Selasa, 10 Mei 2011

Wawasan Pendidikan Imam al-Ghazali (1111-2011 M)

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.







Oeh: Dwikis
Karya besar Imam al-Ghazali tentang pendidikan atau tepatnya wawasan pendidikan, bertajuk *Fatihatul Ulum* (*Introduction to the Sciences*). Buku tersebut berisi pandangan al-Ghazali mengenai persoalan-persoalan pendidikan, yang sesungguhnya menjadi fondasi konsep-konsep pendidikan modern. Buku *Fatihatul Ulum* atau Pengantar Ilmu Pengetahuan juga dimaksudkan sebagai penyempurnaan terhadap khazanah ilmu pendidikan Eropa pada masa al-Ghazali hidup (Abad XI dan XII Masehi).

 Sedangkan karya lain al-Ghazali yang mengupas tema pendidikan –dalam pengertian praktis– diantaranya: *Ihya Ulumuddin* (Kebangkitan Ilmu-ilmu Agama), *Mi’yar al-Ilm* (Takaran Standar Pengetahuan) , dan *Mizanul Amal*(Kaidah- kaidah Perilaku). Untuk melihat karya-karya besar al-Ghazali dengan tema yang lain, sila pembaca klik tautan terpercaya ini: http://www.ghazali. org .

 Sebelum saya menggali lebih dalam wawasan pendidikan Imam al-Ghazali, terlebih dahulu kita ungkap sekilas riwayat hidupnya. Riwayat hidup singkat al-Ghazali berikut saya kutip dari situs Ghazali Org di atas dan Id Wikipedia Org: *http://id.wikipedia .org*

 Al-Ghazali Imam Abu Hamid Muhammad, juga dikenal sebagai al-Ghazali, adalah salah seorang di antara cendekiawan muslim terkemuka. Ia seorang di antara ahli teologi, filosof dan sufi muslim terbesar. Di dunia Barat, orang mengenalnya dengan nama *Algazel*.

 Al-Ghazali lahir pada 1058 M / 450 H di kota Thus provinsi Khurasan di Persia timur laut (kini masuk wilayah negara Iran). Nizamul Mulk memberikan jabatan professor kepada al-Ghazali di Akademi Nizamiyyah Baghdad, akan tetapi posisi tersebut ia tinggalkan selama empat tahun untuk mengembara dan menulis. Selanjutnya al-Ghazali mengajar lagi sebentar di Akademi Nizamiyyah, tetapi kemudian pulang ke kota kelahirannya di Thus. Tokoh terkemuka dalam dunia muslim ini meninggal di kota kelahirannya pada 1111 M / 505 H pada usia 53 tahun.

 Sepanjang hayatnya, al-Ghazali menulis lebih dari 70 buku. Ia menulis tema-tema besar dengan cakupan luas dan mendalam meliputi hukum, doktrin Islam, spiritualitas Islam (tasawuf), dan filsafat. Pembaca di Indonesia pastilah tidak asing dengan buku *Ihya Ulumuddin* yang terjemahan bahasa Indonesia-nya banyak ditemukan di toko-toko buku.

 Karya al-Ghazali lainnya *Tahafutul Falasifah* (Keruntuhan para Filosof) telah mendorong Ibnu Rusyd (*Averroes*) menulis buku untuk membantah pendapat-pendapat al-Ghazali itu dengan tajuk *Tahafut Tahafutul Falasifah*(Runtuhny a Keruntuhan para Filosof). Berkat buku ini pula, semenjak itu nama Ibnu Rusyd menjulang tinggi di angkasa raya intelektual.

 ***

 Di antara percikan pemikiran *Wawasan Pendidikan Imam al-Ghazali*dalam *Fatihatul Ulum* yang saya ungkap di awal tulisan, yakni tentang hubungan antara guru-murid. Bagi kita, wawasan pendidikan al-Ghazali tersebut senantiasa aktual dan relevan dengan situasi dan kondisi masa kini.

 Al-Ghazali berpendapat bahwa para guru hendaknya memiliki sifat kasih sayang terhadap murid-muridnya, dan memperlakukan mereka dengan lembut laksana mereka memperlakukan anaknya sendiri.

 Lebih lanjut ia berkata, “*Hendaknya guru senantiasa jujur kepada setiap murid. Jangan biarkan murid-murid bertingkah laku buruk. Dan jangan sekali-kali membicarakan keburukan teman guru lainnya di hadapan seorang murid… Hindarkan mengajarkan pelajaran yang berada di luar kemampuan berpikir murid*.”

 Ia kemukakan pula bahwa para guru hendaknya senantiasa memberi teladan yang baik dari apa yang diajarkan. Jika tidak demikian, katanya, maka perbuatan itu tidak sesuai dengan apa yang diajarkan. Al-Ghazali juga menekankan tentang pentingnya niat dan kebersihan hati para murid. “*Perbaikilah niat  mereka dan bersihkan hati mereka, agar pendidikannya dapat berfungsi dengan baik*.”



Sementara tentang pujian terhadap murid dan kesalahan yang dilakukannya, al-Ghazali berujar, “*Pujilah dan doronglah murid-murid apabila perbuatan mereka patut mendapatkan pujian. Maafkanlah mereka apabila mereka baru melakukan kesalahan satu kali, tetapi manakala ia mengulangi kesalahannya, peringatkanlah ia secara tersendiri. Untuk membetulkan kesalahannya, janganlah mencaci-maki mereka. Serta jauhkanlah mereka dari ‘teman-temannya yang jahat’, lantaran ini adalah hal amat mendasar bagi pendidikannya* .”

 Wawasan pendidikan al-Ghazali dalam buku *Fatihatul Ulum* lainnya mencakup: Keutamaan Ilmu, Asas-asas Pengajaran dan Bimbingan, Bukti-bukti Rasional soal mengajar sebagai profesi yang mulia, Pembagian Ilmu, Tanggungjawab Guru dan Murid, dan lain sebagainya.

 Pada karya pendidikan lainnya, *Mizanul Amal* (Kaidah-kaidah Perilaku), al-Ghazali mengembangkan psikologi asosiasional yang menarik. Pendapat yang dikemukakan al-Ghazali di bawah ini amat mengagumkan jika kita membayangkan situasi jaman tatkala ia hidup waktu itu.

 Al-Ghazali berpendapat bahwa: (1). Akal terletak di pusat otak sebagaimana seorang raja tinggal di tengah-tengah kerajaannya, (2). Daya cipta terletak di otak depan seperti seorang kepala kantor pos yang mengumpulkan dan menyebarkan berita, (3). Ingatan terletak di bagian belakang otak seperti  seorang pelayan yang berdiri di belakang majikannya, (4). Kemampuan berbicara adalah seperti seorang penerjemah (tentang gagasan-gagasan) , dan (5). Panca indera dapat dibandingkan dengan mata-mata yang memeriksa sumber dan membuktikan kebenaran informasi.

 Wawasan pendidikan al-Ghazali yang paling baik tentang asas-asas pendidikan praktis dalam buku *Mizanul Amal* yang telah kita singgung di atas terdapat dalam tulisannya bertitel ‘*Anakku*‘. Rangkaian goresan pena ‘*Anakku*‘ tersebut dapat pembaca telusuri dengan mengunjungi situs web Pustaka Hidayah yang saya rekomendasikan ini: *http://www.pustakahidayah.com*. Di situs tersebut, tulisan ‘*Anakku*‘ yang memukau buah karya al-Ghazali disajikan dalam 6 (enam) buah artikel sambung-menyambung.

Saya ambilkan contoh nasehat al-Ghazali dalam risalah ‘*Anakku*‘ dimaksud mengenai pentingnya ilmu untuk diamalkan. Kata al-Ghazali, “*Yakinlah bahwa ilmu semata tidak mungkin bisa diandalkan. Contohnya, seandainya seorang laki-laki gagah di tengah gurun sendirian memiliki sepuluh pedang India yang sangat ampuh dan beberapa pusaka lainnya. Laki-laki itu dikenal pemberani dan jago perang. Kemudian seekor singa yang sangat besar menghampirinya dan siap menerkamnya. Apa pendapatmu, apakah senjata-senjata yang hebat itu mampu mencegah laki-laki itu dari terkaman singa jika ia tidak menggunakan dan menghantamkannya kepada singa? Sudah pasti senjata-senjata itu tidak mampu melindunginya kecuali dengan digerak-gerakkan. Demikian juga jika seseorang telah membaca 100.000 masalah ilmiah dan berhasil menguasainya. tetapi tidak mengamalkannya, maka ilmu-ilmu itu tidak akan memberinya manfaat kecuali dengan mengamalkannva. Contoh lain. jika seseorang sakit kuning, dan ia mengetahui bahwa kesembuhannya hanya dengan ramuan obat tertentu yang telah dikuasainya, maka ia tidak mungkin sembuh kecuali dengan meminum obat itu… Seandainya kamu telah belajar puluhan tahun, membaca banyak buku dan menguasai berbagai macam ilmu, lalu kamu menyimpan kitah-kitab sebagai bahan koleksi pribadi, maka semua itu tidak akan menolong dan menjadikanmu mendapatkan manfaat kecuali dengan mengamalkannya* .”





 Akhirnya saya sudahi tulisan lumayan panjang ini dengan menyimpulkan filsafat al-Ghazali tentang pendidikan dengan memperhatikan wawasan pendidikannya dalam “*master piece*” karyanya *Ihya Ulumuddin*.

 Al-Ghazali menekankan agar seorang anak dibiasakan untuk bersusah payah, dan jangan dibiasakan dalam kemewahan. Sedari dini seorang anak juga musti ditanamkan sifat-sifat hormat, bersehaja dan kesungguhan dalam dirinya. Selanjutnya ia tandaskan, “*Hendaknya seorang anak dijaga agar tidak  menggemari uang dan benda-benda lainnya, lantaran inilah langkah yang dapat menuju kepada pertengkaran* .”

 Pada bagian lain al-Ghazali berujar, “*Orang tua bertanggungjawab mendidik anaknya dengan benar. Di tangan merekalah anak yang tidak berdosa dan nuraninya yang masih bersih itu diserahkan. Hatinya laksana sebuah cermin yang siap memantulkan bayangan apa pun yang diletakkan di depannya dan ia  akan meniru apa saja yang dilihatnya. Ia dapat menjadi warga negara yang baik apabila ia dididik dengan baik dan ia akan membahayakan orang lain apabila ia diabaikan dan diperlakukan dengan buruk. Orang tuanya, sanak familinya, maupun guru-gurunya, akan ikut menanggung kebahagiaan atau menanggung penderitaan karena kejahatannya. Oleh karena itu, menjadi tugas orang tua atau walinya untuk memperhatikan anak. Ajarkanlah kepadanya akhlak yang baik. Didiklah ia dan jauhkanlah dirinya dari teman-temannya yang buruk *.”

 *****


Sumber: http://dwikisetiyawan.wordpress.com

APA ITU SEKOLAH RUMAH?

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.







Oleh: Erlina VF Ratu


 Sebelumnya, mari kita sepakati dulu bahwa sekolahrumah (homeschooling) , adalah sebagaimana diatur dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 27, yaitu jalur pendidikan informal, yaitu kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Jelaslah penyelenggara dari sekolahrumah adalah keluarga. Beberapa keluarga dapat bergabung dalam mendidik anak-anak mereka menjadi sekolahrumah majemuk atau bahkan komunitas.

 Perlu selalu diingat, bahwa yang disebut pendidikan berdasarkan UU Sisdiknas adalah:

 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sekolahrumah sebagai suatu jalur pendidikan pun harus diselenggarakan secara sadar dan terencana, terprogram, ada tujuan yang ingin dicapai, ada cara-cara yang sistematis untuk mencapai tujuan tersebut. Bukan suatu kebetulan apalagi suatu kecelakaan.

 Dalam menyelenggarakan sekolahrumah, keluarga dapat memperoleh bantuan pihak eksternal keluarga (lingkungan) , tetapi penanggung jawab pendidikan anak adalah tetap keluarga, karenanya dikatakan secara mandiri. Untuk bahan-bahan belajarnya, keluarga dapat membeli buku dan program pendidikan yang paling sesuai bagi si anak; juga keluarga dapat mendatangkan guru khusus bagi anaknya, atau bahkan bergabung dengan keluarga lain atau membentuk komunitas sekolahrumah untuk kemudahan belajar si anak.

 Apakah lembaga-lembaga pencari laba yang menyebut dirinya homeschooling adalah suatu komunitas sekolahrumah? Dari aspek pembentukan dan tujuannya, jelaslah mereka bukan suatu komunitas sekolahrumah, tapi lebih tepat dikatakan sebagai suatu lembaga penunjang keluarga-keluarga pesekolahrumah dalam menyediakan fasilitas dan berbagai kebutuhan dalam bersekolahrumah. Tidak apa, mereka inipun dibutuhkan oleh para keluarga dan anak yang tidak nyaman menempuh jalur pendidikan formal dan nonformal.

 SEKOLAHRUMAH SEBAGAI SUATU SATUAN PENDIDIKAN

 Definisi UU Sisdiknas (Pasal 1 butir 10): Satuan Pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. Pendidikan mandiri yang diselenggarakan keluarga (pendidikan informal) juga merupakan suatu Satuan Pendidikan, suatu kelompok layanan pendidikan. Anak sekolahrumah dapat menyatakan diri telah mencapai suatu jenjang dan jenis pendidikan tertentu (misal kelas VIII SMP).

 Sekolah Pelangi sebagai suatu Komunitas SekolahRumah, didirikan oleh keluarga homeschooling dan sebagian besar pembimbing belajarnya adalah orangtua dan anak-anak pesekolahrumah sendiri.

 Perijinan dalam mendirikan satuan pendidikan, diatur dalam UU Sisdiknas sebagai berikut:

 BAB XVII PENDIRIAN SATUAN PENDIDIKAN

 Pasal 62

 (1) Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin Pemerintah atau pemerintah daerah.

 (2) Syarat-syarat untuk memperoleh izin meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan.

 Sanksi dari ketiadaan ijin untuk satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan adalah sebagai berikut:

 Pasal 71

 Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000. 000,00 (satu miliar rupiah).

 Cukup besar dan mengerikan ancaman pidananya. Untunglah SekolahRUmah sebagai satuan pendidikan dalam jalur Pendidikan Informal, termasuk yang TIDAK DIWAJIBKAN memperoleh ijin untuk mendirikannya.



 KONSISTEN SEBAGAI PENDIDIKAN INFORMAL

 Masyarakat seringkali menanyakan dan mempersoalkan ijin ini, ketika suatu keluarga akan 'memasukan' anaknya pada suatu lembaga HS, salah satu pertanyaannya adalah: apakah HS ini telah memiliki ijin? Persis sebagaimana ketika memasukan anaknya ke sekolah formal: "apakah sekolah ini sudah diakreditasi? ". Apalagi memang sebagian lembaga homeschooling yang didirikan, memang sejak mulanya adalah berorientasi pada laba, bahkan anak-anak dari pendiri lembaga tersebut menyekolahkan anaknya ke sekolah formal, alias tidak mendidik sendiri anaknya. Pantaslah kalau konsumen lembaga jasa tersebut menanyakan perijinannya, untuk lebih merasa aman dan legal diakui belajar anaknya di lembaga tersebut.

 Pemerintah sendiri gamang, bahkan bingung, jika ada orang atau lembaga meminta ijin untuk mendirikan komunitas sekolahrumah. Perangkat perijinan yang tersedia hanya untuk jalur pendidikan formal (TK, SD, SMP, SMA) dan non formal (PKBM, Kursus). Beberapa lembaga layanan pendidikan sekolahrumah mengurus ijin Kursus atau PKBM. Jelas tidak tepat dan menunjukan ketidakpahaman birokrasi terhadap sistem pendidikan nasional.

 Baiklah semua pesekolahrumah konsisten untuk memposisikan diri dalam jalur pendidikan informal, baik penggiat sekolahrumah keluarga tunggal, majemuk ataupun berkomunitas. Dan jangan mendorong-dorong sekolahrumah untuk menjadi jalur pendidikan nonformal, sehingga kemerdekaan keluarga dalam mendidik anak-anaknya sendiri akan hilang, bahkan kemudian keluarga akan dibebani dengan berbagai kewajiban administrasi legal serta laporan-laporan yang sama sekali tidak bermanfaat bagi kemajuan pendidikan anak-anaknya.



Lomba Karya Ilmiah Remaja 2011

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.




Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasama dengan AJB Bumiputera 1912 akan menyelenggarakan Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) ke-43 Tahun 2011.
LKIR adalah ajang kompetisi ilmiah bagi remaja Indonesia usia 12-19 tahun yang memiliki ketertarikan di dunia penelitian, guna meningkatkan kesadaran dan kemampuan mereka dalam menganalisa permasalahan untuk mencari solusi yang tepat melalui penelitian dan aplikasi iptek. Setiap peserta harus mengikuti semua persyaratan yang tercantum pada informasi di bawah ini sebelum membuat scientific paper/karya tulis ilmiah. Rangkaian kegiatan berupa:

1. Peserta mengirimkan proposal penelitian kepada panitia lomba yang akan diterima paling lambat 16 Mei 2011
2. Pengumuman proposal yang dibimbing pada 7 Juni 2011
3. Proposal yang lolos seleksi akan dilakukan pembimbingan minimal 3 (tiga) bulan oleh pembimbing (yang ditentukan LIPI) melalui komunikasi jarak jauh seperti via electronic mail dan telepon
4. Hasil akhir penelitian berupa karya tulis ilmiah akan diseleksi kembali untuk diundang mengikuti presentasi/expose sebagai Finalis di Jakarta pada tanggal 2-4 Oktober 2011
5. Finalis melakukan presentasi hasil penelitian mereka dihadapan Dewan Juri berupa paparan Power Point dan Poster hasil penelitian.
6. Pemenang akan diumumkan pada malam penganugerahan

Informasi selengkapnya dapat dilihat di :
http://kompetisi. lipi.go.id/ lkir43/

Pemenang akan mendapatkan uang tunai dari AJB Bumiputera 1912 dan Piala serta Piagam Penghargaan dari LIPI dan disertakan pada ajang kompetisi internasional.
Pemenang I : Rp 12.000.000,- (Dua belas juta rupiah)
Pemenang II : Rp 10.000.000,- (Sepuluh juta rupiah)
Pemenang III : Rp 8.000.000,- (Delapan juta rupiah)

Panitia Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) Ke-43 Tahun 2011
Gedung Sasana Widya Sarwono Lt. 5
Jl. Jend. Gatot Subroto No. 10
Jakarta Selatan 12710
Telp (021) 5225711, ext. 273, 274, 276
Fax. (021) 52920839, 5251834

Pendidikan Terjajah Bahasa Inggris

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar





 Oleh: Asmadji As Muchtar


PENDIDIKAN kita ’’terjajah’’ Bahasa Inggris, demikian gerutu beberapa orang tua murid terkait dengan biaya sekolah anak-anaknya yang makin mahal. Dengan memasang label rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) ataupun sekolah bertaraf internasional (SBI) secara terang-terangan atau tersamar kini makin banyak sekolah yang mengharuskan muridnya untuk mampu berbahasa Inggris. Mahalnya biaya sekolah hanya karena ingin muridnya mampu berbahasa Inggris adalah sesuatu hal yang sulit dimengerti oleh rakyat. Pasalnya, proses belajar mengajar Bahasa Inggris di sekolah relatif murah. Artinya, sekolah cukup hanya menyediakan buku untuk guru dan murid.

Jika guru Bahasa Inggris memang betul-betul mahir berbahasa Inggris dan mampu mengajarkannya dengan baik, sedangkan murid-muridnya serius belajar, pasti akan mampu berbahasa Inggris. Dengan kata lain, proses belajar mengajar Bahasa Inggris tidak memerlukan infrastruktur yang mahal dan karenanya sangat aneh jika biaya sekolah menjadi sangat mahal. Dalam hal ini, laboratorium Bahasa Inggris, kalau memang dianggap penting, bukan termasuk infrastruktur yang mahal dan bisa dibangun dengan anggaran pendidikan yang disediakan negara.

Rakyat makin tahu bahwa mahalnya biaya sekolah terkait dengan urusan belajar mengajar Bahasa Inggris hanya gara-gara label negeri dan label internasional. Artinya, setelah pemerintah berhasil memopulerkan status sekolah dengan label ’’terdaftar’’ dan ’’diakui’’, dilanjutkan dengan kebijakan mengistimewakan sekolah-sekolah berstatus negeri, lantas mencoba memopulerkan sekolah negeri bertaraf internasional.

Terkait proses belajar mengajar Bahasa Inggris, sejumlah sekolah swasta nyata-nyata lebih baik ketimbang sekolah negeri. Satu contoh saja, betapa Pondok Pesantren Gontor (swasta) ternyata mampu mendidik muridnya mahir berbahasa Inggris (dan juga Bahasa Arab) tanpa biaya mahal. Mahalnya biaya sekolah terkait proses belajar mengajar Bahasa Inggris sangat aneh dan sulit dimengerti. Namun, lepas dari urusan biaya, proses belajar mengajar Bahasa Inggris di banyak sekolah perlu dibenahi agar Bahasa Inggris tidak terkesan menjajah (yang berarti juga menindas) rakyat.

Dalam upaya pembenahan proses belajar mengajar Bahasa Inggris, yang harus dicermati adalah kualitas buku dan lembar kerja siswa (LKS). Jika buku dan LKS yang ada kurang baik, seharusnya segera diperbaiki. Layak diduga, buku dan LKS yang ada kurang baik, dan buktinya mayoritas lulusan SMA belum mampu berbahasa Inggris.



Guru Berkualitas Untuk mencermati kualitas buku dan LKS, pemerintah sebaiknya meneliti buku dan LKS di SMA, apakah ada yang sama isinya dengan yang digunakan di SMP? Jika pemerintah betul-betul cermat, mungkin menemukan banyak kejanggalan. Misalnya, ada LKS untuk SMP yang isinya sama dengan isi buku untuk SD. Atau ada LKS untuk SMA isinya sama dengan isi buku untuk SMP. Selain buku dan LKS, peran guru sangat penting. Dalam hal ini, pemerintah selayaknya terus meningkatkan kualitas guru Bahasa Inggris agar mampu mengajar lebih baik lagi.

Kalau memang pemerintah menghendaki anak-anak Indonesia mampu berbahasa Inggris, seharusnya segera menyediakan guru yang betul-betul mampu mengajar dengan baik. Terlalu gegabah jika pemerintah membiarkan guru-guru kurang cakap mengajar yang membuat lulusannya tidak akan mampu berbahasa Inggris dengan baik.

Untuk konteks global, tidak ada salahnya pemerintah mencoba merekrut guru-guru Bahasa Inggris dari luar negeri. Dalam hal ini, kehadiran guru-guru dari luar negeri akan membuka persaingan yang sehat. Artinya, guru-guru kita akan bersemangat belajar lagi jika merasa belum cakap berbahasa Inggris. Layak disayangkan, jika mahalnya biaya sekolah terkait dengan Bahasa Inggris ternyata hanya sebatas upaya menaikkan citra atau gengsi status sekolah negeri. Terlalu kasihan jika rakyat di negeri ini menderita di ranah pendidikan setelah menderita di banyak bidang lain. Kini, rakyat makin menderita karena pemerintah ’’menjajah’’ dengan mata pelajaran Bahasa Inggris yang dibungkus dengan pencitraan sekolah-sekolah negeri bertaraf internasional.

— Dr Asmadji As Muchtar, guru sekolah swasta, Direktur Forum Multi-Studies, tinggal di Kudus

Sumber: http://suaramerdeka .com/v1/index. php/read/cetak/2011/04/02/142080/10/Pendidikan-Terjajah- Bahasa-Inggris

PENDIDIKAN DASAR GRATIS : AMANAT YANG TERLUPAKAN

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.





Oleh: Satria Dharma
Pendidikan dasar gratis adalah amanat UUD 1945 hasil Amandemen yang tercantum pada Pasal 31 Ayat (2) yang berbunyi : Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Untuk menegaskan amanat tersebut maka dalam UU Sisdiknas Pasal 34 Ayat (2) dinyatakan lagi bahwa : “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.”

 Jadi apalagi yang hendak diperdebatkan? Jelas bahwa sesuai dengan amanat UUD 1945 hasil amandemen dan UU Sisdiknas 2003, pemerintah memang sudah seharusnya menanggung biaya pendidikan dasar bagi semua warga negara tanpa membedakan antara si kaya dan si miskin. Karena itu, penyediaan sekolah gratis bagi semua warga negara jauh lebih mendasar ketimbang pemberian subsidi silang kepada siswa dari kalangan miskin.
Tapi fakta menunjukkan lain. Tidak banyak pemerintah kota dan kabupaten yang berusaha untuk memenuhi amanat Undang-undang tersebut dan bahkan memberikan tafsiran sendiri mengenai adil, perlu, dan menguntungkan atau tidaknya pendidikan dasar gratis tersebut. Apakah pendidikan dasar gratis itu mustahil dilaksanakan dari segi finansial, tidak adil bagi si miskin, menurunkan mutu, sekedar mimpi, dll? Tentu saja tidak.
Fakta menunjukkan bahwa semua negara maju menggratiskan pendidikannya  sampai pada perguruan tinggi. Bahkan di Jerman orang asingpun boleh menikmati sekolah gratis tersebut sampai perguruan tinggi. Itu sebabnya banyak orang kita yang pergi ke Jerman untuk memperoleh pendidikan tinggi gratis dan berkualitas tinggi.

Bagaimana dengan negara miskin? Negara miskin seperti Vietnam dan Nigeria di Afrika ternyata juga mampu menggratiskan wajib belajar bagi warganya. Jadi pendidikan dasar gratis itu adalah sangat mungkin, adil, meningkatkan mutu dan juga merupakan keharusan bagi setiap negara. Sangatlah ganjil jika ada pejabat di bidang pendidikan yang menolak konsep pendidikan dasar gratis ini karena ini sama halnya dengan menolak UUD 1945 dan amanat yang dibebankan kepadanya.

Tapi tidak usah melihat dalam skala negara. Bukankah kita sekarang telah menikmati otonomi daerah dimana setiap daerah dapat mengembangkan visi dan strategi pengembangan sumber dayanya sendiri? Jika pemerintah pusat belum mampu menetapkan pendidikan dasar gratis meski telah diamanatkan UU bukankah pemerintah daerah dapat mengambil inisiatif sendiri untuk itu? Kepala daerah yang memiliki komitmen untuk ikut mencerdaskan kehidupan rakyat di daerahnya semestinya tanpa ragu-ragu melaksanakan amanat ini karena sudah jelas bahwa pemenuhan amanat ini akan dapat membawa rakyatnya kepada kemakmuran di masa mendatang.

Kepala-kepala daerah yang membebaskan biaya pendidikan bagi rakyatnya sebenarnya adalah pahlawan-pahlawan daerah masing-masing. Tidak heran jika Bupati Jembrana Prof Drg. I Gede Winasa memperoleh penghargaan dari MURI sebagai kabupaten pertama yang berhasil menyelenggarakan pendidikan secara cuma-cuma bagi segenap warganya. Ia memang pantas memperoleh penghargaan karena banyaknya fasilitas gratis yang ia berikan kepada rakyatnya termasuk kesehatan gratis, KTP gratis, asuransi gratis, PBB pertanian gratis, dll. Apakah Kabupaten Jembrana daerah yang kaya sehingga mampu melaksanakan itu semua? Tidak samasekali. Jembrana termasuk relatif miskin. Untuk skala propinsi kita harus mengacungkan jempol kepada JP Solossa, Gubernur Papua dan Imam Utomo, Gubernur Jawa Timur, yang melaksanakan pembebasan biaya pendidikan bagi warga di daerah masing-masing.



Tapi memang bukan dana yang menjadi permasalahan. Karena terbukti bahwa daerah miskinpun bisa memenuhi amanat UUD 1945 ini. Kabupaten Sinjai di Sulsel yang juga relatif miskin juga telah mampu membuktikan dirinya mampu membebaskan biaya pendidikan bagi warganya. Yang menjadi masalah adalah KOMITMEN dari para pejabat di daerah masing-masing untuk mau melaksanakan amanat undang-undang ini. Percumalah kita berteriak berjuang bagi rakyat jika hal yang sangat mendasar semacam ini saja para kepala daerah tidak punya keinginan untuk memenuhinya. Pendidikan gratis sebenarnya adalah Jihad Pendidikan, seperti yang dikatakan oleh Jaya Suprana, yang semestinya dilakukan oleh semua kepala daerah demi kemakmuran dan kemajuan daerah masing-masing.

Tapi bukankah ada dana subsidi pendidikan bagi orang miskin dari BBM? Lodi Paat, pengamat pendidikan, dengan kecewa mengatakan bahwa itu merupakan pengalihan tanggung jawab. Lodi Paat menilai dana kompensasi BBM untuk pendidikan sebetulnya hanyalah bentuk pengalihan tanggung jawab negara kepada warganya dalam membiayai pendidikan. Sebab, biaya yang mestinya ditanggung negara dicoba dikompensasikan dalam kebijakan pengurangan subsidi harga BBM, di mana orang kaya digiring membiayai pendidikan bagi orang miskin. Amanat undang-undang dalam pendidikan tetap diabaikan.



Untuk kasus Kalimantan Timur jelas bukan masalah dana yang menjadi penghambat. Dana APBD daerah-daerah di Kaltim jauh lebih tinggi daripada Jembrana (232 M) maupun Sinjai. Kita tidak tahu apa masalah yang dihadapi masing-masing daerah sehingga belum juga berusaha untuk membebaskan biaya pendidikan bagi warganya. Sampai hari ini baru Kutai Kertanegara dan Bontang yang membebaskan biaya pendidikan bagi warganya. Daerah-daerah lain masih ditunggu komitmennya.

Satria Dharma
Balikpapan, November 2005
Dewan Pendidikan Kota Balikpapan

Salam

Satria Dharma

Reading for Pleasure

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.






Oleh Hernowo Hasim


Memahami membaca untuk kesenangan, dari kacamata Cultural Studies, sebenarnya
menempatkan membaca sebagai aktivitas yang tidak berbeda dengan aktivitas dan
gaya hidup masyarakat urban yang lain, seperti menonton televisi, memilih
selera genre musik, memilih mode pakaian, telepon genggam, dan berbagai simbol
kehidupan masyarakat modern, bahkan postmodern.

Kegiatan membaca untuk kesenangan di kalangan remaja urban ini menarik untuk
dipahami lebih mendalam karena memiliki kekhasan yang berbeda dengan aktivitas
mengisi waktu luang yang lain.

Seperti dikatakan Wang dkk. (2006), membaca pada dasarnya adalah aktivitas
yang populer dan terbuka bagi siapa saja, karena buku tersedia luas di toko
buku, perpustakaan, atau meminjam ke teman dan orang lain. Membaca juga
merupakan aktivitas individual. Berbeda dengan keputusan menonton televisi
dalam keluarga, misalnya, yang acapkali ditentukan bersama; untuk kegiatan
membaca seseorang bisa mengikuti preferensi pribadi dan merupakan keputusan
yang sifatnya individual.


Saya menemukan kata-kata mencerahkan itu dari buku Rahma Sugihartati, Membaca,
Gaya Hidup dan Kapitalisme: Kajian tentang
Reading for Pleasure dari
Perspektif Cultural Studies (Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010), di halaman 10. Bagi
saya, buku ini disusun dengan materi-materi yang mengagumkan. Bukan hanya
materi-materi itu dikumpulkan berdasarkan riset yang hebat, tetapi Rahma
benar-be
nar menjadikan bukunya ini sangat kaya akan sumber kepustakaan yang
membuka lebar-lebar pikiran saya.

Saya membayangkan andaikan buku ini dapat dibaca oleh, pertama, para pengambil
kebijakan tentang pendidikan; kedua, para orangtua yang ingin putra-putrinya
dapat membiasakan membaca sejak dini secara menyenangkan; ketiga, para pengelola
perpustakaan dan aktivis yang sering melakukan penggalakan minat baca; keempat,
para pemimpin organisasi kemasyarakatan; dan kelima, tentu saja para guru yang
bertahun-tahun telah mengabdikan hidupnya untuk mencerdaskan bangsa.... Apa
yang akan terjadi jika buku ini dibaca oleh mereka?

Menurut Rahma, di halaman 207 bukunya,
Perspektif Cultural Studies memahami
membaca bukan semata-mata aktivitas yang dikerjakan seseorang ketika ia
menyimak dengan teliti sebuah teks tertulis. Pada kenyataannya, membaca adalah
sebuah proses di mana seseorang terlibat setiap saat, sebagaimana kita berusaha
mencoba menafsirkan tanda-tanda yang mengelilingi kita.



Dalam pandangan Cultural Studies, membaca umumnya dipahami sebagai sebuah
dialog atau transaksi, antara teks-teks dengan pembacanya dan sebuah penekanan
yang terkait pada peran kreatif dan peran aktif pembacanya. Interpretasi tidak
pernah pasti karena teks tidak menyediakan pesan-pesan yang monolitik,
melainkan galaksi-galaksi tanda yang amat banyak untuk diikuti/dikejar dari
banyak jurusan (Cavallaro, 2004: 92).


Indah sekali rumusan yang baru saja saya kutip itu. Saya awam tentang Cultural
Studies, namun memba
ca buku Rahma, saya tiba-tiba teringat banyak hal. Pertama,
saya teringat kepada Paul Jennings, penulis The Reading Bug... Anda How You Can
Help Your Child to Catch It (Penguin Books, Australia, 2003), yang menekankan
sekali pentingnya TIDAK menjadikan kegiatan membaca dan menulis di sekolah
sebagai tugas karena akan membebani sebagian besar anak.

Kedua, saya teringat pentingnya memberikan pengalaman membaca kepada setiap
anak, sejak dini, yang sangat menyenangkan, agar mereka benar-benar dapat
menyerap manfaat luar biasa membaca.

Ketiga, saya teringat riset Dr. Krashen dalam bukunya, The Power of Reading:
Insights from the Research (Libraries Unlimited Inc., Colorado, 1993), yang
menunjukkan kepada saya bahwa kunci menulis itu ada pada membaca.

Terima kasih Bu Rahma Sugihartati atas buku karya Anda yang sungguh sangat
mencerahkan pikiran saya.

Ribuan Dokumen Sastra di TIM Terancam Punah

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.






Sumber: Jawa Pos, 20/03/11

JAKARTA,  Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin terancam tidak bisa berkembang. Sebab, dana subsidi dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemprov DKI Jakarta turun drastis. Koleksi dan dokumen-dokumen sastra sejak masa sebelum kemerdekaan terancam tidak terawat.

“Selama ini dana operasional kami berasal dari bantuan masyarakat dan subsidi pemerintah. Tapi, angkanya terus turun,” kata Ketua Perpustakaan PDS H.B. Jassin Endo Senggono di Jakarta kemarin (19/3).

Subsidi dari Pemprov DKI Jakarta, kata Endo, tidak pasti. Biasanya Rp 300 juta hingga Rp 350 juta. Namun, jumlah duit subsidi itu menurun dari tahun ke tahun. Pada 2006, mereka sempat mendapat kucuran dana Rp 500 juta. Tetapi, angka itu turun menjadi Rp 350 juta pada 2008.

Tahun ini, kata Endo, jumlah dana belum jelas. Namun, dia mendapat informasi bahwa pihaknya hanya akan mendapat Rp 50 juta. Padahal, dana Rp 300 juta per tahun hanya cukup untuk pengoperasian PDS, minus pengadaan. “Tapi, Rp 50 juta itu saya dengar masih dari satu pos pembiayaan. Untuk pos yang lain, saya belum dengar,” katanya.

Endo menuturkan, kebutuhan dana untuk PDS sejatinya terus bertambah. Selain menggaji karyawan, perawatan dokumen-dokumen sastra perlu duit. Ada banyak kertas yang rentan lapuk. Selain itu, mereka perlu pengadaan untuk meng-update koleksi.

Mereka juga harus mengkliping cerpen-cerpen di koran dan mengumpulkan berdasar nama penulis. “Sekarang koran-korannya menumpuk. Tidak ada orang yang mengkliping,” ujar lulusan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) itu.



Endo berharap, pemprov tidak akan mengurangi biaya subsidi. Sebab, itu menjadi sumber pembiayaan yang penting bagi PDS. Dia khawatir, jika subsidi berkurang drastis, PDS tidak bisa mempertahankan koleksinya dan harus tutup.

Kabar terancam tutupnya PDS gara-gara dana membuat beberapa sastrawan bergerak. Penyair Sitok Srengenge, misalnya. Dia menggalang dana untuk PDS melalui sejumlah koleganya dan lewat akun jejaring sosial Twitter miliknya. Beberapa dari mereka bahkan sudah membentuk koordinator pengumpul koin di wilayahnya. “Ini sifatnya gawat darurat. Masyarakat harus ikut membantu,” tuturnya.

Menanggapi itu, Kepala Dinas Parisiwata dan Kebudayaan DKI Jakarta Arie Budiman menampik anggapan bahwa PDS terancam tutup. Menurut dia, tidak mungkin aset bersejarah dan komplet itu gulung tikar. Dia mengakui dana subsidi kurang. “Tapi, kami masih mencari jalan keluar. Tidak mungkin ditutup. Saya jamin,” katanya kepada wartawan di Jakarta kemarin (19/3).

PDS H.B. Jassin saat ini dikelola Yayasan Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Lembaga yang dirintis begawan sastra Indonesia H.B. Jassin sejak 1930 itu bertempat di Taman Ismail Marzuki (TIM) dan diresmikan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 1977. Ribuan dokumen sastra ada di sini, baik tulisan H.B. Jassin maupun sastrawan yang lain. Bahkan, tulisan tangan penyair Chairil Anwar juga masih tersimpan. (aga/c4/kum)

Sekolah Alam Indonesia Bicara Pendidikan Karakter di Malaysia

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.






oleh: M Budi Santosa

KUALALUMPUR – Sebagai bagian dari Program Personal Upgrading, sembilan Guru Sekolah Alam Indonesia (SAI) mengadakan Workshop on Character Eduaction di International Islamic University Malaysia (IIUM) pada Senin 29 November 2010. Dipimpin oleh Kepala Syura Guru SAI Hudori AZ, kesembilan guru tersebut ingin lebih banyak berbagi dan menggali tentang Character Education yang selama ini sedang digalakkan oleh Pemerintah.

Acara tersebut berlangsung di kampus IIUM Kampus Gombak, tepatnya Institute of Education IIUM. SAI disambut oleh ISSI (Indonesian Student Society of INSTED) yang merupakan pihak pengundang yang ingin mengetahui lebih banyak tentang konsep dan aplikasi Pendidikan Karakter.

"Sekolah Alam Indonesia adalah sekolah karakter yang berbasis alam yang menekankan pada sisi Akhlak, Leadership, dan Logika Berpikir," kata Hudori AZ. "Persentasenya 80 persen lebih menekankan pada Akhlak dan Leadership."

SAI yang terletak di daerah Ciganjur, Jakarta Selatan memang mendidik murid-muridnya dengan mengedepankan karakter dengan penekanan pada penguasaan soft skills, di samping hard skills.

"Jika Pemerintah baru akan menggalakkan Pendidikan Karakter, kami sudah melaksanakannya dari 11 tahun yang lalu sampai sekarang, namun kami perlu upgrading dan pengembangan metode pengajarannya, makanya kami selalu mendatangi sumber-sumber tempat belajar untuk langsung belajar dari mereka," sambung Hudori AZ.

Dalam kunjungan tersebut, Hudori AZ didampingi oleh Abdul Rachman, Kepala Sekolah Sekolah Lanjutan SAI, Khaira Fitmi Guru Bahas Inggris dan Guru-guru Kelas yaitu Dian Hayati, Dian Arifianti, Diani Wijayanti, Dudi Jukardi, Ludfiono, dan Suryani.

"Kami sangat senang bisa berbagi dengan teman-teman dari SAI karena kami mendapatkan angel view yang berbeda dan berani dari SAI," kata Humam Mustajab dari IIUM.

"Ke depan kami ingin lebih banyak bereksperimen dalam bidang pendidikan bersama teman-teman SAI," lanjutnya.

Acara ini diprakarsai oleh Dwita Cahyani, Wakil Ketua ISSI yang juga salah seorang Guru SAI yang sedang mengambil Program Master of Education di Universitas tersebut dan akan berlangsung di Universitas- universitas lain di seluruh dunia untuk berbagi danm menggali tentang Pendidikan Karakter, Insya Allah.(mbs)

sumber: http://news.okezone.com/read/2010/11/29/373/398144/sekolah-alam-indonesia-bicara-pendidika n-karakter-di-malaysia

Permainan untuk Balita Anda (klik play, pilih lagu di kiri, lalu tekan sembarang tuts)