Oleh Hernowo Hasim
Memahami membaca untuk kesenangan, dari kacamata Cultural Studies, sebenarnya
menempatkan membaca sebagai aktivitas yang tidak berbeda dengan aktivitas dan
gaya hidup masyarakat urban yang lain, seperti menonton televisi, memilih
selera genre musik, memilih mode pakaian, telepon genggam, dan berbagai simbol
kehidupan masyarakat modern, bahkan postmodern.
Kegiatan membaca untuk kesenangan di kalangan remaja urban ini menarik untuk
dipahami lebih mendalam karena memiliki kekhasan yang berbeda dengan aktivitas
mengisi waktu luang yang lain.
Seperti dikatakan Wang dkk. (2006), membaca pada dasarnya adalah aktivitas
yang populer dan terbuka bagi siapa saja, karena buku tersedia luas di toko
buku, perpustakaan, atau meminjam ke teman dan orang lain. Membaca juga
merupakan aktivitas individual. Berbeda dengan keputusan menonton televisi
dalam keluarga, misalnya, yang acapkali ditentukan bersama; untuk kegiatan
membaca seseorang bisa mengikuti preferensi pribadi dan merupakan keputusan
yang sifatnya individual.
Saya menemukan kata-kata mencerahkan itu dari buku Rahma Sugihartati, Membaca,
Gaya Hidup dan Kapitalisme: Kajian tentang “Reading for Pleasure” dari
Perspektif Cultural Studies (Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010), di halaman 10. Bagi
saya, buku ini disusun dengan materi-materi yang mengagumkan. Bukan hanya
materi-materi itu dikumpulkan berdasarkan riset yang hebat, tetapi Rahma
benar-benar menjadikan bukunya ini sangat kaya akan sumber kepustakaan yang
membuka lebar-lebar pikiran saya.
Saya membayangkan andaikan buku ini dapat dibaca oleh, pertama, para pengambil
kebijakan tentang pendidikan; kedua, para orangtua yang ingin putra-putrinya
dapat membiasakan membaca sejak dini secara menyenangkan; ketiga, para pengelola
perpustakaan dan aktivis yang sering melakukan penggalakan minat baca; keempat,
para pemimpin organisasi kemasyarakatan; dan kelima, tentu saja para guru yang
bertahun-tahun telah mengabdikan hidupnya untuk mencerdaskan bangsa.... Apa
yang akan terjadi jika buku ini dibaca oleh mereka?
Menurut Rahma, di halaman 207 bukunya, “Perspektif Cultural Studies memahami
membaca bukan semata-mata aktivitas yang dikerjakan seseorang ketika ia
menyimak dengan teliti sebuah teks tertulis. Pada kenyataannya, membaca adalah
sebuah proses di mana seseorang terlibat setiap saat, sebagaimana kita berusaha
mencoba menafsirkan tanda-tanda yang mengelilingi kita.
Memahami membaca untuk kesenangan, dari kacamata Cultural Studies, sebenarnya
menempatkan membaca sebagai aktivitas yang tidak berbeda dengan aktivitas dan
gaya hidup masyarakat urban yang lain, seperti menonton televisi, memilih
selera genre musik, memilih mode pakaian, telepon genggam, dan berbagai simbol
kehidupan masyarakat modern, bahkan postmodern.
Kegiatan membaca untuk kesenangan di kalangan remaja urban ini menarik untuk
dipahami lebih mendalam karena memiliki kekhasan yang berbeda dengan aktivitas
mengisi waktu luang yang lain.
Seperti dikatakan Wang dkk. (2006), membaca pada dasarnya adalah aktivitas
yang populer dan terbuka bagi siapa saja, karena buku tersedia luas di toko
buku, perpustakaan, atau meminjam ke teman dan orang lain. Membaca juga
merupakan aktivitas individual. Berbeda dengan keputusan menonton televisi
dalam keluarga, misalnya, yang acapkali ditentukan bersama; untuk kegiatan
membaca seseorang bisa mengikuti preferensi pribadi dan merupakan keputusan
yang sifatnya individual.
Saya menemukan kata-kata mencerahkan itu dari buku Rahma Sugihartati, Membaca,
Gaya Hidup dan Kapitalisme: Kajian tentang “Reading for Pleasure” dari
Perspektif Cultural Studies (Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010), di halaman 10. Bagi
saya, buku ini disusun dengan materi-materi yang mengagumkan. Bukan hanya
materi-materi itu dikumpulkan berdasarkan riset yang hebat, tetapi Rahma
benar-benar menjadikan bukunya ini sangat kaya akan sumber kepustakaan yang
membuka lebar-lebar pikiran saya.
Saya membayangkan andaikan buku ini dapat dibaca oleh, pertama, para pengambil
kebijakan tentang pendidikan; kedua, para orangtua yang ingin putra-putrinya
dapat membiasakan membaca sejak dini secara menyenangkan; ketiga, para pengelola
perpustakaan dan aktivis yang sering melakukan penggalakan minat baca; keempat,
para pemimpin organisasi kemasyarakatan; dan kelima, tentu saja para guru yang
bertahun-tahun telah mengabdikan hidupnya untuk mencerdaskan bangsa.... Apa
yang akan terjadi jika buku ini dibaca oleh mereka?
Menurut Rahma, di halaman 207 bukunya, “Perspektif Cultural Studies memahami
membaca bukan semata-mata aktivitas yang dikerjakan seseorang ketika ia
menyimak dengan teliti sebuah teks tertulis. Pada kenyataannya, membaca adalah
sebuah proses di mana seseorang terlibat setiap saat, sebagaimana kita berusaha
mencoba menafsirkan tanda-tanda yang mengelilingi kita.
“Dalam pandangan Cultural Studies, membaca umumnya dipahami sebagai sebuah
dialog atau transaksi, antara teks-teks dengan pembacanya dan sebuah penekanan
yang terkait pada peran kreatif dan peran aktif pembacanya. Interpretasi tidak
pernah pasti karena teks tidak menyediakan pesan-pesan yang monolitik,
melainkan galaksi-galaksi tanda yang amat banyak untuk diikuti/dikejar dari
banyak jurusan (Cavallaro, 2004: 92).”
Indah sekali rumusan yang baru saja saya kutip itu. Saya awam tentang Cultural
Studies, namun membaca buku Rahma, saya tiba-tiba teringat banyak hal. Pertama,
saya teringat kepada Paul Jennings, penulis The Reading Bug... Anda How You Can
Help Your Child to Catch It (Penguin Books, Australia, 2003), yang menekankan
sekali pentingnya TIDAK menjadikan kegiatan membaca dan menulis di sekolah
sebagai tugas karena akan membebani sebagian besar anak.
Kedua, saya teringat pentingnya memberikan pengalaman membaca kepada setiap
anak, sejak dini, yang sangat menyenangkan, agar mereka benar-benar dapat
menyerap manfaat luar biasa membaca.
Ketiga, saya teringat riset Dr. Krashen dalam bukunya, The Power of Reading:
Insights from the Research (Libraries Unlimited Inc., Colorado, 1993), yang
menunjukkan kepada saya bahwa kunci menulis itu ada pada membaca.
Terima kasih Bu Rahma Sugihartati atas buku karya Anda yang sungguh sangat
mencerahkan pikiran saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar