Senin, 23 November 2009

PENGARUH POLA ASUH ANAK TERHADAP PRESTASI SISWA


Segera bergabung di www.indi-smart.com

Disusun Oleh: Janti Sumedi

Mengenal Bentuk Pola Asuh Orangtua Karakteristik kepribadian setiap individu adalah unik dan berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor yang mempengaruhinya, salah satunya adalah keluarga. Keluarga merupakan lingkungan sosial terkecil, namun memiliki peran yang sangat besar dalam mendidik dan membentuk kepribadian seseorang individu.
Struktur dalam keluarga dimulai dari ayah dan ibu, kemudian bertambah dengan adanya anggota lain yaitu anak. Dengan demikian, terjadi hubungan segitiga antara orangtua-anak, yang kemudian membentuk suatu hubungan yang berkesinambungan. Orangtua dan pola asuh memiliki peran yang besar dalam menanamkan dasar kepribadian yang ikut menentukan corak dan gambaran kepribadian seseorang setelah dewasa kelak.
Orangtua memiliki cara dan pola tersendiri dalam mengasuh dan membimbing anak. Cara dan pola tersebut tentu akan berbeda antara satu keluarga dengan keluarga yang lainnya. Pola asuh orangtua merupakan gambaran tentang sikap dan perilaku orangtua dan anak dalam berinteraksi, berkomunikasi selama mengadakan kegiatan pengasuhan.
Dalam kegiatan memberikan pengasuhan ini, orangtua akan memberikan perhatian, peraturan, disiplin, hadiah dan hukuman, serta tanggapan terhadap keinginan anaknya. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orangtua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang kemudian semua itu secara sadar atau tidak sadar akan diresapi kemudian menjadi kebiasaan pula bagi anak-anaknya.
Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Baumrind (Santrock, 1998) mengenai perkembangan sosial dan proses keluarga yang telah dilakukan sejak pertengahan abad ke 20, yang kemudian membagi kategori bentuk pola asuh berkaitan dengan perilaku remaja. Secara garis besar terdapat tiga pola yang berbeda diantaranya yakni authoritarian atau otoriter, permissive (permisif) dan authoritative atau demokratis. Berikut ini merupakan penjelasan dari ketiga bentuk pola asuh dan pengaruhnya terhadap anak.
Menurut Nashori (2008), sejauh ini di Indonesia khususnya, belum banyak penelitian tentang profil orangtua yang sukses dalam mendidik anak. Beberapa penelitian korelasional telah dilakukan untuk mengungkapkan pola asuh sebagai variabel bebas (Dayakisni, 1977; Krisnawaty, 1986; Winarto, 1990; Wismantono, 1995; Wulan, 2000; Setiawan, 1997; Roswita, 2000; Dalimunthe, 2000; Cahyaningrum, 2000; Hapsari, 2000; Mustaqim, 2000; Kurnia, 2000; Endahwati, 2001; Saptasari, 2001; Wibowo, 2002; Furqon, 2002; Mayaningrum, 2002). Dari penelitian-penelitian itu diketahui bahwa pola asuh demokratis/autoritatif menjadikan anak memiliki intensi prososial (1977), kompetensi sosial (Dalimunthe, 2000), prestasi belajar (Roswita, 2000; Mustaqim, 2000; Furqon, 2002), sikap asertif (2001), penyesuaian diri (Mayaningrum, 2002), ketaatan pada peraturan lalu lintas (wismantono, 1995), kepribadian wirasawasta (Winarto, 1990), yang lebih tinggi dibanding anak-anak yang memperoleh pola asuh otoriter maupun permisif dari orangtua. Di samping itu, penelitian juga menunjukkan bahwa bola asuh demokratis menjadikan anak memiliki prokrastinasi (Wulan, 2000) dan depresi (Saptasari, 2001) yang lebih rendah dibanding anak yang diasuh dengan pola asuh otoriter dan permisif.
Sebuah penelitian lain yang dilakukan oleh Bloom (Psikologika, 1999) menunjukkan bahwa bintang-bintang olahraga, seni, matematika, musik, yang sukses dididik oleh orangtuanya dengan penuh perhatian, dan untuk selanjutnya didampingi oleh pelatih-pelatih yang profesional. Sebagai contoh, bintang cilik yang sedang meroket namanya Sherina awalnya dilatih oleh orangtuanya untuk bernyanyi. Untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas cara bernyanyinya ia dididik oleh seorang profesional yang bernama Elfa Secioria (Kedaulatan Rakyat, 12 Oktober 2001).
2.2 Prestasi Siswa
