Apa yang bisa
mengguncang institusi pendidikan prestisius? Ternyata bukan nilai,
sarana-prasarana, atau dana, tapi ketidakjujuran.
Itulah yang terjadi di
Universitas Harvard, AS, yang prestisius itu. Baru-baru ini Harvard terguncang
hebat oleh skandal ”nyontek” yang melibatkan sekitar 125 mahasiswa dalam mata
kuliah pemerintahan.
Sesungguhnya penulis
rindu guncangan semacam itu juga terjadi dalam pendidikan kita. Guncangan
karena skandal ”nyontek” justru menunjukkan penyelenggara pendidikan teguh
memperjuangkan martabatnya. Kejujuran harga mati, martabat, sekaligus roh
pendidikan. Sebaliknya, menutup-nutupi fakta ketidakjujuran dan beragam
dinamika pendidikan manipulatif tindakan pembusukan dunia pendidikan dan
penghancuran bangsa.
Alasan mencontek
Alasan mencontek
Ada banyak alasan
mengapa siswa/mahasiswa mencontek. Pada kasus Harvard, pencontek- an dilakukan
puluhan atlet universitas itu. Diduga, seperti banyak perguruan tinggi lain,
Harvard memberikan keringanan bagi para atlet mahasiswa. Dalam konteks ini,
mencontek terjadi karena pencontek tak ada di tempat belajar yang tepat.
Pembelajar harus mempertimbangkan kultur dan dinamika tempat belajarnya agar
terhindar dari tekanan terlampau tinggi karena tuntutan institusi pendidikan di
luar kemampuannya. Sekolah/universitas yang ”bagus dan baik” belum tentu
berguna bagi semua pembelajar.
Tekanan yang terlampau
berat juga terjadi karena tuntutan prestasi/nilai. Tuntutan itu bisa datang
dari orangtua atau lembaga. Sesungguhnya tak selalu salah menuntut pembelajar
mendapat prestasi tinggi asal lembaga pendidikan sungguh-sungguh menekankan dan
menghargai proses. Nalarnya: kalau semua proses pendidikan berjalan dengan
baik, akuntabel, dan transparan, nilai/prestasi yang baik akan terjadi dengan sendirinya.
Sayangnya, pendidikan
kita telah mengabaikan proses. Akibatnya sebagian besar pembelajar di negeri
ini tak memiliki kepercayaan diri. Ketika penulis bertanya kepada para murid
tentang alasan mereka sulit mengendalikan dorongan spontan untuk tidak mencontek
adalah nihilnya kepercayaan diri. Sejak SD mereka tak pernah mengalami
nikmatnya belajar, indahnya belajar dengan menekuni proses. Lebih parah lagi,
guru mereka tak banyak menghargai, apalagi mengajarkan proses belajar.
Kita bisa memahami
pengakuan para murid itu ketika menyadari rendahnya kompetensi guru. Kian
jarangnya digunakan soal-soal uraian dalam ujian adalah petunjuk lain.
Pragmatisme pembelajaran yang berjiwa hedonis dengan menjadikan nilai ujian
sebagai penentu prestasi pantas kita pertimbangkan juga. Padahal, banyak
pembelajar sesungguhnya unggul dalam mengerjakan tugas harian (proses), tetapi
ringkih saat ujian karena kurang percaya diri. Di sini kita mestinya sadar,
para pencontek itu adalah korban dinamika pembelajaran yang pragmatis-hedonis,
mengabaikan proses, tidak transparan dan akuntabel.
Kita juga mesti
merenung jujur: tidakkah dinamika pendidikan yang begitu memuja pencitraan dan
beragam tindakan manipulatif hanya akan melahirkan generasi pencontek? Apalagi
bila dinamika semacam itu justru difasilitasi dan dimobilisasi lembaga
pemerintahan-negara. Itu sebuah pelanggaran hak asasi manusia yang serius,
sistematis, dan kejam, tetapi terjadi dalam sunyi. Lebih parah lagi, ini
efektif menghancurkan eksistensi bangsa kita karena pada saatnya negeri ini
akan diurus generasi nihil kepercayaan diri.
Pembelajar jujur
Pembelajar jujur
Pendidikan jujur
niscaya demi menjaga eksistensi bangsa ini dalam percaturan dunia. Pendidikan
jujur meniscayakan dinamika pembelajaran yang menekankan dan menghargai proses,
transparan, serta akuntabel. Dinamika pendidikan semacam itu membantu
pembelajar mengalami apa yang oleh Paulo Freire disebut humanisasi.
Dalam humanisasi,
manusia dibantu menyadari keterbatasannya dengan praksis. Pendidikan yang
menekankan dan menghargai proses membantu pembelajar menyadari keterbatasannya
hingga sanggup mengatasi situasi yang membatasinya itu.
Karena itu, pembelajar
perlu dibantu memilih institusi belajar yang memiliki kultur dan dinamika
pembelajaran yang cocok baginya. Tujuannya agar pembelajar mampu berproses. Ia
mampu nyaman dengan dirinya, menentukan target prestasi yang terukur, serta
melakukan dinamika proses pembelajaran yang unik untuk mencapai target itu.
Pada akhirnya ia terbantu untuk memiliki banyak pengalaman sukses dan melampaui
keterbatasan-keterbatasan yang disadarinya. Inilah jalan melahirkan generasi
berkarakter dan jujur.
Beragam pencitraan dan
kastanisasi pendidikan yang memengaruhi perekrutan pembelajar perlu
dipertimbangkan. Institusi pendidikan sebaiknya merekrut mereka yang mampu
belajar sesuai kultur institusinya. Sekolah/ universitas dibangun untuk
pembelajaran, bukan gerombolan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar