Belakangan ini istilah “blusukan”
menjadi sedemikian populer. Jokowi berperan besar dalam menasionalisasikan
terminologi bahasa Jawa tersebut. Bahkan tatkala banjir bandang
menggenangi ibukota, mantan walikota Solo tersebut tetap berkeliling menyapa
warganya di barak-barak pengungsian.
Menurut Wijayanto Samirin, asal
kata blusukan dari kata ”keblusuk” alias ”tersesat”. Jadi “blusukan” sinonim
dengan ”sengaja menyesatkan diri untuk mengetahui sesuatu.” Pertanyaannya,
apakah blusukan dapat diterapkan juga di ranah pencerdasan kehidupan bangsa?
Ternyata ada beberapa guru yang
telah mempraktikkannya, salah satunya bernama Herman Joseph Sriyanto.
Selain aktif mengajar subjek Matematika di SMA Kolese de Britto Yogyakarta,
alumnus Advanced Teacher Program (ATP) di St. Ignatius College Riverview
Australia tersebut pernah berkunjung ke Colegio De Sao Jose. Letaknya jauh di
pelosok Timor Leste sana.
Dalam perjalanan ke daerah
Maubara, ia menyaksikan pemandangan menggetarkan. Para guru duduk
berdesak-desakan di bak terbuka di belakang truk yang melaju kencang. Selama 3
jam nonstop mereka terpanggang terik sinar matahari. Syahdan, H.J Sriyanto
teringat kepada para koleganya di pulau Jawa. Mereka acap kali berkeluh-kesah
meski pergi ke sekolah dengan naik sepeda motor atau mobil ber-AC. Padahal
wajah para guru di Dilli itu, tak sekilas pun menyiratkan rasa keputusasaan
(Sekolah itu Surga, 2012).
Praktisi pendidikan lain yang
“hobi” blusukan ialah St. Kartono. Dosen bahasa Indonesia dan Jurnalistik di
PBSID (Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah) Universitas Sanata Dharma
(USD), Yogyakarta tersebut intens berbagi semangat dan teknik menulis. Buah
pena-nya antara lain Menebus Pendidikan Yang Tergadai (2002), Reformasi
Pendidikan (2003, dkk), Seri Pendidikan Budi Pekerti (2003-2004, dkk), Sekolah
Bukan Pasar (Juni, 2009), dan Menulis Tanpa Rasa Takut (Juli, 2009).
Tatkala melawat ke pesisir utara
daerah tengkuk kepala burung di bumi Papua, St. Kartono pernah ditanya seorang
murid bernama Paul, “Pak guru, saya sudah mencoba menulis, tetapi sering
tersendat atau berhenti, bagaimana usaha mengatasi itu?” Paul berasal dari
daerah pedalaman, desanya berjarak 7 hari jalan kaki dari asrama sekolah.
Pak guru menjawab, “Paul, menulis
tersendat itu karena bahan di kepala kita habis. Bisa juga pikiran tidak mampu
mengaitkan masalah yang kita bahas dengan lentur.” Senada dengan pendapat Romo
Baker, menulis ibarat membongkar tabungan berupa bacaan di kepala (Menjadi Guru
Untuk Muridku, 2011).
Semangat Muda
Lantas dari generasi muda Ryan
Singgih Prabowo (23) membagi ilmu di SDN 10 Dusun Mak Dewa, Pulau Rupat,
Bengkalis, Riau. Jaraknya 11 jam perjalanan darat dan laut dari kota Pekanbaru.
Setahun penuh ia menjadi pengajar muda yang diutus Yayasan Indonesia Mengajar
besutan Anies Baswedan.
Ternyata yang memotivasi Ryan
ialah anak-anak didiknya. “Mereka membuat saya piawai melewati titik jenuh.
Tugas saya sekadar menjembatani orang miskin yang berpotensi luar biasa menjadi
semakin luar biasa.” Ia lebih suka mengajar sambil bermain. Bahkan terkadang ia
menggunakan alam sekitar sebagai media mengajar. Intinya, pakai apa saja yang
bisa dijadikan media, sehingga anak tak menyadari ternyata yang sedang
dilakukan adalah proses belajar, bukan sekadar bermain (Psikologi Plus,
Desember 2012).
Kemudian ada juga kisah siswa SMA
Kolese de Britto yang menjadi relawan gempa di seputaran Jateng - DIY pada Mei
- Agustus 2006 silam. Di tengah kesibukan sekolah, ia masih bisa menyempatkan
diri berbagi dengan sesama yang menderita. Wahyu Purwawijayanto merasakan
pengalaman magis ketika berada di rumah sakit (RS), “Bau yang sangat tidak enak
berasal dari luka yang membusuk. Aku merasa ragu. Nuraniku berkata untuk segera
menolong kakek itu. Namun, indra penciumanku tidak tahan dengan bau busuk.
Belum sempat mundur satu langkah ada seorang relawan yang meminta bantuanku
untuk memindahkan sang kakek ke tempat tidur. Entah kekuatan apa yang
menggerakkanku, yang jelas seketika aku mengabaikan rasa takutku dan berani
mendekati kakek itu” (Sekolah Gempa - Sekolah Hati, 2008).
Akhir kata, blusukan tak harus bepergian secara
fisik ke luar kota ataupun turba (turun ke bawah). Tapi dapat juga dilakukan di
lingkungan sekolah kita masing-masing. Sekadar menyapa, meluangkan waktu, dan
bercakap-cakap dengan anak didik ialah jurus mujarab untuk mengetahui situasi
konkrit mereka. Sehingga bisa lebih menunjang proses pembelajaran. Menyitir
pendapat Winston Churchill, “Kita hidup dari apa yang kita dapatkan, tapi
manusia bahagia dari apa yang ia berikan kepada sesama.” Salam Pendidikan.
Best Regarts,
Yudi Riswandy,
www.goesmart.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar