“Saya punya masalah dengan matematika saat saya kelas III SD. Angka, rumus, dan persamaan selalu membuat saya frustrasi. Aku tak ingin guruku menilai aku hanya malas belajar,” kata Budi–sebut saja begitu–yang kini berusia 15 tahun.
Budi yakin ada yang salah pada dirinya. “Karena saya tak punya masalah di bidang lain, bahkan saya dapat nilai terbaik untuk setiap mata pelajaran lain, kecuali di ilmu pengetahuan alam yang membutuhkan angka-angka.”
Istilah disleksia tampaknya cukup dipahami masyarakat. Ini adalah istilah yang digunakan untuk menyebut mereka yang punya masalah membaca dan menulis, seperti mengalami disorientasi kala menghadapi huruf. Ternyata ada “cabang” dari disleksia ini yang disebut diskalkulia. Ini adalah kelainan neurokognitif pada mereka yang selalu kesulitan memahami matematika dan angka.
Seperti halnya disleksia, diperkirakan angka kasus diskalkulia di atas 7 persen dari tiap populasi. “Disleksia juga menjadi ganjalan bagi pengidapnya, seperti halnya disleksia, dan menjadi beban masyarakat yang cukup berat, tapi tampaknya ini tak banyak mendapat perhatian,” kata Profesor Brian Butterworth, penulis hasil penelitian dan anggota Center for Educational Neuroscience (CEN) dari UCL Institute of Cognitive Neuroscience, Inggris, dalam jurnal Science.
Seperti disleksia, diskalkulia adalah kondisi yang dibawa sejak lahir, dan diduga diturunkan dalam sejumlah kasus. Ini terbukti dari penelitian terhadap anak kembar. Kesimpulannya, ketidakmampuan aritmatika memiliki komponen genetik meski gen yang menyebabkannya belum terlokasi.
Tapi para ahli yakin, meski diturunkan, bukan berarti pengidap diskalkulia tidak bisa keluar dari masalah mereka. Menurut Mutiara Padmosantjoyo, MSc, pakar perkembangan anak dan program adviser HighReach, Learning Care Institution, sebenarnya diskalkulia, seperti disleksia, adalah perkara yang lumrah dalam proses belajar anak.
“Bentuk dan tingkat kesulitannya memang berbeda-beda pada tiap anak. Yang penting kemudian adalah bagaimana penanganannya,” kata Mutia, lulusan dari University of Groningen, Belanda.
Mutia mengingatkan bahwa urusan belajar anak bukan hanya tugas orang tua atau guru di sekolah. “Jangan sampai ketika anak mengalami masalah belajar, guru dan orang tua saling menyalahkan. Keberhasilan belajar sebenarnya adalah kesuksesan kerja sama orang tua guru dan siswa.”
Lalu, ketika orang tua atau guru mencurigai ada masalah pada anak, kehadiran psikolog pendidikan anak menjadi jalan tengah untuk mengatasi masalah. “Bisa psikolog sekolah, bisa juga psikolog yang sudah dikenal orang tua. Mereka biasanya sudah punya tolok ukur tertentu, lalu lewat observasi mereka akan menemukan simtom jika benar anak mengalami kesulitan belajar atau tidak dan bagaimana penanganannya,” kata Mutia.
Bersama orang tua, guru, dan psikolog nantinya akan ditemukan bagaimana cara belajar yang paling nyaman dan tepat buat anak. “Karena ada kalanya hanya dengan orang tua meluangkan sedikit lebih banyak waktu dan kesabaran, apa yang semula dianggap sebagai kesulitan belajar anak akhirnya bisa diatasi,” kata Mutia.
Gejala Si Anti-Angka
- · Sering mendapat nilai buruk pada mata pelajaran matematika.
- · Merasa frustrasi saat menghadapi soal dengan angka.
- · Punya masalah spasial dan kesulitan menjejerkan angka pada urutan yang tepat. Mengalami disorientasi antara kiri dan kanan. Menyebut urutan angka dengan melompat atau terbalik.
- · Bermasalah dengan konsep matematika dalam kata-kata, atau bingung membedakan angka, seperti 7 dengan 9 atau 3 dengan 8.
- · Kesulitan menggunakan kalkulator.
- · Umumnya pengidap diskalkulia punya kemampuan normal dalam verbal, membaca, menulis, serta punya memori dan seni visual yang bagus.
- · Punya kesulitan konsep abstrak terhadap waktu dan jarak. Itu tampak dari kecenderungan sering tersesat atau telat.
- · Tidak konsisten dalam menjawab pertanyaan penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian.
- · Tak cakap mengelola keuangan, menggunakan kartu kredit, tak mampu membuat perencanaan keuangan, bahkan takut bertransaksi keuangan.
- · Meski bisa paham ketika diajari rumus matematika, biasanya penderita bingung ketika diminta menjabarkannya lagi atau mengerjakan sesuai dengan contoh.
- · Sulit memahami notasi musik atau menggunakan jemari untuk memainkan instrumen.
- · Bermasalah dalam koordinasi atletis dan menirukan gerakan fisik cepat, seperti pada aerobik atau tari.
- · Sering bingung atau punya strategi yang terbatas saat bermain kartu atau catur.
Sumber: http://bentengkesehatanumat.wordpress.com/2011/08/01/tak-cakap-berhitung-bukan-malas-belajar/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar