Jumat, 29 Juli 2011

Alasan Si Kecil Tak Mendengarkan Anda

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pendidikan online interaktif untuk pelajar.





Oleh Amelia Ayu Kinanti | Yahoo News

Merasa frustrasi karena perkataan Anda sering kali diacuhkan oleh si kecil? Berikut ini beberapa alasan anak tak mau mendengarkan perkataan orangtuanya. Helium memberikan beberapa alasan mengapa anak suka mengabaikan perkataan orangtuanya. Ini dia!

1. Menguji batasan kesabaran

Anak-anak ingin menilai sejauh mana orangtuanya bisa bersabar menghadapinya. Tujuannya untuk mengetahui sejauh mana batasannya dalam bertindak. Anak-anak sering kali membuat batasan sendiri tanpa harus mendapat instruksi dari Anda. Terkadang, caranya adalah dengan “membantah” orangtua.

2. Menilai siapa yang mengontrol

Tak jarang banyak anak-anak yang mencoba menjadi “si pengontrol” termasuk terhadap orangtua. Sekali saja mereka berhasil mengontrol Anda, maka mereka akan menggunakan cara yang sama untuk melakukannya lagi. Untuk itu Anda harus bersikap tegas. Jangan sampai anak Anda tumbuh di luar batasan nilai-nilai yang berlaku.



3. Fase pertumbuhan
Anak-anak, terutama ketika masa remaja, mengalami fase yang membuat mereka suka memberontak. Mereka seolah hidup di dunia sendiri dan seolah tak ada orang yang mengerti. Jangan biarkan fase ini membuat anak Anda makin tidak terkontrol. Anda harus banyak bicara dan mendekatkan diri padanya, dan menunjukkan bahwa Anda benar-benar peduli dan sayang.

4. Kecerdasan
Terkadang bukan maksud anak membantah atau tidak menuruti kata Anda. Namun seringkali kecerdasan mereka menuntut Anda untuk memberi alasan yang logis dan bisa diterima. Untuk itu selalu berlaku jujur pada anak Anda. Jangan memberinya alasan-alasan yang kurang logis, karena hanya akan mendatangkan beragam pertanyaan lain yang membuat Anda kewalahan menjawabnya.

Misalnya, saat anak tak mau tidur, bujuklah dia. Katakan padanya jika tidurnya kurang, maka ia tak punya energi cukup untuk bermain esok hari. Memberi alasan yang menakut-nakuti anak, seperti diculik monster atau makhluk fiktif lainnya hanya akan membuatnya bingung dan bertanya-tanya.


Sumber: Yahoo News

Kirim Surat Aduan ke Bupati, Dua Bocah SD Dikeluarkan Sekolah

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pendidikan online interaktif untuk pelajar.




Oleh: Muhammad Aminudin : detikSurabaya

detikcom - Malang, Seorang wali murid SDN IV Sitirejo Malang, Lilis Setyowati (39) harus menghadapi masalah besar setelah dirinya menulis surat keluhan atas kebijakan sekolah yang dianggap memberatkan wali murid.

Surat pengaduan itu berujung dua putranya Yoga Prakoso dan Yogi Prakoso telah naik ke kelas II tidak bisa bersekolah di tempat itu lagi.

Setelah pihak sekolah mengeluarkan surat meminta kedua dipindahkan, surat pemberhentian ditandan tangani Kepala Sekolah SDN IV Sitirejo Imam Sodiqin, Komite Sekolah, Purwadi dan Koordinator Paguyuban, Netty Erianti ini diberikan kepada putra kembar Lilis saat pertama kali masuk sekolah usai libur panjang tadi siang.

Lilis menceritakan kala itu para wali murid mengeluhkan tingginya biaya pendidikan di lembaga sekolah itu serta pengembangan mutu pendidikan. Meski mereka telah membayar dana untuk menunjang prestasi anak didik.

Seperti biaya les privat. Setiap siswa harus mengeluarkan uang sebesar Rp 20 ribu. Termasuk segala bentuk kegiatan di sekolah yang dinilai kurang baik.

Para wali murid kemudian sepakat menulis sebuah pengaduan yang ditujukan kepada Bupati Malang Rendra Kresna. Waktu mengadu, Lilis tak seorang diri melainkan bersama 39 wali murid lainnya. Namun sial Lilis kemudian menjadi sasaran oleh pihak sekolah terkait surat aduan tersebut.

"Semua yang sebelumnya tanda tangan malah memaki saya, karena dianggap menjadi provokator hingga terbit surat pengaduan itu," kata Lilis saat mendatangi Pendopo Kabupaten Malang Jalan KH Agus Salim, Senin (11/7/2011).