Poerwanto (1986:28) memberikan pengertian prestasi belajar yaitu “hasil yang dicapai oleh seseorang dalam usaha belajar sebagaimana yang dinyatakan dalam raport.” Selanjutnya Winkel (1996:162) mengatakan bahwa “prestasi belajar adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan seseorang siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya sesuai dengan bobot yang dicapainya.” Sedangkan menurut S Nasution (1996) prestasi belajar adalah kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam berfikir, merasa dan berbuat. Prestasi belajar dikatakan sempurna apabila memenuhi tiga aspek yakni kognitif, afektif dan psikomotor, sebaliknya dikatakan prestasi kurang memuaskan jika seseorang belum mampu memenuhi target dalam ketiga kriteria tersebut.
Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat dijelaskan bahwa prestasi belajar merupakan tingkat kemampuan siswa yang dimiliki siswa dalam menerima, menolak dan menilai informasi-informasi yang diperoleh dalam proses belajar mengajar. Prestasi belajar seseorang sesuai dengan tingkat keberhasilan sesuatu dalam mempelajari materi pelajaran yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau raport setiap bidang studi setelah mengalami proses belajar mengajar. Prestasi belajar adalah dapat diketahui setelah diadakan evaluasi. Hasil evaluasi dapat memperlihatkan tentang tinggi atau rendahnya prestasi belajar siswa.
2.3 Pengaruh Pola Asuh terhadap Prestasi Siswa
Dari 10 responden yaitu siswa dengan ranking 5 besar di sekolah usia antara 14 sampai dengan 17 tahun, yang kami beri questionnaire maka diperoleh kesimpulan bahwa 100 % mereka memahami peranan orang tua ideal dan 90 % menyatakan bahwa orang tua mereka merupakan sosok orang tua yang ideal buat mereka karena bagi mereka orang tua adalah yang memberikan kasih sayang, mendidik, mengarahkan dan membimbing mereka menjadi anak yang lebih baik dan bermanfaat.
Penanaman sikap disiplin, menerima apa adanya, memberikan motivasi berprestasi serta aspek spiritual kepada anak diakui merupakan dasar pembentukan karakter anak berprestasi. Aspek psikis dan spiritual pada anak yang dihasilkan oleh orang tua dengan pola asuh otoritatif sangat menunjang secara signifikan prestasi anak. Responden menyatakan 100 % orang tua mereka menanamkan sikap – sikap seperti tersebut diatas dan mereka juga memahami alasan sikap orang tua menanamkan perilaku tersebut kepada mereka.
Kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan di luar sekolah yang mereka ikuti dan mendapatkan prestasi selain kegiatan akademik mereka, dari 10 responden menyatakan 50 % mereka mengikuti dan berprestasi dan 50 % mereka tidak mengikuti dengan alasan di sekolah tidak terdapat ekstrakurikuler. Penghargaan terhadap prestasi anak juga dilakukan oleh orang tua dengan pola asuh otoritatif walaupun hanya dengan ucapan selamat atas prestasi yang mereka peroleh. Sikap orang tua tersebut akan memberikan efek psikologis bahwa mereka merasa dihargai eksistensinya dan menjadikan mereka lebih termotivasi untuk berprestasi lebih baik lagi.
Ketika anak mempunyai masalah dengan sekolah, hubungan dengan seseorang dan lingkungannya, responden menyatakan 40 % mereka lebih suka/nyaman membicarakannya dengan orang tua karena orang tua lebih bisa menyimpan rahasia pribadi dan memberikan solusi, nasehat untuk membantu menyelesaikan masalah. Sedangkan 60 % mereka lebih suka curhat dengan temannya dengan alasan karena teman atau sahabat mereka menjadi tempat berbagi cerita dan menjadi kepercayaan mereka.
Orang tua dengan pola asuh otoritatif bersikap responsif terhadap kebutuhan anak dan mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan. Dari 10 responden 100 % mereka menyatakan bahwa orang tua mereka mau mendengarkan pendapat, solusi dan berdiskusi terhadap suatu hal atau masalah. Sikap orang tua tersebut akan memberikan efek rasa percaya diri anak terhadap kemampuannya dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Dengan berdiskusi memberikan ruang bagi orang tua untuk memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan buruk bagi anak dan anak pun memahami sikap dan alasan orang tua terhadap mereka. Sehingga hal ini akan memberikan kepercayaan anak terhadap orang tua bahwa mereka mendukung sepenuhnya aktivitas mereka dan harapan akan menjadi orang yang berhasil dan bermanfaat.

BAB III KESIMPULAN
Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah pola asuh otoritatif yang dilakukan di rumah dan di sekolah merupakan lahan subur bagi munculnya individu berprestasi.
Orangtua dari anak-anak yang berprestasi memiliki pandangan bahwa ada beberapa prinsip yang perlu dimiliki anak untuk mengantarkan anak menjadi individu yang berprestasi, yaitu (a) perilaku keagamaan dan moral etik, (b) kedisiplinan (d) prestasi dan motif berprestasi, serta (d) keprihatinan, kesabaran, dan menunda kenikmatan.
Orang tua dari anak-anak yang berprestasi melakukan hal-hal berikut ini, yaitu (a) menemani atau mendampingi anak saat belajar, (b) memberi pengarahan, peringatan, dan melakukan kontrol atas aktivitas anak, (c) memberi dukungan kepada anak, (d) memberi penghargaan terhadap anak (e) menjadi teladan bagi anak-anak.
Hal-hal yang dapat dilakukan orang tua dalam mengasuh anak :
• Harus disertai kasih sayang
• Tanamkan disiplin yang membangun
• Luangkan waktu kebersamaan dengan keluarga
• Ajarkan salah benar
• Kembangkan sikap saling menghargai
• Perhatikan dan dengarkan pendapat anak
• Membantu mengatasi masalah
• Melatih anak mengenal diri sendiri dan lingkungnan
• Mengembangkan kemandirian
• Memahami keterbatasan pada anak
• Menerapkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.

Tips Menghadapi Anak Gagal & Tidak Berprestasi

Segera bergabung di www.indi-smart.com


Menghadapi Anak Gagal & Tidak Berprestasi

By: Julianto & Roswitha

Betapa banyak orangtua kecewa pada hasil studi anaknya! Orangtua merasa sudah berusaha semaksimal mungkin. Mereka bekerja keras agar anak mendapat sekolah yang baik, tempat les, dan fasilitas terbaik. Ayah dan ibu berpendapat sebenarnya sang anak mampu berprestasi lebih. Maka tidaklah heran jika akhirnya harapannya tidak tercapai, orangtua akan sangat kecewa dan marah pada anak-anaknya.

Menularkan Kekecewaan
Seorang bapak, sebutlah namanya Pak Iman, punya trauma terhadap raport. Semua berawal ketika Iman duduk di Sekolah Dasar kelas 2. Di hari penerimaan raport, Iman mampir ke rumah teman sekelasnya, Hadi. Iman menyaksikan bagaimana orangtua Hadi menyambut dia dengan hangat. Hadi dipeluk oleh ayah-ibu dan kakak-kakaknya. Semua antusias melihat hasil pelajarannya selama satu kwartal yang sudah lewat. Ayahnya memujinya, sedangkan ibunya mengucapkan selamat untuk beberapa nilai yang meningkat dibandingkan term sebelumnya.

Iman tertegun. Dia berharap kalau sampai di rumah dia juga akan mendapat perlakuan yang sama, karena nilai raportnya juga bagus seperti temannya. Tapi apa yang terjadi? Di rumah, ayah Iman hanya memelototi nilai yang kurang baik. Ibunya hanya melirik sebentar tanpa ekspresi pujian. Kakak-kakaknya tidak tertarik melihat raportnya. Hatinya sangat kecewa. Sejak saat itu dia trauma setiap kali menerima raport, termasuk ketika menerima raport anak-anaknya.

Apa sikap Anda saat menerima raport anak-anak Anda? Waspadalah, karena orangtua yang mudah kecewa dapat menghasilkan anak mudah kecewa juga.

Mengapa Anak Gagal
Anak yang bermasalah kita namakan identified patient (IP). Jika anak kita gagal, lakukanlah introspeksi diri dalam beberapa hal. Pertama, relasi suami dan istri. Bagaimana komunikasi Anda dan pasangan selama ini? Berikut ini beberapa contoh relasi suami istri yang dapat menimbulkan masalah dalam diri anak.

Misalnya Anda seorang istri penuh waktu yang bekerja di rumah. Suami Anda menyerahkan urusan sekolah anak pada Anda. Kalau anak gagal, suami cenderung menyalahkan istri. Ibu dianggap yang paling bertanggung jawab pada pendidikan anak. Tetapi tekanan dari suami bisa menyebabkan istri melampiaskan kekesalannya pada anak. Komunikasi dalam keluarga dapat menjadi seperti “lingkaran setan”, penuh kekecewaan dan saling menyalahkan.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kehadiran ayah dalam seluruh aspek hidup anak akan membuat anak berprestasi, percaya diri, dan mampu menghidupi nilai moral dan spiritual yang benar. Kalau si ayah menyerahkan urusan anak kepada istri, ini tentu tidak benar. Secara psikologis, ayah yang absen membuat ibu cenderung dominan. Akibatnya, anak kehilangan figur ayah, yang akhirnya berdampak besar pada pendidikan dan perkembangan kepribadiannya. Jadi, sebenarnya andil orangtua dalam kegagalan anak sangat besar. Maka tidaklah fair jika orangtua mempersalahkan anak semata-mata. Atmosfer relasi orangtua yang tidak harmonis akan menghambat kemajuan anak. Kalau ini dibiarkan, anak kita bisa menjadi korban.

Kedua, jika secara tidak sadar orangtua menjadikan uang sebagai orientasinya. Contohnya adalah orangtua yang mendorong anak untuk sekolah agar bisa dapat pekerjaan yang menghasilkan banyak uang. Orangtua demikian terus menuntut agar anaknya menunjukkan hasil belajar yang tinggi. Jika tidak, sekolah disalahkan, anak menjadi “kambing hitam”, dan sebagainya.

Uang memang penting dalam pendidikan anak. Kita juga perlu mendorong anak, terutama jika mereka sudah bisa berpikir abstrak (di atas usia 12), untuk menyadari bahwa orangtua sudah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit guna menyekolahkan mereka di sekolah yang baik. Yang perlu dibangun di sini adalah sikap menghargai orangtua dan guru lewat semua upaya ini, bukannya menjadikan uang sebagai tanda kasih orangtua kepada anak. Sejalan dengan penjelasan itu, orangtua perlu memahami bagian kecerdasan anaknya. Jika sang anak suka matematika misalnya, perkuatlah keterampilannya di sana. Demikian juga kalau dia suka melukis, musik atau bahasa. Tidak ada orang yang mampu menguasai semua hal. Orang dewasa tidak, apalagi anak-anak.

Terakhir, ada kemungkinan anak kita gagal karena dia tidak punya teladan, khususnya dalam hal belajar dan membaca. Nampaknya karena sudah sibuk bekerja, orangtua tidak perlu belajar lagi. Sebenarnya yang dimaksud bukan hanya belajar formal. Siapa tahu kita menghadapi beberapa kesulitan. Anak melihat bahwa papa-mamanya belajar mengatasi persoalan lewat membaca atau belajar yang lain. Kalau anak cukup besar, kita bisa mengajak mereka diskusi. Tidak mustahil, anak-anak dipakai Tuhan untuk memberi jalan keluar atas pergumulan kita. Yang jelas, mereka akan belajar dari iman orangtuanya.

Anak Suka, Anak Belajar
Kalau kita sudah menemukan akar kegagalan anak-anak, kita perlu mencari jalan keluar. Di antaranya Anda dapat melakukan hal-hal berikut. Pertama, carilah pertolongan untuk memperkuat relasi Anda dengan pasangan, agar anak tidak menjadi “sasaran antara”. Orangtua juga perlu membangun harga dirinya secara pribadi. Dengan demikian dia tidak menggantungkan kebanggaannya pada prestasi anak-anaknya.

Berikutnya, Anda perlu mengubah cara-pandang terhadap anak. Janganlah kita menyekolahkan mereka supaya nantinya anak-anak membalas kepada kita. Berikan kepada mereka pendidikan sebaik mungkin karena itu adalah tugas Anda sebagai orangtua. Anak-anak tidak berhutang pada orangtuanya. Andalah yang harus membayar jasa orangtua dengan mendidik cucu mereka dengan baik.

Cobalah memahami kecerdasan anak Anda. Dewasa ini ada banyak tes psikologi untuk itu. Lewat tes demikian anak-anak mengerti kapasitas diri mereka. Anak-anak akan berkembang menjadi diri mereka sendiri.

Moze dan Kami
Moze adalah anak bungsu kami. Usianya sekarang 12 tahun. Dia duduk di kelas 7. Moze bukanlah anak terpandai di kelas. Tetapi dia suka belajar mandiri. Maksud saya, ada saja idenya untuk mempelajari sesuatu di sekitarnya. Misalnya waktu kelas 5, Moze tertarik mempelajari lagu-lagu kebangsaan negara-negara lain. Maka dia membuka Encyclopedia Encarta. Berhari-hari dia mempelajari lagu-lagu itu, termasuk karakteristik penduduk, pemerintahannya, letak geografi, dan sebagainya. Sebenarnya pada saat yang sama Moze sedang mempelajari Ilmu Bumi.

Di kelas 7 ini sekolah Moze mengadakan tes psikologi untuk mengenal kecerdasan majemuk anak. Selain mengerti bahwa Moze punya berbagai keistimewaan, kami juga memahami kelemahannya. Kami jelaskan kepada Moze hal-hal yang sekiranya akan menghambat kemajuannya kalau tidak diperbaiki. Kami menolong Moze untuk sabar terhadap dirinya sendiri, serta memperkuat area lain dalam dirinya.

Belakangan ini Moze makin suka bahasa. Dia menciptakan sajak yang indah dan mempelajari berbagai konsep kata berdasarkan bahasa aslinya. Prestasi Moze tidak dalam bentuk ranking kelas. Tetapi kami puas karena dia sangat suka belajar apa saja.

Sumber: Majalah Bahana, November 2009

Indismart di Mata Pak Agus, SMP Saradan 2


Segera bergabung di www.indi-smart.com

Selamat kenal. Kami smpn2 saradan kab madiun , telah menerima aktivasi program indismart-creative and fun kerja sama dengan telkom schoolnet. Ternyata program ini sangat membantu bagi kita para pelajar yang dulunya menganggap pelajaran ipa, matematika sulit dipelajari, menjadi semakin menarik dengan cara mempelajarinya melalui konten-konten yang disajikan dalam program indismart-creative and fun. Hal-hal yang bersifat abstrak dapat di visualisasikan dengan menarik, sehingga para pelajar dapat lebih mudah untuk memahami cara kerja paru-paru, memahami bangun-ruang matematika, hukum Archimedes, dll.
Kami berharap konten yang semakin ditambah, sehingga pelajaran di sekolah akan lebih menarik dan lebih dimintai para pelajar , tentunya dengan adanya bantuan indismart-creative and fun. indismart-creative and fun memang sangat diperlukan. Akhir kata, teman-teman kalau mau belajar belajar ipa dan mat dengan lebih mudah pakailah indismart-creative and fun. Trima kasih dan hormat kami, smpn2_saradan@yahoo.co.id

Augustinus Bambang, Pengajar di SMPN 2 Saradan

Permainan untuk Balita Anda (klik play, pilih lagu di kiri, lalu tekan sembarang tuts)