada beberapa negara berkembang, biaya pendidikan
terasa sangat mahal bagi masyarakat. Tidak semua kalangan bisa mengenyam
pendidikan hingga jenjang sekolah tinggi. Pemerintah memang telah memberikan
anggaran yang cukup besar dalam bidang pendidikan, namun masih saja dirasakan
oleh masyarakat, biaya pendidikan terasa amat mahal dan tak terjangkau.
Titik fokus yang
membuat tingginya biaya pendidikan sering dikaitkan dengan pengadaan sarana-sarana
penunjang belajar, seperti gedung sekolah, laboratorium, perpustakaan, dan lain
sebagainya. Hal ini tentu tak bisa dihindari, karena memang menjadi penunjang
kelancaran belajar mengajar.
namun untuk
orang-orang yang kreatif, tentu bukan menjadi kendala. Bagi pemikiran yang
inovatif, sekolah bukan lagi berwujud gedung yang megah, namun di mana saja
‘sekolah’ bisa diadakan. Di ladang, di pantai, di pasar, di peternakan, di
pabrik, di mana saja. Kegiatan belajar mengajar bisa di lakukan. Metode inilah
yang diaplikasikan pada kurikulum belajar sekolah alam. Anggaran gedung yang
menghabiskan banyak uang bisa diminimalkan.
Kedua, dampak dari
ekploitasi alam yang berlebihan adalah pemanasan global ( global
warming), ruang terbuka hijau kini banyak berganti dengan beton-beton gedung
pencakar langit yang menjulang tinggi. Kesadaran akan pentingnya pemeliharaan
alam semakin menipis. Hal inilah yang harus kita perbaiki, generasi yang akan
dating harus mengerti akan hal tersebut.
Sekolah alam juga
memiliki program-program ramah lingkungan, mengajak anak didik mencintai alam.
Tentu hal ini seiring dengan program globalisasi yang berkaitan dengan
pelestarian alam guna mengantisipasi global warming. Mengajak anak mencintai
lingkungan sejak dini, mengajari mereka menanam pohon-pohon, mengajak mereka
mengerti apa arti pentingnya udara yang bersih, air yang jernih, bahaya
pencemaran, bahkan mengajak mereka mengenal kebijakan-kebijakan tentang
perlindungan alam sekitar. Tentunya hal ini akan memberikan dasar yang kuat bagi
pelestarian lingkungan di masa yang akan dating. Karena merekalah yang nanti
akan berperan besar, setelah mereka dewasa. Sekolah alam kini mulai menampakkan
hasil atas kiprah peranannya, setelah sepuluh tahun lebih berjalan, dengan
program-program cerdasnya.
Ketiga, banyaknya
orang tua yang ‘panik’ terhadap kemajuan di era informasi ini, membuat
anak-anak ‘terpaksa’ mengikuti keinginan orang tuanya, dengan bersekolah di
sekolah-sekolah yang memberikan beban tugas berat bagi anak didiknya. Sebab
pandangan klasik orang tua yang ingin agar anaknya bisa hidup dengan kemampuan
serta kepandaian di masa yang akan datang. Anak dipacu agar memiliki keahlian
sedini mungkin, agar di masa ia dewasa nanti bisa mendapatkan penghasilan dan
keahlian atau bisa bekerja dengan kemampuan otaknya. Padahal belum saatnya anak
memikirkan tugas-tugas sekolah yang begitu rumit. Hal ini sering membuat anak
kehilangan waktu bermain yang menjadi masa paling menyenangkan dan tak
terlupakan dalam hidupnya kelak. Sedangkan bagi orang tua yang kurang mampu,
kebutuhan ekonomi keluarga yang besar, seringkali membuat anak-anak harus
meninggalkan waktu bermain, bahkan waktu belajar, karena harus bekerja membantu
ekonomi keluarga. Hal ini sering terjadi di negara-negara berkembang.
Sekolah alam, juga
tampil sebagai solusi bagi hal tersebut. Bagi orang tua yang mampu dalam hal
financial, ia akan mengerti tentang pentingnya masa bermain bagi
putra-putrinya, bahkan bisa mengajarkan karakter sosial pada anaknya. Anak juga
di ajak mengerti bahwa kekayaan bukanlah satu-satunya pemecahan masalah, bagi
problem hidupnya kelak. Bagi orang tua yang kurang mampu, ia dapat bersekolah
di sekolah alam dengan biaya yang terjangkau. Akhirnya masalah tersebut dapat
teratasi. Pendidikan pun dapat berlangsung untuk eksisnya generasi di era
globalisasi yang ketat ini.
Keempat, bagi guru di
sekolah alam, otomatis harus memacu kompetensi serta kreatifitasnya karena
sekolah alam menghendaki pengajar-pengajar yang kreatif dan inovatif. Tentu
pengajar yang akan terpacu untuk memperdalam keahliannya dengan metode-metode
pengajaran yang up to date. Di era globalisasi ini, jalinan informasi serta
komunikasi harus dilakukan untuk menambah pengetahuan serta skill bagi
pendidik, disamping ketauladanan dalam membina anak didik. Pola komunikasi
antara sekolah serta orang tua murid haruslah dibina dengan baik, agar
‘sekolah’ bisa berlangsung baik di sekolah alam maupun di rumah. Tentu pola
komunikasi ini juga memerlukan kepiawaian seorang pendidik, ketika berhadapan
dengan orang tua murid yang masih berpandangan awam terhadap metode-metode
kurikulum di sekolah alam. Ini adalah tantangan tersendiri bagi pelaksana
dan pendidik di skeolah alam. Pada akhirnya pendidik akan memiliki keahlian
komunikasi yang baik, bukankah komunikasi yang baik sangat diperlukan di era
informasi ini?
KESIMPULAN
Disamping sebagai
sarana belajar dan mengajar, sekolah alam juga merupakan jawaban bagi tantangan
globalisasi. Globalisasi memang merupakan tantangan yang tak bisa kita hindari,
namun secara tak langsung globalisasi juga merupakan motivasi yang kuat untuk
memajukan potensi generasi. Perilaku yang kreatif, kreatifitas yang optimal,
kepemimpinan yang kuat disertai intelektual yang cerdas merupakan prasyarat
mutlak untuk menjawab tantangan tersebut. Sekolah alam telah berupaya untuk
mewujudkannya dengan segala kompetensi yang dimiliki.
Seorang yang bijak
berkata,’Gantungkan cita-citamu setinggi langit”. Sekolah alam menggeliat dalam
kesederhanaanya, namun betapa banyak bintang-bintang kecil yang terang berkilauan
di sana, berkedip, semakin terang dan melesat menuju masa depan yang gemilang
berkilauan. ( Salwa).
Regards, Yudi riswandy, www.goesmart.com