Senin, 20 Juni 2011

Lesson Study: AS Kalah dalam Pendidikan, Lalu Belajar ke Jepang

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pendidikan online interaktif untuk pelajar.




Oleh: Sri Endang Susetiawati

 Kekalahan tidak selalu berarti kehilangan segala-galanya. Kehilangan rasa percaya diri dan kehilangan akan masa depan. Kekalahan hanya menjadi bagian dari episode kehidupan yang harus dilewati. Untuk kemudian, memulai kembali sesuatu yang baru dan melanjutkannya menuju sebuah kemenangan.

 Begitulah, kira-kira yang dialami oleh bangsa Jepang tatkala mengalami kekalahan total saat Perang Dunia (PD) II pada pertengahan abad ke-20. Seperempat abad kemudian, mereka mulai bangkit dari kekalahan. Dalam banyak hal, kini, Jepang telah mampu mengalahkan bangsa Amerika Serikat (AS) yang dulu mengalahkannya dalam perang. Jepang telah banyak mengalahkan Amerika Serikat, terutama dalam bidang industri elektronika dan otomotif.

 Tak terkecuali, AS pun pernah kalah dari Jepang dalam bidang pendidikan. Penyelenggaraan *The Third International Mathematica and Science Study (TIMSS)* pada tahun 1995, telah mengukuhkan kekalahan pendidikan AS dari Jepang. Bahkan, pendidikan AS tidak hanya kalah dari Jepang, tapi AS pun kalah dari 19 negara lainnya. Antara lain adalah negara Singapura, Perancis,  Jerman, Kanada dan Australia.

 TIMSS adalah sebuah studi internasional yang membandingkan hasil belajar Matematika dan IPA pada Kelas 8 (Kelas 2 SMP) pada sejumlah siswa yang berasal dari 41 negara di dunia. Hasil studi tersebut menyimpulkan bahwa skor rata-rata Matematika siswa AS lebih rendah dari siswa Jepang dan 19 negara lainnya. Skor rata-rata siswa AS hanya menang secara signifikan atas  7 negara lain seperti Lithuania, Siprus, Iran, Kolombia dan Afrika Selatan.

 Kekalahan membuat rasa penasaran pada diri pengambil kebijakan bidang pendidikan di Amerika Serikat (AS). Maka, sejak saat itu mereka melakukan analisa mengenai kekalahannya. Mereka mengumpulkan sejumlah data dari berbagai negara yang telah mengalahkannya, termasuk sejumlah video rekaman langsung mengenai proses pembelajaran di sekolah-sekolah di Jepang dan Jerman. Lalu, mereka bandingkan dengan proses pembelajaran di sekolah-sekolah paman Sam sendiri.

 Apa kesimpulannya? Menurut mereka, “AS selalu melakukan perbaikan dan reformasi di bidang pendidikan. Namun, upaya itu tidak selalu meningkatkan mutu pembelajaran” . Masih menurut mereka sendiri, “ ada satu hal yang tidak dimiliki oleh AS, sementara mereka (Jepang dan negara lainnya) telah memilikinya. Mereka telah memiliki sebuah sistem yang menjamin peningkatan mutu pembelajaran yang berlangsung secara terus-menerus dan berkelanjutan” .

 Pengakuan kekalahan di bidang pendidikan mengharuskan AS untuk bersedia belajar secara langsung kepada Jepang. Di negara yang pernah dikalahkannya dalam Perang Dunia II itu, AS belajar tentang Jugyo Kenkyu yang telah dipraktekkan oleh para guru di sekolah-sekolah Jepang sejak puluhan tahun sebelumnya. Jugyo berarti  Lesson dalam bahasa Inggris atau pembelajaran dalam bahasa Indonesia. Sementara Kenkyu berarti  Study atau Research, yang berarti studi, pengkajian atau penelitian. Dengan demikian, maka Jugyo Kenkyu dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan studi, pengkajian atau penelitian mengenai pembelajaran. Secara singkat, biasanya Jugyo Kenkyu atau Lesson Study diartikan sebagai sebuah kegiatan pengkajian pembelajaran .

 Melalui Jugyo Kenkyu, sejumlah guru di Jepang secara bersama-sama melakukan kegiatan perencanaan dan observasi pada proses pembelajaran di suatu sekolah. Seorang guru yang sedang mengajar di suatu kelas, diobservasi oleh beberapa guru lainnya yang satu mata pelajaran atau sejenis. Mereka, bisa berasal dari sekolah yang sama atau dari sekolah yang berbeda. Tujuannya adalah mendapatkan berbagai masukan mengenai cara mengajar agar dapat memotivasi para siswa untuk dapat belajar aktif secara mandiri.

 Hasil dari kegiatan observasi itu, kemudian dibahas dan dianalisa di antara mereka sendiri. Sejumlah masalah selama kegiatan pembelajaran berlangsung,  dikaji dari berbagai segi, termasuk berdasarkan pengalaman di antara para guru masing-masing. Mereka saling memberikan pendapat dan penilaian, sekaligus memberikan masukan atau solusi, bagaimana agar kegiatan pembelajaran menjadi lebih baik. Siswa pun sekali-kali dilibatkan untuk memberikan masukan dan penilaian atas proses pembelajaran yang telah mereka terima dari gurunya.

Hasil dari kegiatan observasi, pengkajian dan pembahasan mengenai pembelajaran ini kemudian dijadikan sebagai masukan atau umpan balik bagi kegiatan pembelajaran berikutnya. Begitu seterusnya, mereka lakukan itu secara berkelanjutan. Sebuah sistem peningkatan mutu pembelajaran memang telah berlangsung secara terus-menerus, berangkat dari pengalaman para guru secara langsung.

 Meskipun, pada awalnya kegiatan Jogyu Kenkyu hanya dilaksanakan secara terbatas di sekolah-sekolah tertentu, namun kemudian menjadi berkembang di sekolah-sekolah lainnya di Jepang secara sukrela. Mengapa ? Karena, sekolah-sekolah lain telah merasakan manfaat dari kegiatan Jogyu Kenkyu bagi peningkatan mutu pembelajaran di sekolah. Apalagi, sejak tahun 1970-an pemerintah Jepang kemudian memberikan dukungan penuh terhadap sekolah-sekolah agar menyelenggarakan kegiatan tersebut.

Jogyu Kenkyu dianggap telah terbukti dapat meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah-sekolah di Jepang. Amerika Serikat (AS) pun tak malu-malu untuk belajar dan menirunya. Kini, hampir di sekolah-sekolah di AS telah menerapkan model kegiatan Jogyu Kenkyu, yang kemudian kini lebih dikenal  sebagai Lesson Study.



 Dan, sejak tahun 1998, Indonesia pun mulai ikut belajar mengenai Lesson  Study kepada Jepang. Saat ini, program Lesson Study masih terus disosialisasikan dan dikembangkan di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Mengapa ? Karena, Lesson Study telah diyakini sangat potensial untuk meningkatkan mutu pembelajaran, meningkatkan mutu profesionalitas pendidik  atau guru, dan selanjutnya berdampak pada peningkatan mutu pendidikan.

 Sayang, program Lesson Study tampaknya kurang begitu oprimal dapat terlaksana di negeri ini. Sangat mungkin, gaung dan semangatnya kalah jauh dari pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang penuh kontroversial dan telah melahirkan ekses sosial yang cukup krusial. Padahal, keunggulan Jepang dalam pendidikan sama sekali jauh dari hingar bingar penyelenggaraan ujian akhir penentu kelulusan siswa yang disponsori oleh negara itu.

 Lalu, di manakah letak masalahnya dalam pendidikan kita ? Hm… hanya bagi mereka yang mau berpikir jujur, jernih dan tidak arogan saja yang dapat mengetahui duduk persoalan pendidikan yang sebenarnya.

 Bagaimana dengan pendapat Anda ?

http://edukasi. kompasiana.com/2011/06/16/lesson- study-as-kalah-dalam-pendidikan-lalu-belajar- ke-jepang/

Kurikulum Bahasa Indonesia Direvisi

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pendidikan online interaktif untuk pelajar.





 JAKARTA--Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) akan mereview kurikulum Bahasa Indonesia. Hal ini terkait banyaknya jumlah siswa yang gagal memperoleh nilai Bahasa Indonesia di atas 5 atau mencapai 38 persen dari jumlah siswa yang tidak lulus ujian nasional (UN) tahun ajaran 2010/2011.

 Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) M Nuh mengatakan, pihaknya telah menugaskan kepada Badan Bahasa untuk korodinasi dengan badan pengembangan SDM untuk melakukan pengkajian ulang yang menggunakan tiga cara. 

Pertama, pengkajian kembali tentang kurikulum bahasa itu sendiri. Kedua, meng-upgrade guru-guru bahasa. Ketiga, untuk bisa berbahasa itu tidak cukup diajarkan begitu saja tetapi juga ada kegiatan ekstra yang bisa menumbuhkan kecintaan terhadap Bahasa Indonesia, pemahaman Bahasa Indonesia serta dapat berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

 "Jadi, bukan sekedar bahasa layaknya bisa bahasa inggris, mandarin, dan sebagainya. Tapi selain sebagai alat komunikasi, juga ada nilai di dalam Bahasa Indonesia itu. Beda posisinya Bahasa Indonesia dengan bahasa
 inggris," pungkasnya.

 Menurut Nuh, untuk memahami konteks cerita di dalam soal ujian Bahasa Indonesia, syarat utamanya adalah harus bisa bahasa itu sendiri. Misalnya, banyak orang bisa berbahasa Indonesia tetapi belum tentu paham konteksnya, tidak bisa memahami substansi bahasa itu, serta logika tentang cerita itu.

 "Orang yang ada di daerah dalam membaca cerita tentang hotel bintang lima dan disebutkan ada lobby, pastinya tidak bisa membayangkan. Lobby itu apa? Lain lagi, coffee shop, itu kalau diartikan kan warung kopi. Bisa-bisa diartikan mereka itu angkringan. Oleh karena itu, kurikulum harus direview," tegasnya.



 Nuh menambahkan, dalam pembuatan soal ujian nasional harus bersifat umum. Selain itu, juga ada dibagi ke beberapa regional. Harapannya, dalam setiap region ada ukurannya masing-masing. Sehingga, bisa disesuaikan dengan standar yang ada.

 "Sebenarnya soalnya itu gampang, tapi anaknya yang tidak bisa. Bisa jadi, soalnya itu sulit bagi kita, tapi mudah bagi standar yang ada. Oleh karena itu, dalam membuat soal itu tidak boleh hanya diukur dari kemampuan sang anak, tetapi juga diukur dari apa tujuan yang akan dicapai," imbuhnya. (cha/jpnn)


sumber: http://www.jpnn.com/read/2011/05/25/93135/Kurikulum-Bahasa-Indonesia-Direvisi-

Inovasi Anak SMA: "Charger" Ponsel dari Bekas Transistor Jengkol

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pendidikan online interaktif untuk pelajar.






Oleh: Tenni Purwanti & Tri Wahono 

KOMPAS.com - Ponsel kini bukan sekadar gaya hidup. Benda ini sudah menjadi kebutuhan sehari-hari bagi semua usia, termasuk remaja usia sekolah. Penggunaan ponsel oleh siswa di sekolah menyebabkan banyak siswa ikut mengisi ulang baterai ponsel mereka di sekolah.

Memang tak ada larangan bagi siswa untuk menggunakan listrik di sekolah. Namun, fenomena ini menginspirasi tim dari SMAN 1 Citeureup Bogor untuk membuat charger ponsel dari benda elektronik bekas. Alat ini tidak membutuhkan aliran listrik, melainkan energi dari cahaya matahari.

Alat inilah yang mengantarkan tim dari SMAN 1 Citeureup Bogor memenangkan juara pertama L'Oreal Girls Science Camp 2011 di Rumah Jambuluwuk Ciawi, Bogor, Rabu (25/5/2011). Tim yang terdiri dari tiga orang siswi yang tergabung dalam ektrakurikuler Karya Ilmiah Remaja (KIR) di sekolah mereka ini, memanfaatkan transistor jengkol bekas dari sekolah mereka. Transistor jengkol adalah power transistor jenis NPN dan PNP, namun lebih dikenal masyarakat dengan nama transistor jengkol karena bentuknya yang menonjol.

Transistor ini biasanya dimanfaatkan di amplifier dan perangkat elektronika sejenis. Apabila sudah tidak terpakai lagi, unsur logam bernama Germanium dalam transistor ini berbahaya bagi lingkungan. Unsur ini memiliki dampak negatif apabila terakumulasi dalam sistem perairan. Namun Germanium ini mempunyai kemampuan menangkap energi matahari dan mengubahnya menjadi energi listrik.

Ega Sri Budhiarti, Elsa Alfiani, dan Arum Aswinniarti, memanfaatkan Germanium sebagai bahan dasar pemanfaatan transistor jengkol bekas menjadi charger handphone. Dengan menggunakan 30 transistor jengkol bekas, timah, triplek ukuran 40 x 40 cm (atau PCB bekas), kabel, saklar, jeck, dan baterai kering, ketiga siswi kelas 3 SMA ini berhasil merakit charger ponsel yang mengandalkan energi matahari.

Germanium akan menangkap energi matahari. Energi matahari yang berhasil disadap akan disimpan ke dalam baterai kering dan berubah menjadi energi listrik ketika charger ponsel ditancapkan ke saklar perangkat transfer energi. Hasil rakitan tim ini telah di uji cobakan di sekolah mereka sehingga tidak mengalami kesulitan ketika harus diuji coba di hadapan dewan juri.



Bahan-bahan yang digunakan sebagian besar berasal dari sampah elektronik yang tidak terpakai lagi di sekolah mereka, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk merakit alat ini hanya Rp 70.000. Tidak heran jika tim ini menjadi pemenang pertama. Selain idenya kreatif, memiliki sisi kreasi yang tinggi dari pengolahan sampah elektronik, tim ini juga merakit sebuah alat yang bisa digunakan teman-teman mereka di sekolah. Sisi sains juga mereka tonjolkan dari pemanfaatan energi matahari yang diubah menjadi energi listrik.

Selain itu, satu di antara tiga orang yang tergabung dalam tim ini pernah memenangkan juara 3 lomba karya tulis Ilmiah yang diadakan Institut Pertanian Bogor (IPB) di akhir tahun 2010. Saat itu, Ega Sri Budhiarti mengangkat tentang "Marasi, Buah Ajaib Harapan Bagi Para Penderita Diabetes". Buah Marasi adalah buah yang terasa manis di lidah, sehingga ketika memakan apapun setelah memakan buah tersebut akan terasa manis. Buah ini menjadi solusi bagi penderita diabetes untuk mengurangi konsumsi gula namun tetap dapat merasakan rasa manis di lidah mereka.

Ega adalah siswi kelahiran Bogor, 22 September 1995. Sedangkan dua orang teman satu timnya yakni Elsa lahir di Bogor, 25 Februari 1996 dan Arum lahir di Bogor, 15 Juni 1995

Inspirasi Pendidikan: Guru Bahasa Inggris yang Merangkap Guru Sastra Indonesia

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pendidikan online interaktif untuk pelajar.



 Oleh: Ria Fariana

 Latar belakang pendidikan saya adalah pendidikan bahasa Inggris. Saat ini pun saya mengajar pelajaran bahasa Inggris untuk kelas 7 dan 8 di sebuah SMP Islam yang khusus untuk anak yatim dan fakir miskin. Meskipun mengajar bahasa Inggris, tak jarang saya juga mengajarkan bahasa Indonesia atau bahkan sastranya kepada anak-anak didik. Bukan menafikkan guru bidang studi bahasa Indonesia di sekolah tersebut, tapi sejauh yang saya amati guru yang ada kurang peduli terhadap sastra apalagi minat baca anak-anak didik. Bagaimana mungkin membangkitkan minat baca mereka bila guru yang bersangkutan sendiri tidak mempunyai minat baca yang tinggi?

 Mengajar di tahun pertama, saya sangat prihatin dengan kondisi buku bacaan yang ada di perpustakaan sekolah. Anak-anak membaca buku cerita yang kadang sampulnya sudah hilang, atau bahkan halaman belakang tidak ada beberapa lembar. Tapi memang hanya sedikit saja yang suka membaca buku cerita. Yang banyak malah anak-anak yang jangankan suka membaca, sekadar tahu majalah anak-anak seperti BOBO dan Mentari Putra Harapan saja mereka tidak tahu. Lalu bagaimana mengajarkan mereka cinta membaca apalagi mencintai sastra Indonesia?

 Bercerita. Ini adalah salah satu cara yang saya terapkan pada anak-anak. Sebelum pelajaran bahasa Inggris dimulai, biasanya saya menceritakan tentang buku menarik yang pernah saya baca. Saya ceritakan isinya terutama yang bisa merangsang keingintahuan anak-anak untuk membaca sendiri buku tersebut. Dan buku yang sukses besar dalam hal ini adalah Laskar Pelangi. Anak-anak yang awalnya alergi membaca buku, akhirnya mau menyentuh, membaca dan bahkan menceritakan ulang dengan gaya mereka sendiri. Meskipun resikonya buku yang dipinjam mereka kembali dengan bentuk yang sudah sangat mengenaskan. Tapi, bukankan segala sesuatu memang butuh pengorbanan?

 Cara yang lain adalah bertanya pada anak-anak, sudah berapa banyak buku cerita yang mereka baca selama ini. Mereka menuliskan judul buku-buku tersebut dan membuat cerita singkat tentang salah satu buku yang paling berkesan bagi mereka. Dua terbaik akan mendapat hadiah dari saya, kadang berupa bintang (bintang-bintang ini dikumpulkan untuk mendapat hadiah di akhir semester), kadang juga berbentuk novel yang saya beli dengan harga obral ketika ada penerbit atau toko buku cuci gudang. Honor sebagai guru swasta tidak memungkinkan saya membelikan anak-anak novel yang baru terbit. Anak-anak pun tidak mempermasalahkah hal itu karena bagi mereka mendapat hadiah buku saja merupakan hal menyenangkan karena tidak pernah mereka dapatkan sebelumnya.

 Dalam pelajaran bahasa Inggris, banyak paragraf atau narasi untuk memperkaya kosakata mereka. Saya tidak bisa langsung mengajar bila informasi mereka tentang sebuah hal sangat minim. Dan buku berbentuk novel atau cerpen berbaahasa Indonesia adalah salah satu sarana bagi mereka untuk mencintai sebuah tulisan atau karya.

 Ada kalanya, saya memancing kreatifitas anak-anak itu dengan mengajak mereka bebas berkreasi menuangkan semua imajinasi yang ada. Saya harus telaten menjelaskan beda fiksi dan non fiksi meskipun pada prakteknya mereka masih agak kesulitan untuk membedakan. Sebenarnya ini bukan tugas saya sebagai guru bahasa Inggris, tapi saya sangat prihatin bila ada anak didik saya yang belum bisa membedakan kedua tulisan ini. Hal ini fatal karena khawatirnya mereka akan mendefinisikan berita sebagai fiksi dan novel sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi sebagaimana sebuah pemberitaan.

 Dan benarlah. Ada beberapa anak yang ketika saya ajak untuk menulis fiksi malah menulis narasi opini. Saya tidak menyalahkan mereka, hanya menunjukkan bahwa tulisan yang dibuatnya adalah cenderung ke bentuk artikel opini. Saya tidak menghukum atau mendiskualifikasi, tapi anak seperti ini malah saya beri hadiah buku non fiksi. Ada juga yang menulis tentang kisah seekor kucing yang seolah-olah bisa bicara. Meskipun tulisannya butuh pembenahan disana-sini tapi kreatifitasnya sangat saya hargai dengan memberinya hadiah buku dari seri KKPK (kecil-kecil punya karya) dengan genre science fiction. Ingin hati memberinya buku tentang cerita-cerita yang berisi personifikasi hewan yang bisa bicara selayaknya manusia. Tapi apa daya, saya tak mempunyai satu koleksi pun jenis buku genre ini.

 Dua karya terbaik, masing-masing saya beri hadiah satu novel. Ada kalanya siswa yang keluar sebagai penulis dua karya terbaik ternyata tidak suka membaca baik buku pelajaran ataupun novel atau karya lainnya. Mungkin menonton sinetron mempunyai sedikit andil dalam hal ini karena mayoritas anak-anak ini suka sekali menonton TV. Disitulah saya memotivasi siswa tersebut dengan mengajaknya ngobrol empat mata tapi dengan santai. Saya tanamkan sebuah pemahaman bahwa tulisannya bagus dan akan jauh lebih bagus bila diasah dengan banyak membaca dan rajin-rajin menulis. Salah satunya adalah dengan menulis buku diary.

 Bagi siswa yang memang saya tahu sudah rajin membaca dan menulis diary, saya motivasi lagi untuk mengasah konflik, karakter dan ending ceritanya. Saya beritahukan bahwa banyak lomba menulis untuk remaja yang bisa diikutinya dengan hadiah yang cukup lumayan. Tapi sekali lagi, ini bukan tujuan namun hanya sebagai `iming-iming' (istilah Jawa) untuk memotivasi siswa. Sedangkan tujuan utama, betapa inginnya saya semua anak-anak ini merubah kultur yang ada menjadi sosok anak-anak yang bercita-cita dan semangat tinggi melalui penanaman kultur baru yaitu dengan cinta membaca terutama karya sastra dan menuliskannya juga. Ataupun bila tidak bisa semua, semoga ada beberapa siswa yang nantinya selepas SMP dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, akan muncul bibit-bibit indah yang berprestasi melalui banyak profesi yang semuanya itu bermula dari cinta membaca dan menulis.

 Saya membuka diri terhadap siswa yang ingin menilaikan tulisannya pada saya meskipun itu di luar pelajaran. Ada yang berupa puisi, cerpen, curhat melalui diary atau bahkan setengah novelet karena panjangnya melebihi panjang cerpen. Banyak kelemahan disana-sini tapi sangat bisa dimaklumi. Dengan bahan bacaan yang sangat terbatas, tak bisa disalahkan bila kualitas tulisan mereka juga masih sangat jauh dari enak dibaca. Tapi semangat mereka untuk mau menulis itu saja sudah cukup membuat saya terharu dan kagum. Latar belakang kemiskinan dan kebodohan yang sudah hampir seperti sebuah kultur dan tradisi membuat saya berharap banyak pada murid-murid saya ini.

 Sering juga saya meminjami mereka buku-buku koleksi saya baik serupa kumpulan cerpen, novel remaja atau non fiksi untuk remaja serta majalah-majalah remaja Islami. Meskipun sekembalinya koleksi saya tersebut saya harus berusaha bersabar dan maklum. Buku-buku itu kembali dalam keadaan jauh dari kondisi semula. Dari yang `sekadar' kotor hingga yang parah yaitu halaman banyak yang lepas dari lem bukunya. Bahkan tak jarang ada buku saya yang hilang dan tidak diketahui rimbanya.



 Di awal saya sudah mewanti-wanti untuk menjaga dan mencintai buku karena bukulah sumber ilmu pengetahuan. Bagaimana cara memperlakukan buku mulai dari tidak boleh ngemil gorengan atau minum es sirup saat membacanya, tidak boleh ditekuk halamannya untuk menandai batas baca (saya siapkan masing-masing buku satu pembatas buku) hingga ada penanggung jawa dari salah satu mereka untuk memantau buku apa dipinjam siapa. Tapi tetap saja yang namanya halaman kotor dan buku hilang tidak bisa dihindarkan.

 Cara yang lain adalah dengan menunjukkan pada murid-murid buku-buku yang sudah pernah saya tulis. Syukurlah buku-buku saya memang focus untuk pembaca remaja. Jadi sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Menanamkan pada anak untuk cinta membaca khususnya sastra plus juga menanamkan nilai-nilai Islam tanpa harus menggurui mereka. Anak-anak bisa melihat sendiri bukti nyata bahwa apa yang ditanamkan oleh gurunya selama ini bukan hanya omong kosong atau sekadar motivasi tanpa ada tindakan nyata. Disini mereka tahu sendiri bahwa gurunya ternyata berkarya juga.

 Mengingat minimnya buku bacaan mereka, ada beberapa anak yang menulis imajinasi fiksinya hampir sama persis dengan novel-novel karya saya yang pernah dibaca mereka. Saya pun tetap mengapresiasinya dan menawarkan beberapa novel lain untuk dibaca. Tidak ada paksaan disini apalagi saya memang bukan guru bahasa Indonesia resmi mereka. Saya hanya berusaha menyentuh sisi keingintahuan mereka akan banyak sisi kehidupan lain dan juga sisi belahan dunia lain yang itu semua bisa kita dapatkan melalui membaca termasuk karya sastra. Karya Kang Abik Ayat-Ayat Cinta, meskipun sebetulnya bukan untuk konsumsi mereka (tapi mungkin hampir semua sudah pernah nonton filmnya di TV) saya tekankan pada settingnya. Betapa kita bisa membayangkan seolah-olah berada di Mesir hanya dari membaca sebuah karya sastra.

 Semua ini saya lakukan dengan tidak mengabaikan mata pelajaran yang saya ampu sendiri yaitu bahasa Inggris. Bahkan anak-anak makin cinta bahasa Inggris dengan pengajaran yang terpadu antara dua bahasa ini yang biasanya bahasa Inggris terkenal sebagai perlajaran yang dibenci karena sulit dan gurunya killer. Alhamdulillah hal itu tidak terjadi pada saya dan anak-anak didik saya.

 Sayangnya, ada satu hal yang membuat upaya saya agak kurang maksimal. Karena tidak mengajar di kelas tiga, semangat dan motivasi anak-anak yang sudah saya pupuk sejak kelas 7 dan 8 perlahan tapi pasti semakin luntur. Hal ini karena mereka tidak ada lagi motivator yang selalu mendongkrak semangat dan motivasi mereka tiap minggu. Selain itu, PR dari mata pelajaran lain juga cukup membuat anak-anak teralihkan perhatiannya dari kegiatan membaca buku di luar pelajaran sekolah apalagi sampai tahap menuliskannya seperti ketika masih saya ajar dulu.

 Tapi semua hal tersebut tidak mengurangi semangat saya dalam tetap memompa motivasi anak-anak agar cinta membaca terutama sastra dan bila perlu hingga taraf menghasilkan karya. Tidak bisa saat ini, saya yakin kata-kata positif yang saya tanamkan satu ketika nanti akan menuai hasilnya meskipun entah kapan. Semoga akan ada pemicu lagi, mungkin guru-guru kreatif dan peduli sastra di tingkat menengah atas atau bahkan mungkin anak-anak itu sendiri satu ketika punya inisiatif untuk bergabung dengan komunitas yang cinta pada dunia sastra seiring dewasanya perkembangan pola pikir dan jiwa mereka. Semoga, Insya Allah.

 (teruntuk anak-anakku di SMP Islam Al-Amal, anak-anak yatim dan fakir miskin yang membuat saya termotivasi untuk berbuat lebih untuk mereka)

Dunia Modern Ciptakan Generasi yang Lemah

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pendidikan online interaktif untuk pelajar.





(ANTARA News) - Anak-anak jaman sekarang lebih banyak duduk sambil menonton televisi, bermain game atau berseluncur di dunia maya. Penelitian mengklaim, hidup modern menghasilkan generasi yang lemah. 
Seperti diberitakan Guardian, riset mengungkapkan bahwa anak-anak menjadi lebih lemah, kurang berotot dan tidak bisa melakukan tugas fisik daripada generasi sebelumnya yang melakukannya dengan mudah.

Sebagaimana generasi itu lebih banyak menghabiskan waktu di depan komputer, anak berusia 10 tahun melakukan lebih sedikit "sit-up" dan kurang mampu untuk bergantungan di palang dinding yang ada di gym. Kekuatan lengan menurun dalam kelompok usia itu, sebagaimana kemampuan mereka untuk
mencengkeram sebuah obyek dengan kuat.

Penemuan itu dipublikasikan dalam jurnal kesehatan "Acta Paediatrica" . Hasilnya sudah mengantar pada kesadaran baru mengenai dampak kesehatan anak-anak yang disebabkan oleh pergeseran dari kegiatan luar ruangan.

Studi itu dipimpin oleh Dr Gavin Sandercock, seorang pakar kebugaran anak-anak di Universitas Essex. Penelitian itu mempelajari seberapa kuat sekumpulan 315 anak Essex berusia 10 tahun pada tahun 2008 dibandingkan dengan 309 anak berusia sama di tahun 1998.

Mereka menemukan bahwa jumlah "sit-up" yang dilakukan anak-anak usia 10 tahun menurun 27.1% antara
tahun 1998 dan 2008. Kekuatan lengan menurun 26% dan kekuatan cengkeraman menurun 7%. Sementara, satu dalam 20 anak tahun 1998 tidak bisa menahan berat badan mereka sendiri saat bergelantung di palang
dinding, satu dalam 10 anak tidak melakukannya di tahun 2008.

"Ini kemungkinan karena perubahan pola aktivitas di antara anak-anak Inggris berusia 10 tahun, seperti berpartisipasi dalam aktivitas yang lebih sedikit seperti memanjat tali dalam pelajaran olah raga dan memanjat
pohon untuk bersenang-senang, " kata Sandercock. "Khasnya, aktivitas ini mendorong kekuatan anak-anak, membuat mereka mampu mengangkat dan menahan berat badan mereka sendiri."

Fakta bahwa 10% anak tidak bisa melakukan tes palang dinding dan 10% menolak untuk mencoba "benar-benar mengejutkan, " tambah dia. "Itu kemungkinan menunjukkan bahwa mendaki dan menahan berat badan mereka sendiri merupakan sesuatu yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya." Riset sebelumnya sudah menunjukkan bahwa anak-anak menjadi lebih tidak sehat, kurang aktif dan lebih banyak duduk dan dalam banyak kasus, lebih berat daripada sebelumnya.



Tetapi, penelitian baru juga menemukan bahwa anak-anak tahun 2008 memiliki indeks masa tubuh (body mass index/BMI) sebagaimana mereka satu dekade sebelumnya. Pemimpin penelitian Daniel Cohen, dari London Meropolitan University, mengatakan ini berarti bahwa, penurunan kekuatan mereka, tubuh dari kelompok tes terbaru cenderung mengandung lebih banyak lemak dan sedikit otot daripada pendahulu mereka. "Itu benar-benar mengkhawatirkan dari sudut pandang kesehatan. Itu berita baik bahwa BMI tidak meningkat, tetapi mengkhawatirkan bila pon demi pon mereka lebih lemah dan kemungkinan membawa lebih banyak lemak," kata Sandercock.

Para peneliti meminta kementerian mengurangi kepercayaan mereka pada National Child Measurement Programme, yang menusrvei BMI anak sekolah dasar, dan memperkenalkan tes kebugaran di semua sekolah.    
"Memanjat pohon dan tali dulunya merupakan praktek standar bagi anak-anak, tetapi otoritas sekolah dan 'kesehatan dan keselamatan' mengatur penghapusan yang melemahkan anak-anak kita," kata Tam Fry dari Child Growth Foundation.

"Jatuh dari cabang pohon dulunya pelajaran bagus dalam mengangkat diri anda sendiri dan belajar memanjat lebih baik. Saat ini proses pengadilan menghentikan anak-anak memanjat untuk pertama kalinya." Fry menambahkan tes kebugaran bisa atau tidak bisa tepat, tetapi Sandercock tidak harus berkecil hati dengan penggunaan pengukuran BMI.

Juru bicara departemen kesehatan Inggris mengatakan pemerintah sudah memperkenalkan beberapa program
mempromosikan gaya hidup aktif di antara anak muda, dan survei kesehatan untuk Inggris dilaporkan kembali pada tingkat kegiatan fisik. "Departemen kesehatan tidak memiliki rencana saat ini untuk memperkenalkan tes kebugaran bagi anak-anak," tambah dia. (ENY)

Editor: AA Ariwibowo COPYRIGHT © 2011

Bahasa Indonesia Masuk Kurikulum di Australia

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pendidikan online interaktif untuk pelajar.






oleh: Renne R.A Kawilarang, Indrani Putri

*VIVAnews* - Dunia pendidikan di Australia kian serius menjadikan bahasa Indonesia sebagai bagian dari kurikulum mereka. Buktinya, Bahasa Indonesia termasuk salah satu mata pelajaran bahasa asing yang ditawarkan di sekolah-sekolah Negeri Kanguru itu.

Fakta ini diungkapkan Peter Mackey, pejabat pendidikan dari Kedutaan Besar Australia di Jakarta. "Di sekolah-sekolah Australia, selain mengajarkan bahasa Eropa, kami juga mengajarkan bahasa Asia. Bahasa Indonesia, sebagai salah satu bahasa Asia, turut diajarkan secara signifikan," kata Mackey.

"Kemampuan belajar bahasa dan budaya Indonesia diharapkan dapat menunjang pengetahuan para siswa dalam bidang geografi, juga sebagai persiapan kalau-kalau ada yang berniat melanjutkan studi ke Indonesia," lanjut Mackey dalam "Simposium Pendidikan Internasional Australia-Indonesia " di Jakarta hari ini.

Mackey mengungkapkan bahwa makin populernya Bahasa Indonesia di Australia tak lepas dari makin banyak pelajar nusantara yang menimba ilmu di negaranya sejak 1950an. Pada 2010, tercatat 18.000 pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di berbagai lembaga pendidikan Australia.

"Angka ini semakin meningkat setiap tahunnya, dan hal ini semakin mempererat hubungan kedua negara dalam bidang pendidikan," ujar Mackey.

Dia juga mengungkapkan bahwa Indonesia dan Australia menjalin kemitraan yang sangat baik dalam bidang pendidikan. Australia bahkan menyediakan anggaran kurang lebih Rp 4,5 milyar untuk kerjasama pendidikan bilateral.

Beberapa figur lain yang menjadi pembicara dalam simposium di Jakarta itu antara lain Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Prof. Dr. Fasli Jalal; perwakilan Bank Dunia, Chris Smith; Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI), Irwandi Arif; dan Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Dewi Irawaty.

sumber: http://dunia.vivanews.com/news/read/226497-bahasa-indonesia-masuk-kurikulum-di-australia

Anak Pejabat Dijatah Sekolah Favorit

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pendidikan online interaktif untuk pelajar.





 KEDIRI l SURYA Online- Enak betul jadi anak seorang pejabat. Di saat anak-anak biasa antre berdesak-desakan bersama orangtuanya untuk berburu sekolah baru, mereka justru bakal mendapat jatah masuk sekolah unggulan.

 Kebijakan dari Dinas Pendidikan tersebut rencananya diberlakukan di Kota Kediri mulai tahun ajaran 2011 ini. Setiap pejabat anggota musyawarah pimpinan daerah (muspida), seperti pejabat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, termasuk juga pejabat pemerintah daerah dan anggota DPRD, akan mendapatkan jatah kursi di sekolah favorit.

 Sekretaris Dewan Pendidikan Kota Kediri, Samsul Umam menjelaskan, jatah kursi di sekolah favorit tersebut akan difasilitasi lewat jalur penerimaan siswa baru (PSB) lewat jalur mandiri. Rencana pembukaan jalur tersebut telah dibahas dalam rapat gabungan di Kantor Pemkot Kediri, Senin (6/6) lalu.

 Dalam rapat yang dihadiri pejabat terkait, serta sejumlah anggota Komisi C DPRD Kota Kediri itu, muncul usulan adanya PSB jalur mandiri untuk mengakomodasi anak pejabat muspida dan anggota dewan. Rencananya, kebijakan itu diatur dalam peraturan wali kota (perwali) di mana semua sekolah wajib melaksanakan.

 Hanya saja, dalam pembahasan tersebut, rapat menemui jalan buntu karena belum menemukan payung hukumnya. “Karena tidak ada payung hukumnya, Dewan Pendidikan tidak menyetujuinya,”ujar Samsul, Selasa (7/6).

 Ditegaskannya, jika PSB jalur mandiri tetap dipaksakan untuk diberlakukan dalam Perwali Kediri dikhawatirkan bakal rawan terjadi penyimpangan. “Oleh karena itu, Dewan Pendidikan Kota Kediri memberikan rekomendasi kepada Dinas Pendidikan bahwa PSB jalur mandiri itu tidak memiliki payung hukum. Kami akan mengawal pelaksanaan penerimaan siswa baru tahun ini supaya tidak terjadi penyimpangan,”katanya.

 Sebelumnya, saat berbicara kepada wartawan, Kabag Humas Pemkot Kediri, Tri Krisminarko menyatakan bahwa setiap pejabat anggota muspida bakal mendapat jatah kursi di sekolah favorit lewat jalur mandiri. “Ini untuk menghormati dan menjaga hubungan baik saja,”kata Tri seperti dikutip situs tempointeraktif. com.

 Disebutkan, saat ini mekanisme tentang penerimaan siswa baru (PSB) tersebut masih berupa draf yang akan disahkan menjadi Peraturan Wali Kota. Di dalam draf itu, muncul beberapa usulan pembagian kuota penerimaan siswa baru.

 Misalnya, untuk kuota siswa baru dari Kota Kediri adalah 80 persen dan dari luar kota 20 persen. Dari jumlah 80 persen itu, pendaftar dibagi lagi menjadi jalur mandiri yang diperuntukkan anak pejabat sebesar 10 persen, keluarga miskin sebesar 20 persen, kemitraan 10 persen, dan sisanya peserta umum (reguler).

 Tri menjelaskan, seluruh mekanisme penerimaan anak pejabat itu akan dilakukan masing-masing sekolah. Kepala sekolah diberi kewenangan melakukan tes sendiri tanpa dikoordinasi Dinas Pendidikan, meski pada akhirnya tetap diberi kewajiban menampung mereka.

 Meski masih berupa draf, rencana pemberlakuan jalur mandiri ini mendapat kritik dari beberapa kalangan. Salah satu wakil kepala sekolah (wakasek) sebuah SMAN di Kediri yang tak mau disebut namanya, menilai pembukaan jalur mandiri dalam PSB tahun ini rawan bermasalah.

 Ia khawatir, pihak sekolah bakal mendapatkan banyak gugatan dari masyarakat karena berpotensi terjadi kolusi dan permainan. Selain itu, belum tentu siswa yang dititipkan nanti merupakan anak pejabat atau anak anggota dewan. Bisa jadi, jatah untuk pejabat dan anggota dewan itu dialihkan untuk orang lain dengan imbalan tertentu.

 “Kalau ada keluhan dari masyarakat, sekolah yang bakal repot menjelaskan. Apalagi PSB tahun ini memakai nilai ujian nasional murni, sehingga nilai siswa yang diterima akan termonitor,”paparnya.

 Dikatakan, setiap tahun ajaran baru, sekolahnya banyak mendapat ‘titipan’ dari kalangan pejabat dan anggota dewan yang ingin memasukkan keluarganya. Kalau yang dipakai acuan adalah nilai ujian nasional, pihaknya bakal kesulitan mengatur dengan perwali itu.

 Ni Made Susilowati, anggota DPRD Kota Kediri menilai wajar-wajar saja adanya usulan PSB jalur mandiri. Karena bagi pejabat tentu ada keinginan agar anaknya bersekolah negeri di tempat orangtuanya bekerja. “Saya setuju saja ada jalur mandiri asal nilainya tidak jelek-jelek amat,”ungkapnya.

 Namun, Made mengusulkan cakupan jalur mandiri tidak hanya untuk anak pejabat, tapi diperluas untuk siswa dari keluarga miskin yang tidak berprestasi. “Kalau siswa miskin dan tidak berprestasi masuk sekolah swasta biayanya tentu tambah banyak. Bisa-bisa anaknya malah tidak masuk sekolah,”ujarnya.

 Kepala Dinas Pendidikan Kota Kediri Drs Wachid Anshori saat dikonfirmasi Surya menyatakan, rencana pembukaan PSB jalur mandiri masih sekadar usulan dalam draf perwali. “Kami masih menelaah dasar hukumnya memungkinkan apa tidak,”katanya.

 Dari kajian yang telah dilakukan, sebut Wachid, PSB jalur mandiri saat ini belum memiliki payung hukum. Ini berbeda dengan jalur kemitraan (anak guru dan pegawai sekolah) dan kuota bagi siswa miskin jelas ada dalam UU Sisdiknas.

 “Kami masih mengkajinya, jika memang tidak ada payung hukumnya, tidak akan dilaksanakan,”tambahnya.

 Secara terpisah, Kepala Dinas Pendidikan Jatim, Harun menyayangkan jika ada rencana anak pejabat di Kota Kediri diberlakukan istimewa dalam penerimaan siswa baru di kota setempat. Harun akan meminta penjelasan langsung kepada Dinas Pendidikan Kota Kediri terkait kebijakan ini.

 “Tentu kalau siswa khusus anak pejabat dan anggota Dewan itu benar-benar diberlakukan, itu kurang tepat. Penerimaan siswa di satu sekolah semestinya didasarkan pada kemampuan dan nilai siswa,”ucap Harun.

 Setidaknya itu yang berlaku secara umum dan sesuai aturan. Beberapa sekolah yang dianggap favorit oleh masyarakat akan memberikan kriteria penerimaan siswa barunya berdasarkan nilai atau prestasi siswa. Selain itu, ada juga yang memberlakukan tes masuk bagi siswa baru.

 Diterima dan tidaknya calon siswa di sekolah tertentu, kata Harun, bukan didasarkan pada pangkat atau kedudukan sosial orangtua. Meski anak orang biasa, bahkan miskin sekalipun jika nilai atau hasil tesnya memenuhi kualifikasi berhak diterima di sekolah tersebut maka harus diterima. “Sebaiknya sesuai norma pendidikan. Jangan ada perbedaan perlakuan dalam pendidikan,”lanjut Harun.

 Kritikan serupa juga disampaikan Ketua Dewan Pendidikan Jatim, Zainudin Maliki. Pria ini kaget lantaran Selasa pagi kemarin, Wali Kota Kediri Samsul Ashar menerima nominator penghargaan pendidikan Widya Karya Anugerah di Graha ITS.

 Pria yang akrab disapa Cak Din ini mendesak agar rencana tersebut dibatalkan. “Ini aturan yang elitis. Harus ditinjau ulang,”tegasnya.

 Kalau benar bahwa ada perlakuan istimewa bagi anak pejabat dan anggota Dewan itu artinya pemerintah setempat telah memberikan perlakukan istimewa bagi kalangan elite. Ini bisa masuk dalam kategori diskriminasi pendidikan.

 “Itu jelas kebijakan yang tidak prorakyat. Seharusnya yang mendapat perlakukan istimewa dalam pendidikan bukan dari kalangan elitis pejabat. Siswa miskin dari keluarga tidak mampu-lah yang perlu diberi keistimewaan,”kata Cak Din.

 Ia berharap, penerimaan peserta didik baru di Kota Kediri kelak benar-benar didasarkan pada ketentuan yang fair dan adil. Penerimaan siswa baru harus disesuaikan dengan kuota atau pagu yang ada di sekolah tersebut. “Tidak pada tempatnya membuat aturan yang menguntungkan pihak tertentu dalam pendidikan,” tandasnya. dim/fai/ti

Sumber: http://www.surya.co.id/2011/06/08/anak-pejabat-dijatah-sekolah-favorit

Permainan untuk Balita Anda (klik play, pilih lagu di kiri, lalu tekan sembarang tuts)