Bukan hanya itu pihak sekolah juga mengancam akan membawa kasus ini ke jalur hukum. "Saya diancam kepala sekolah akan dilaporkan dan didenda Rp 500 juta karena membuat surat pengaduan itu," beber istri dari Taufan Efendi

Bahasa Indonesia akan Diajarkan di China

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pendidikan online interaktif untuk pelajar.






Sumber: REPUBLIKA.CO.ID

DENPASAR - Bahasa Indonesia sebentar lagi akan masuk ke kurikulum pendidikan di Negeri Tirai Bambu China. Menteri Pendidikan Nasional, Mohammad Nuh, baru-baru ini menandatangani nota kerjasama bilateral dengan Menteri Pendidikan China terkait perguruan tinggi bidang bahasa.
Seperti dilansir laman resmi Kementerian Pendidikan Nasional, kerjasama tersebut dijembatani oleh East Asia Summit (EAS). " Jika sebelumnya sudah ada kerja sama yang dilakukan Indonesia dengan China untuk mengajarkan bahasa Mandarin di beberapa universitas di Indonesia, maka hari ini yang saya teken, bahasa Indonesia akan diajarkan di beberapa universitas pendidikan di China," kata Nuh usai menggelar konferensi pers EAS di Hotel Intercontinental, Bali.
Kerja sama bahasa ini salah satu bentuk promosi bahasa Indonesia di negara berpenduduk terbesar di dunia tersebut. Karena EAS sendiri, kata Menteri Nuh, merupakan gabungan dari negara-negara yang memberi kontribusi sebanyak 47 persen dari perekonomian dunia.Negara yang tergabung dalam EAS adalah anggota negara ASEAN ditambah Korea Selatan, Jepang, China, Selandia Baru, Australia, dan India. Selain itu, segera bergabung Amerika dan Rusia.
Didasari oleh fakta bahwa negara-negara EAS adalah negara dengan sumber daya alam yang besar namun belum terkelola dengan baik, maka banyak kerja sama yang bisa diupayakan untuk mengoptimalkan sumber daya tersebut. "Diharapkan EAS ini bisa menjadi kontributor kesejahteraan dunia, baik di bidang ekonomi, sosial, dan nilai kemanusiaan sebagai motor peningkatan kualitas hidup," ujarnya.

Tidak Usah Memuji Masakan Mama...!

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pendidikan online interaktif untuk pelajar.





Oleh: Yacinta Senduk SE, SH, MBA, LLM

Ketika di kelas, kami memberi tugas kecil kepada murid untuk memujiorangtua mereka, memuji hasil pekerjaan ayah dan ibu di rumah, yang menurut mereka bagus, tugas ini dirasakan ganjil oleh kebanyakan murid. Namun seorang murid kami, sebut saja Andri, laki-laki berusia 14 tahun, bersikap sangat marah terhadap tugas ini. Suaranya kencang berkata, “Saya tidak mau memuji orangtua  saya! Apalagi mama saya! Itu hal yang sangat tolol! Dan saya rasa tidak ada  gunanya memuji siapapun juga!

Belum sempat pelatih bertanya mengapa, Andri melanjutkan, Coach tahu, kalau saya memuji masakan mama saya, mama akan berkata, Nggak usah dibahas! makan aja!... Tapi, kalau saya tidak berkomentar tentang masakannya, mama saya akan menanyakan bagaimana masakannya. Pernah, saya menjawab, keasinan. Mama saya marah, mama bilang, Eh! Suka nggak suka, makan aja! Mama sudah capek-capek  masak, kamu cuma tinggal makan, masih ngedumel!’” Papar murid kami...

Tuh kan, coach, kalau ngomong sama mama saya, semuanya salah! Ngomong baik, salah. Ngomong jujur, salah. Memang mama saya itu dan semua orangtua, tidak masuk akal! Saya nggak ngerti! Kata Andri menyamaratakan semua orangtua.

Akhirnya, kami meminta Andri untuk mencoba memuji ayahnya dan melaporkan reaksi sang ayah. Syukurlah, sang ayah bereaksi lebih positif terhadap pujiannya sehingga murid kami tersebut mengerti bahwa tidak semua orangtua akan menyepelekan pujian yang tulus.

Suatu hari, kami berkesempatan berbicara dengan mama Andri. Di ujung  pembicaraan ia berkata, Belakangan saya melihat anak saya itu akrab dengan papanya. Dulu tidak begitu, tetapi jika saya mendengarkan percakapan mereka, sebenarnya bagi saya sangat asing, mereka berbicara tentang hal-hal yang jujur, seperti ketika warna dasi papanya tidak bagus, Andri bilang bahwa dasi itu tidak bagus dan papanya segera mengganti dasinya tanpa ngedumel. Tapi ketika papanya mengajak makan ke sebuah restoran, Andri berkata, wah! Makanannya enak, Pa.. Memang papa hebat deh kalau memilih restoran, seru! Jelas ibu itu sambil mengernyitkan dahinya.

Lalu kenapa ibu bingung? Tanya saya.

Di dalam hidup saya, saya melihat bahwa pujian-pujian yang dilontarkan itu kebanyakan palsu. Ayah-ibu saya pedagang, mereka banyak berkata-kata manis hanya supaya dagangannya laku. Itulah sebabnya, saya tidak pernah percaya pada pujian.  Semua pujian itu palsu. Ujarnya.

Semua pujian, bu? Kembali saya bertanya.

Melihat Andri dan papanya sekarang, saya jadi belajar bahwa tidak semua  pujian adalah bohong dan tidak semua kritikan berasal dari hati yang jahat.Katanya datar.

Yacinta Senduk SE, SH, MBA, LLM adalah Principal of Yemayo Advance Education Center
Sumber: http://www.facebook.com/notes/yemayo-advance-education-center/tidak-usah-memuji-masakan-mama/10150248389491704

Film Semesta Mendukung (Mestakung)

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pendidikan online interaktif untuk pelajar.




 JAKARTA- Film seMESTA menduKUNG (Mestakung) tak hanya diramaikan artis dan aktor terkenal saja. Tapi juga ikut diramaikan oleh Prof. Yohanes Surya, Ph.D, yang selama ini lebih dikenal sebagai seorang ahli fisika.

Prof. Yohanes Surya, Ph.D, tampil sebagai bintang tamu dalam salah satu adegan film besutan sutradara John de Rantau itu. Di sela-sela kesibukannya, Yohanes bersedia meluangkan waktu untuk tampil di film seMESTA menduKUNG, film terbaru produksi oleh Mizan Productions dan Falcon Picture yang direncanakan akan tayang serentak di bioskop pada Agustus 2011.

Film Mestakung merupakan film yang terinspirasi dari kisah nyata semangat tim olimpiade sains Indonesia sebagai juara umum olimpiade fisika di Singapura, namun karakter, detail cerita serta peristiwanya merupakan rekaan.

Film ini menceritakan tentang Arif, seorang anak yang sangat mencintai Fisika dan berasal dusun di Pamekasan, Madura. Jauh dari gemerlap kota dan fasilitas yang memadai sekaligus kesulitan ekonomi yang dialaminya, tidak memadamkan kecintaannya pada dunia sains khususnya Fisika.

Beruntung, dia mempunyai guru seperti Ibu Tari, seorang perempuan Minang yang karena dedikasinya terhadap dunia pendidikan rela terdampar di Madura untuk menemukan intan-intan pecinta ilmu sains. Di luar kecerdasannya, Arif tetaplah seorang anak yang merindukan sang ibu yang lama pergi. Sang ibu yang akhirnya harus dicarinya hingga ke Singapura. (rik)

Sekolah untuk Apa?

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pendidikan online interaktif untuk pelajar.






Oleh: Rhenald Kasali

Beberapa hari ini kita membaca berita betapa sulitnya anak-anak kita mencari sekolah. Masuk  universitas pilihan, susahnya setengah mati. Kalaupun diterima, bak lolos dari lubang jarum. Sudah masuk, ternyata banyak yang "salah kamar". Sudah sering saya mengajak dialog mahasiswa yang bermasalah dalam perkuliahan yang begitu digali selalu mengatakan mereka masuk jurusan yang salah. Demikianlah, diterima di PTN masalah, tidak diterima juga masalah. Kalau ada uang bisa kuliah di mana  saja.

Bagaimana kalau uang tak ada? Hampir semua orang ingin menjadi sarjana, bahkan masuk program S2. Jadi birokrat atau jendral pun, sekarang banyak yang ingin punya gelar S3. Persoalan seperti itu saya hadapi waktu lulus SMA tiga puluh tahun yang lalu, dan ternyata masih menjadi masalah hari ini.  Bahkan sekarang, memilih SMP dan SMA pun sama sulitnya.Mengapa hanya soal memindahkan anak karena pindah rumah ke sekolah negeri lain saja biayanya begitu besar?  Padahal bangku sekolah masih banyak yang kosong.  Masuk sekolah susah, pindah juga sulit, diterima di perguruan tinggi untung-untungan, cari kerja susahnya minta ampun.  Lengkap sudah masalah kita.

Kalau kita sepakat sekolah adalah jembatan untuk mengangkat kesejahteraan dan daya saing bangsa, mengapa dibuat sulit?  Lantas apa yang harus dilakukan orang tua?  Jadi sekolah untuk apa di negeri yang serba sulit ini?  Kesadaran Membangun SDM Lebih dari 25 tahun yang lalu, saat berkuasa, PM Malaysia Mahathir Mohammad sadar betul pentingnya pembangunan SDM. Ia pun mengirim puluhan ribu sarjana mengambil gelar S2 dan S3 ke berbagai negara maju. hal serupa juga dilakukan China.  Tidak sampai sepuluh tahun, lulusan terbaik itu  sudah siap mengisi perekonomian negara. Hasilnya anda bisa lihat sekarang. BUMN di negara itu dipimpin orang-orang hebat, demikian pula perusahaan swasta dan birokrasinya.



Perubahan bukan hanya sampai di situ. Orang-orang muda yang kembali ke negerinya secara masif me-reform sistem pendidikan. Tradisi lama yang terlalu kognitif dibongkar. Old ways teaching yang terlalu berpusat pada guru dan papan tulis, serta peran brain memory (hafalan dan rumus)  yang dominan mulai ditinggalkan. Mereka membongkar kurikulum, memperbaiki metode pengajaran, dan seterusnya. Tak mengherankan kalau sekolah-sekolah di berbagai belahan dunia pun mulai berubah.

Di negeri Belanda saya sempat terbengong-bengong menyaksikan bagaimana universitas seterkenal Erasmus begitu mudah menerima mahasiswa.  "Semua warga negara punya hak untuk mendapat pendidikan yang layak, jadi mereka yang mendaftar harus kami terima," ujar seorang dekan di Erasmus.  Beda benar dengan universitas negeri kita yang diberi privilege untuk mencari dan mendapatkan lulusan SLTA yang terbaik. Seleksinya sangat ketat. Lantas bagaimana membangun bangsa dari lulusan yang asal masuk ini?  "Mudah saja," ujar dekan itu.  "Kita potong di tahun kedua.  Masuk tahun kedua, angka drop out tinggi sekali. 

Di sinilah kita baru bicara kualitas, sebab walaupun semua orang bicara hak, soal kemampuan dan minat bisa membuat masa depan berbeda,"ujarnya. Hal senada juga saya saksikan hari-hari ini di New Zealand.  Meski murid-murid yang kuliah sudah dipersiapkan sejak di tingkat SLTA, angka drop out mahasiswa tahun pertama cukup tinggi. Mereka pindah ke politeknik yang hanya butuh satu tahun kuliah. Yang lebih mengejutkan saya adalah saat memindahkan anak bersekolah di tingkat SLTA di New Zealand.  Sekolah yang kami tuju tentu saja sekolah yang terbaik, masuk dalam sepuluh besar nasional dengan fasilitas dan guru yang baik. Saya menghabiskan waktu beberapa hari untuk mewancarai lulusan sekolah itu masing-masing, ikut tour keliling sekolah, menanyakan kurikulum dan mengintip bagaimana pelajaran diajarkan.  Di luar dugaan saya, pindah sekolah ke sini pun ternyata begitu mudah.



Sudah lama saya gelisah dengan metode pembelajaran di sekolah-sekolah kita yang terlalu kognitif, dengan guru-guru yang merasa hebat kalau muridnya bisa dapat nilai rata-rata di atas 80 (betapapun stressnya mereka)  dan sebaliknya memandang rendah terhadap murid aktif namun tak menguasai semua subjek. Potensi anak hanya dilihat dari nilai, yang merupakan cerminan kemampuan mengkopi isi buku dan cacatan. Entah dimana keguruan itu muncul kalau sekolah tak mengajarkan critical thinking. Kita mengkritik lulusan yang biasa membebek, tapi tak berhenti menciptakan bebek-bebek dogmatik. Kalau lulusannya mudah diterima di sekolah yang baik di luar negri, mungkin guru-guru kita akan menganggap sekolahnya begitu bagus.

Mohon maaf, ternyata tidak demikian. Jangankan dibaca, diminta transkrip nilainya pun tidak. Maka jangan heran, anak dari daerah terpencil pun di Indonesia, bisa dengan mudah diterima di sekolah yang baik di luar negeri. Bahkan tanpa tes. Apa yang membuat demikian? "undang-undang menjamin semua orang punya hak yang sama untuk belajar," ujar seorang guru di New Zealand. Lantas, bukankah kualitas lulusan ditentukan inputnya?   "itu ada benarnya, tapi bukan segala-galanya, "ujar putera sulung saya yang kuliah di Auckland University tahun ketiga.  Maksudnya, test masuk tetap  ada, tetapi hanya dipakai untuk penempatan dan kualifikasi.



Di tingkat SLTA, mereka hanya diwajibkan mengambil dua mata pelajaran wajib (compulsory) yaitu matematika dan bahasa Inggris.  Pada dua mata pelajaran ini pun mereka punya tiga kategori: akselerasi, rata-rata, dan yang masih butuh bimbingan. Sekolah dilarang hanya menerima anak-anak bernilai akademik tinggi karena dapat menimbulkan guncangan karakter pada masa depan anak,  khususnya sifat-sifat superioritas, arogansi, dan kurang empati. Mereka hanya super di kedua kelas itu, di kelas lain mereka berbaur. Dan belum tentu superior di kelas lain karena pengajaran tidak hanya diberikan secara kognitif semata. Selebihnya, hanya ada empat mata pelajaran pilihan lain yang disesuaikan dengan tujuan masa depan masing-masing. Bagi mereka yang bercita-cita menjadi dokter maka biologi dan ilmu kimia wajib dikuasai. Bagi yang akan menjadi insinyur wajib menguasai fisika dan kimia. Sedangkan bagi yang ingin menjadi ekonom wajib mendalami accounting, statistik dan ekonomi. Anak-anak yang ingin menjadi ekonom tak perlu belajar biologi dan fisika. 

Beda benar dengan anak-anak kita yang harus mengambil 16 mata pelajaran di tingkat SLTA di sini, dan semuanya diwajibkan lulus di atas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Bayangkan, bukankah cita-cita pembuat kurikulum itu orangnya hebat sekali?  Mungkin dia manusia super. Seorang lulusan SLTA, tahun pertama harus menguasai 4 bidang science (biologi, ilmu kimia, fisika dan Matematika), lalu tiga bahasa (Bahasa Indonesia, Inggris dan satu bahasa lain), ditambah PPKN, sejarah, sosiologi, ekonomi, agama, geografi, kesenian, olahraga dan komputer. Hebat sekali bukan?

Tidak mengherankan kalau sekolah menjadi sangat menakutkan, stressful, banyak korban kesurupan, terbiasa mencontek, dan sebagainya. Harus diakui kurikulum SLTA kita sangat berat. Sama seperti kurikulum program S1 dua puluh tahun yang lalu yang sejajar dengan program S1 yang digabung hingga S3 di Amerika. Setelah direformasi, kini anak-anak kita bisa lulus sarjana tiga tahun. Padahal dulu butuh lima tahun. Dulu program doktor menyelesaikan di atas 100 SKS, makanya hampir tak ada yang lulus.  Kini seseorang bisa lulus doktor dalam tiga tahun.

Anda bisa saja mengatakan, dulu kita juga demikian tapi tak ada masalah kok! Di mana masalahnya?  Masalahnya, saat ini banyak hal telah berubah. Teknologi telah merubah banyak hal, anak-anak kita dikepung informasi yang lebih bersifat pendalaman dan banyak pilihan, namun datang dengan lebih menyenangkan. Belajar bukan hanya dari guru, tapi dari segala resources. Ilmu belajar menjari lebih penting dari apa yang dipelajari itu sendiri, karena itu diperlukan lebih dari seorang pengajar, yaitu pendidik. Guru tak bisa lagi memberikan semua isi buku untuk dihafalkan, tetapi guru dituntut memberikan bagaimana hidup tanpa guru, Lifelong learning. 

Saya saksikan metode belajar telah jauh berubah.  Seorang guru di West Lake Boys School di Auckland mengatakan, "Kami sudah meninggalkan old ways teaching sejak sepuluh tahun yang lalu. Makanya sekolah sekarang harus memberikan lebih banyak pilihan daripada paksaan. Percuma memberi banyak pengetahuan kalau tak bisa dikunyah. Guru kami ubah, metode diperbaharui, fasilitas baru dibangun," ujar seorang guru.
Masih banyak yang ingin saya diskusikan, namun sampai di sini ada baiknya kita berefleksi sejenak. Untuk apa kita menciptakan sekolah, dan untuk apa kita bersekolah? Mudah-mudahan kita bisa mendiskusikan lebih dalam minggu depan dan semoga anak-anak kita mendapatkan masa depannya yang lebih baik.

Rhenald Kasali adalah Ketua Program MMUI

Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/411134/34/

Tujuh Belas Alasan Menggunakan Indismart

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pendidikan online interaktif untuk pelajar.

Permainan untuk Balita Anda (klik play, pilih lagu di kiri, lalu tekan sembarang tuts)