Oleh: Yacinta Senduk SE, SH, MBA, LLM
Ketika di kelas, kami memberi tugas kecil kepada murid untuk “memuji” orangtua mereka, memuji hasil pekerjaan ayah dan ibu di rumah, yang menurut mereka bagus, tugas ini dirasakan ganjil oleh kebanyakan murid. Namun seorang murid kami, sebut saja Andri, laki-laki berusia 14 tahun, bersikap sangat marah terhadap tugas ini. Suaranya kencang berkata, “Saya tidak mau memuji orangtua saya! Apalagi mama saya! Itu hal yang sangat tolol! Dan saya rasa tidak ada gunanya memuji siapapun juga!”
Belum sempat pelatih bertanya mengapa, Andri melanjutkan, “Coach tahu, kalau saya memuji masakan mama saya, mama akan berkata, ‘Nggak usah dibahas! makan aja!’... Tapi, kalau saya tidak berkomentar tentang masakannya, mama saya akan menanyakan bagaimana masakannya. Pernah, saya menjawab, ‘keasinan’. Mama saya marah, mama bilang, ‘Eh! Suka nggak suka, makan aja! Mama sudah capek-capek masak, kamu cuma tinggal makan, masih ngedumel!’” Papar murid kami...
“Tuh kan, coach, kalau ngomong sama mama saya, semuanya salah! Ngomong baik, salah. Ngomong jujur, salah. Memang mama saya itu dan semua orangtua, tidak masuk akal! Saya nggak ngerti!” Kata Andri menyamaratakan semua orangtua.
Akhirnya, kami meminta Andri untuk mencoba memuji ayahnya dan melaporkan reaksi sang ayah. Syukurlah, sang ayah bereaksi lebih positif terhadap pujiannya sehingga murid kami tersebut mengerti bahwa tidak semua orangtua akan menyepelekan pujian yang tulus.
Suatu hari, kami berkesempatan berbicara dengan mama Andri. Di ujung pembicaraan ia berkata, “Belakangan saya melihat anak saya itu akrab dengan papanya. Dulu tidak begitu, tetapi jika saya mendengarkan percakapan mereka, sebenarnya bagi saya sangat asing, mereka berbicara tentang hal-hal yang jujur, seperti ketika warna dasi papanya tidak bagus, Andri bilang bahwa dasi itu tidak bagus dan papanya segera mengganti dasinya tanpa ngedumel. Tapi ketika papanya mengajak makan ke sebuah restoran, Andri berkata, wah! Makanannya enak, Pa.. Memang papa hebat deh kalau memilih restoran, seru!” Jelas ibu itu sambil mengernyitkan dahinya.
“Lalu kenapa ibu bingung?” Tanya saya.
“Di dalam hidup saya, saya melihat bahwa pujian-pujian yang dilontarkan itu kebanyakan palsu. Ayah-ibu saya pedagang, mereka banyak berkata-kata manis hanya supaya dagangannya laku. Itulah sebabnya, saya tidak pernah percaya pada pujian. Semua pujian itu palsu.” Ujarnya.
“Semua pujian, bu?” Kembali saya bertanya.
“Melihat Andri dan papanya sekarang, saya jadi belajar bahwa tidak semua pujian adalah bohong dan tidak semua kritikan berasal dari hati yang jahat.” Katanya datar.
Yacinta Senduk SE, SH, MBA, LLM adalah Principal of Yemayo Advance Education Center
Sumber: http://www.facebook.com/notes/yemayo-advance-education-center/tidak-usah-memuji-masakan-mama/10150248389491704
Tidak ada komentar:
Posting Komentar