Oleh: Chaidir Anwar Tanjung - detikNews
Pekanbaru - Tidak mengenal menyerah demi mendapatkan ilmu tulis dan baca. Tiga bocah anak Orang Rimba di Jambi rela menelusuri kawasan hutan selama tiga hari untuk mencari guru pembimbingnya dari aktivis Warsi. Selama perjalanan mereka tidak makan selama dua hari. Namun usaha mereka tidak sia-sia, mereka akhirnya bertemu dengan guru pembimbingnya.
Inilah sepenggal kisah pedih dari kelompok anak-anak Orang Rimba di kawasan hutan belantara di Jambi. Nasib mereka tidak seiindah anak-anak pada umumnya yang dengan mudah mendapatkan fasilitas pendidikan dari pemerintah. Anak Orang Rimba nan jauh di pedalaman sana, sampai kini tidak mendapatkan fasilitas pendidikan formal dari pemerintah terdahulu sampai kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Untuk mengenali menulis dan mambaca, selama ini anak-anak Rimba hanya mengharapkan adanya bimbingan dari kelompok aktivis lingkungan. Salah satu kelompok aktivis yang melakukan bimbingan belajar baca dan tulis adalah Warsi yang berpusat di Jambi.
Selama ini Warsi memberikan bimbingan belajat pada anak-anak Rimba dengan pola saling bergantian. Tidak bisa saban hari mereka memberikan pelajaran buat anak-anak itu. Ini mengingat keterbatasan tenaga pengajar Warsi yang hanya dua orang yakni seorang gadis bernama Karlina dengan seorang pemuda bernama Abdi. Mereka berdua harus bergantian memberikan pelajaran pada anak-anak Rimba yang lokasinya saling berbeda. Sehingga dengan hanya ada dua tenaga pengajar, anak-anak Rimba ini paling banter sepekan sekali baru mendapatkan pelajaran menulis dan membaca dari guru pembimbingnya.
Sebagaimana siang itu, Karlina dan Abdi baru saja melakukan proses belajar mengajar serta membawa tamu dari Jakarta untuk anak-anak Rimba di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Hanya beberapa hari Karlina saat itu memberikan bimbingan belajar. Namun karena ada tugas lainnya, Karlina harus segera meninggalkan anak-anak itu karena harus membimbing kelompok anak-anak yang lainnya.
Ketika Karlina meninggalkan 10 muridnya itu, rupanya secara diam-diam keesokan harinya tiga muridnya masih ingin terus belajar. Menyadari guru pembimbingnya baru akan tiba sepekan ke depan, lantas tiga bocah itu nekat mencari perwakilan Kantor Warsi yang berada sangat jauh dari kawasan taman nasional.
Tanpa mereka sadari, di bagian belakang, tiga bocah Rimba itu adalah Kalitap (10), Besiap Bungo (7) dan Moruya (9) berjalan kaki berbekal seadanya. Sebagaimana keseharian anak Rimba mereka hanya mengenakan kain penutup kemaluan saja tanpa mengenak baju. Dari tempat tinggalnya, tiga sekawan ini terus menyelusuri kawasan hutan untuk pergi ke kantor lapangan Warsi hanya ingin belajar tulis dan baca.
Ketiga bocah ini, tetap berjalan hingga malam menjelang. Di dekat pabrik sawit PT Emal, sekitar 10 jam jalan kaki dari tempat tinggal mereka, ketiga bocah ini memutuskan untuk istirahat. Bekal mie instan 3 bungkus dan dua bungkus roti mereka bawa, menjadi menu mereka malam itu. Di bawah pepohonan sawit ketiga bebudak—sebutan orang rimba untuk anak-anak—itu tertidur di atas tanah beratapkan langit, sarung yang mereka bawa menjadi pembungkus tubuh dari serangan angin malam. Untung saja malam itu tidak turun hujan.
Keesokan paginya, ketiga budak rimba bersepakat untuk melanjutkan perjalanan, setalah sarapan pagi dengan sisa roti semalam. Tujuan mereka satu, bertemu lagi dengan tim Warsi untuk melanjutkan pelajaran mereka tempo hari. Ketiga bocah beriringan, terus menelusuri jalanan kebun sawit dan kemudian masuk ke desa hingga akhirnya setelah 4 jam mereka berjalan sampailah mereka di Pauh, tepi jalan besar yang menghubungkan Sarolangun-Jambi.
Di sini, ketiga bocah ini mencoba meminjam telepon, seorang kenalan yang ditemui di Pauh. Mereka mencoba menelpon nomor Fadli-driver-Warsi yang membawa tim Warsi. Selama di Simpang Alas, hanya nomor Fadli yang bisa di hubungi, sehingga anak-anak ini hanya mencatat nomor Fadli. Namun apa daya, sinyal yang hilang timbul menyebabkan mereka tak pernah tersambung dengan tim Warsi.
Sejenak ketiga bocah ini bimbang, mau bagaimana cara mereka untuk menemukan tim Warsi, sementara di sisi lain mereka tidak mau kembali ke rombongnya, mereka tetap ingin 'tokang' (pandai) membaca, menulis, dan berhitung. Selama ini memang ketiga bocah ini termasuk murid-murid yang diajarkan warsi, sejak 2008 silam, ketika sudah ada kesepakatan dengan Tumenggung mereka untuk adanya pendidikan di kelompok Terap. Terap merupakan kelompok Orang Rimba yang baru pada 2008 silam mau menerima pendidikan alternatif yang diberikan Warsi.
Namun keterbatasan tenaga pengajar dan banyaknya kelompok Orang Rimba yang harus di jangkau Warsi, kelompok ini, dikunjungi hanya beberapa hari dalam sebulan. Sementara di sisi lain, anak-anak rimba di kelompok ini sangat bersemangat untuk dibekali pengetahuan tentang huruf dan abjad serta merangkainya menjadi kata.
Ini juga yang membawa Kalitap dan dua rekannya untuk menyusul tim Warsi supaya mereka bisa diajarkan kembali, hingga mereka mahir membaca dan menulis serta berhitung. Perburuan mereka yang gagal menemukan tim Warsi di hari kedua, di tengah keraguan dan perjalanan panjang yag telah mereka tempuh, Moruya mengambil komando. "Awak ka SPI, mungkin kanti yoi di sana (kita ke SPI mungkin mereka di sana)," ujar Maroya dan langsung diiyakan oleh Besiap.
Walau mereka tahu, pilihan itu mengharuskan mereka berjalan sangat jauh. Pauh-SPI jika menggunakan kendaraan roda empat, menghabiskan waktu 3 jam perjalanan, apalagi jika berjalan kaki. Namun semangat "kamia ndok pintar" kembali menggerakkan langkah kaki anak-anak ini menyusuri jalan desa. Hingga sore menjelang mereka sampai di Simpang PT Emal—perkebunan sawit, sekitar 10 km dari Pauh. Di sebuah pos ronda ketiga bocah ini bermalam.
Tidak ada makan malam hari itu, dengan perut kosong ketiga bocah ini melelapkan mata. Bagi Orang Rimba sudah terbiasa untuk tidak makan seharian, masa remayo (masa paceklik) sering kali menghampiri kehidupan mereka terutama sejak semakin tipisnya sumber daya alam untuk mendukung kehidupan mereka.
Keesokan paginya, ketiga bocah ini kembali berjalan, beruntung di tengah jalan ada yang memberi tumpangan. Di bak terbuka sebuah truk cold diesel senyum para bocah ini mengembang, harapan mereka untuk bertemu tim Warsi hampir jadi nyata. Dua kali mereka berganti tumpangan dan kemudian melanjutkan dengan berjalan kaki, malam harinya akhirnya ketiga bocah ini sampai di kantor lapangan Warsi.
Abdi salah seotang guru bimbingan Warsi kaget bukan kepalang melihat tiga bocah itu sampai di kantor warsi. Malam itu, ketiga anak ini disuguhi makanan, dan disuruh istirahat di dalam kantor lapangan. Ketika mereka masuk ke dalam kantor, mereka malu dengan tas butut yang mereka bawa, dan memilih meninggalkannya di luar kantor, hanya mengambil isinya, sarung dan benda yang terbungkus dalam sarung itu.
"Ketika dia berjalan itu, sarungnya terlepas dari genggaman Besiap, sehingga buku dan pena dalam sarung itu berceceran, saya benar-benar terharu, ternyata mereka menyusul kami karena masih ingin belajar," kata Abdi dalam perbincangan dengan detikcom, Sabtu (23/7/2011). Tak ada baju yang mereka bawa, hanya sarung dan buku serta pena. Terbukti malam itu, ketika di suruh masuk ke kamar, anak-anak itu malah menyodorkan bukunya pada Abdi, dan meminta Abdi untuk mengajari mereka membaca.
"Meski sudah menempuh perjalanan jauh dan tidak makan dua hari, mereka masih mau belajar, ya jadilah kami belajar hingga larut malam," terang Abdi. Karena keesokan harinya ada keperluan ke Jambi, Abdi tidak tega untuk tidak memenuhi keiinginan mereka belajar. Sementara Karin sudah harus menjalankan tugasnya di kelompok lain. Ketiga anak inipun di bawa ke Jambi, tentu sebelumnya Abdi sudah menanyakan kepada anak-anak ini apakah orang tuanya sudah di kasih tahu.
"Kamia dah cakopkan ka induk, ndok pergi belajor (kami sudah izin pada induk, kami mau pergi belajar," sebut Besiap. Jadilah ketiga bocah itu nangkring di boncengan Abdi menempuh perjalanan panjang 6 jam bersepeda motor. Kini ketiga bocah itu, ingin menimba ilmu sebagaimana mana umumnya anak Indonesia. Walau mereka tidak memiliki fasilitas tas dan buku yang bagus, mereka hanya memiliki keinginan yang kuat agar kelak mereka tidak terus menerus menjadi anak yang terisolasi di tengah hutan belantara.
(cha/ndr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar