Selasa, 28 Desember 2010

Membangun Konsistensi Anak

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.







Ditulis oleh: Sumardiono

Salah satu tantangan dalam memfasilitasi proses belajar anak-anak adalah membangun motivasi internal dan konsistensi dalam belajar.Pada dasarnya anak-anak memang masih dalam proses pertumbuhan minatnya. Hal itu menyebabkan mereka cenderung memiliki rentang minat dan konsentrasi yang pendek. Bersemangat pada sebuah hal sehingga  seolah-olah hanya hal yang diminatinya itu yang menjadi satu-satunya hal penting di dalam dunianya. Kemudian, tiba-tiba beberapa hari kemudian dia meninggalkannya begitu saja dan beralih pada yang lain.
Minat dan motif pribadi adalah sebuah dorongan yang sangat luar biasa untuk proses belajar yang menyenangkan dan efektif. Ketika anak-anak  tumbuh semakin besar, minat dan ekspresi ini perlu ditambahkan dengan konsistensi.

Tujuan utama mendidik konsistensi adalah melatih anak untuk bertanggung jawab pada proses yang dilakukannya. Dan dalam konteks belajar, konsistensi adalah bagian dari proses pendalaman, sehingga anak tak hanya belajar hal-hal yang ada di permukaan, tapi merasa sudah bisa/menguasai.






Berikut ini beberapa tips untuk membangun konsistensi pada anak:

a. Kesepakatan Bersama
Pendidikan konsistensi dan tanggung jawab bisa diawali dengan dialog yang membentuk kesepakatan- kesepakatan antara orangtua-anak. Kesepakatan itu juga meliputi konsekuensi (positif dan negatif). Karena anak terlibat, maka kesepakatan dapat menjadi pintu masuk bagi anak untuk belajar tentang konsistensi dengan menepati kesepakatan yang sudah dibuat.

b. Ketuntasan Proyek
Proses belajar konsistensi bisa dimulai dari hal-hal sederhana, dengan mengajarkan kepada anak untuk menyelesaikan segala sesuatu hingga tuntas. Anak belajar untuk tak berhenti di tengah jalan, tetapi bertahan hingga akhir.

c. Paket Kecil tapi Berulang
Belajar dalam waktu yang pendek, tetapi berulang adalah salah satu kunci menjaga konsistensi. Membaca satu buku kecil atau satu bab setiap hari, tetapi dilakukan setiap hari akan memberikan panduan kepada anak untuk belajar konsistensi. Demikian pun, belajar sebuah hal selama 1/2
jam yang dilakukan secara kontinu lebih baik daripada menyelesaikan banyak hal dalam satu waktu, tetapi kemudian sama sekali tak menyentuhnya dalam jangka waktu yang lama.

d. Membuat Jadwal
Jadwal yang disepakati bersama anak juga dapat digunakan melatih anak untuk konsisten. Jadwal ditetapkan secara periodik, misalnya harian atau mingguan; dan anak belajar untuk menaati jadwal yang sudah dibuat. Perubahan tak boleh dilakukan di tengah jadwal, tetapi baru bisa dilakukan setelah selesai sebuah periode tertentu.

e. Pembimbingan
Tak bisa dilepaskan adalah peran orangtua untuk membimbing anak sampai anak dapat membangun motif internalnya. Pendampingan itu sangat bertahap dan perlu dilakukan secara kontinu. Orangtua tak boleh puas melihat anak
yang bersemangat belajar dalam satu minggu pertama dan kemudian melepaskannya begitu saja. Proses itu masih perlu terus dibangun dengan semangat, pembimbingan, dialog, dan interaksi yang terus-menerus bersama anak.

Semoga bermanfaat.

Sumber: 
http://rumahinspirasi.com/homeschooling/membangun-konsistensi-anak



Tiga Skenario Rekrutmen Guru Baru Kemendiknas

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.




REPUBLIKA.CO. ID, JAKARTA--Kementeria n Pendidikan Nasional mulai 2011 menyiapkan tiga skenario rekrutmen guru baru masing-masing untuk jangka pendek, menengah, dan panjang yang ditujukan memenuhi kebutuhan guru yang pensiun, guru bidang studi baru, dan kebutuhan daerah baru. "Untuk mengatasi kebutuhan guru jangka pendek dengan merekrut lulusan S1/D4 yang berminat menjadi guru," kata Mendiknas Mohammad Nuh usai membuka Seminar Guru Nasional 2010 di Kemdiknas, Jakarta, Selasa.

Hadir pada seminar Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal, Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kemdiknas Baedhowi, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemdiknas Djoko Santoso, Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Kemdiknas Hamid Muhammad, dan Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Sulistiyo.

Sebelum mengajar, kata Mendiknas, mereka terlebih dahulu mengikuti pendidikan profesi selama dua semester atau satu tahun. "Kebutuhan guru selalu ada tiap tahun. Oleh karena itu, tidak mungkin mengandalkan dari awal, sehingga kita siapkan yang baru lulus," katanya.

Guu-guru yang baru ini, kata Mendiknas, kalau tidak disiapkan pendidikan profesinya akan menjadi beban. "Oleh karena itu, mulai tahun 2011 Kemdiknas akan merintis pendidikan profesi bekerja sama dengan Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK)," katanya.



Adapun untuk mengatasi kebutuhan guru pada jangka menengah, pemerintah akan memberikan kesempatan kepada mahasiswa yang duduk di semester 5 atau 6. Mereka yang berminat menjadi guru ditawarkan untuk pindah jalur, sehingga begitu lulus sudah tidak perlu lagi mengikuti pendidikan profesi satu tahun. "Jadi pendidikan profesi embedded, sudah melekat di situ," katanya.

Sementara, lanjut Mendiknas, untuk mengatasi kebutuhan guru pada jangka panjang melalui pendidikan sarjana. Pendidikan ini disiapkan bagi lulusan sekolah menengah atas, sekolah menengah kejuruan, atau madrasah aliyah selama empat atau lima tahun.

Layaknya seperti pendidikan kedokteran, kata Mendiknas, mereka yang masuk di fakultas kedokteran, 99 persen ingin menjadi dokter. "Guru nanti juga begitu. Masuk di LPTK (Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan) atau jurusan lain memang mau menjadi guru," katanya.

Mendiknas menyampaikan mulai 2011 akan merintis delapan LPTK di perguruan tinggi untuk menyiapkan pendidikan bagi calon guru. Pada tahap awal, direncanakan merekrut 1.000 lulusan SMA/SMK/MA untuk dididik selama 4-5 tahun. Selama mengikuti pendidikan, mereka akan diasramakan. "Sekarang kita lengkapi asramanya khusus bagi calon guru," ujarnya.

Angklung Dalam Kurikulum Sekolah

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.




Oleh: Dindin Samsudin

Setelah penantian yang cukup panjang, akhirnya 18 November 2010, Kota Nairobi Kenya di Afrika Timur menjadi saksi dalam peresmian dan penetapan angklung sebagai warisan budaya dunia asal Indonesia oleh PBB. Sebagai urang Sunda dan orang Indonesia kita bersyukur dan berbangga diri karena alat musik asli Jawa Barat ini telah mendapat tempat terhormat dan mendapat pengakuan di jagat raya. Kita sudah sepantasnya bersyukur karena untuk menempatkan angklung menjadi warisan budaya dunia bukanlah suatu pekerjaan mudah. Pasalnya, untuk memperoleh pengakuan dan pengukuhan itu harus melalui proses penelitian, penelusuran dokumen, dan penilaian dari seluruh anggota UNESCO yang jumlahnya 147 negara.

Sungguh butuh perjuangan dan perjalanan yang panjang agar angklung ini dapat diakui sebagai warisan budaya dunia asli Indonesia. Perjuangan panjang yang dimaksud di antaranya Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata melalui Dirjen Seni dan Nilai Tradisional harus mengumpulkan dokumen-dokumen sejarah yang membuktikan bahwa angklung memang berasal dari Indonesia. Beruntung Dirjen Seni dan Nilai Tradisional berhasil menemukan dan membuktikan dokumen penting tersebut. Salah satu dokumen penting adalah terdapatnya prasasti yang menunjukkan bahwa angklung pertama kali ada dan ditemukan di Sukabumi Jawa Barat pada 1903 dan pernah dipersembahkan sebagai cendera mata kepada Raja Thailand.



Pengukuhan angklung oleh badan PBB sebagai warisan budaya dunia asli Indonesia ini sekaligus menambah daftar mata budaya Indonesia yang masuk warisan budaya dunia. Angklung merupakan daftar mata budaya keempat Indonesia yang sudah diakui sebagai warisan budaya dunia setelah sebelumnya pengakuan terhadap wayang, keris, dan batik. Setelah berhasil memperjuangkan pengakuan angklung oleh dunia, apakah sudah selesai perjuangan? Tentu saja belum! Perjalanan ke depan setelah angklung resmi dikukuhkan sebagai warisan budaya dunia asli Indonesia tentu bangsa Indonesia masih memiliki satu tantangan dan kewajiban untuk terus berjuang agar angklung ini lestari. Suatu perjuangan yang masih terasa cukup berat ketika bangsa ini harus mewariskan alat musik goyang berbahan dasar bambu ini kepada generasi muda penerus bangsa.

Tak dapat dimungkiri, keberadaan dan kelestarian angklung di masa depan berada di tangan anak-anak sekarang sebagai generasi penerus bangsa di masa depan. Pengenalan dan pembelajaran angklung sejak dini menjadi prioritas utama yang harus dilakukan agar anak-anak menguasai dan mahir dalam
memainkan angklung. Jika sudah mengenal dan menikmati seni angklung, tentu anak-anak akan memiliki rasa mencintai dan memiliki terhadap angklung.

Terdapat satu hal yang cukup menggembirakan dalam hal pelestarian angklung, yaitu Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan cukup antusias dan memiliki kepedulian dalam upaya terus melestarikan angklung. Menurut dia, Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan memasukkan angklung ke kurikulum sekolah sebagai mata pelajaran muatan lokal. Selain itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga akan mendukung pelestarian angklung dengan membangun gedung pertunjukan khusus.

Pernyataan gubernur layak diberi apresiasi. Rencana pemerintah untuk memasukkan kesenian angklung ke kurikulum sekolah patut segera ditindaklanjuti secara serius. Untuk mendukung rencana baik ini tentu saja diperlukan komitmen bersama dari semua pihak. Kebijakan untuk menjadikan kesenian angklung sebagai salah satu mata pelajaran yang dipelajari di sekolah-sekolah merupakan salah satu upaya yang efektif dalam rangka pengenalan dan pembelajaran angklung sejak dini. Dengan cara memasukkan kesenian angklung ke kurikulum sekolah atau menjadikan bagian dari pelajaran ekstra di sekolah, diharapkan kesenian angklung akan menjadi bagian seni budaya yang hadir di setiap sekolah sehingga angklung menjadi dekat dengan siswa. Sekolah tentu saja menjadi tempat yang dapat diandalkan karena keberadaannya tersebar di seluruh pelosok. Dengan demikian, sekolah sangat memungkinkan untuk dijadikan sebagai tempat pengenalan dan pembelajaran kesenian angklung sejak dini kepada anak-anak dibandingkan dengan tempat lainnya.



Perlu diketahui, masuknya kesenian angklung sebagai kurikulum di sekolah sebenarnya sudah dilakukan sejak era pemerintahan Orde Baru. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 1968 yang mewajibkan angklung sebagai pendidikan kesenian di sekolah seluruh
Indonesia. Akan tetapi, alunan merdu angklung sebagai pendidikan kesenian wajib di sekolah mulai terhenti sejak berakhirnya zaman Orde Baru. Sekarang merupakan saat yang tepat untuk mengaplikasikan kembali peraturan tersebut karena sampai detik ini pun peraturan menteri tersebut belum pernah dicabut.

Ironisnya, belakangan ini pendidikan kesenian angklung di sekolah yang dulu pernah dicanangkan di seluruh Indonesia sudah tergantikan dengan alat music modern. Kini, pendidikan kesenian di sekolah lebih banyak menggunakan alat musik modern dengan alasan kemudahan mendapatkan sarana tersebut. Pendidikan kesenian angklung di sekolah pun sudah lama vakum sehingga berdampak kepada menurunnya jumlah tenaga pengajar, menjauhnya seni angklung dengan siswa, dan terhambatnya peredaran alat musik angklung di sekolah.

Namun, akan lebih ironis lagi jika rencana memasukkan angklung ke kurikulum sekolah yang dilontarkan oleh orang nomor satu di Jawa Barat tadi sekadar wacana yang tak teraplikasikan. Di negeri ginseng Korea Selatan saja yang notabene tidak punya budaya angklung justru memiliki kurikulum angklung yang resmi dipelajari di sekolahnya. Menurut kabar, ada sekitar 8.000 sekolah di Korea Selatan yang mempelajari angklung sebagai mata pelajaran. Bangsa lain sudah peduli terhadap angklung, kini saatnya bangsa kita memedulikannya! ***

Penulis, pencinta seni dan staf Balai Bahasa Bandung, tinggal di Cibeunying Kolot.

Sumber: http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=164899

Pengayaan Kesenian Masuk Kurikulum

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.






JAKARTA - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) Dodi Nandika menegaskan, pengayaan kesenian tidak perlu dijadikan sebagai mata pelajaran baru, tetapi materi tersebut cukup dimasukkan ke dalam kurikulum. Yakni, sebagai salah satu materi yang akan dipelajari di dalam kurikulum pendidikan.

Pernyataan tersebut menanggapi komentar dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik agar kesenian Indonesia yang sudah diakui dunia agar dimasukkan sebagai pengayaan di sekolah. "Kita mendukung kesenian Indonesia sebagai warisan budaya dunia. Batik, angklung, dan keris. Pendidikan itu tidak hanya untuk nalar,” ujar Dodi di sela-sela Seminar Nasional Otonomi Daerah dan Implementasinya dalam Pendidikan di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (20/11).

Menurutnya, saat mata pelajaran tertentu, misalnya sejarah bisa dijelaskan soal batik maupun pembuatan angklung. Angklung itu mengandung nilai-nilai tidak sekedar sebagai alat musik. Beragam budaya dan musikologi. "Jadi, angklung itu mengalir di sekolah yang sudah siap. Juga oleh guru kesenian, di ekstrakulikuler juga belajar soal angklung. Cara memainkannya dan cara membuat,” urai Dodi.



Di Bandung, kata Dodi, sudah banyak sekolah yang mempunyai ekstrakulikuler angklung. Tinggal penyataan dari menteri dimantapkan. Sebelumnya mungkinhanya kencintaan pribadi dari guru atau kedekataan daerah. Sekarang ini, kemendiknas akan mengadakaan pelatihan terhadap guru. Nilai-nilai angklung apa saja yang diisi.

Pelatihan diberikan kepada semua lapisan pendidikan dari SD hingga ke perguruan tinggi. Kemendiknas menginginkan ada kebijakan di semua sekolah. Kebijakan itu harus diawasi sehingga berjalan. (cha/jpnn)

Sumber: http://www.jpnn.com/read/2010/11/20/77569/Pengayaan-Kesenian-Masuk-Kurikulum-

Formula Baru untuk Standar Kelulusan Siswa

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.




Sumber: Jawa Pos, 14 Desember 2010

JAKARTA, Kemendiknas dan Komisi X DPR belum mencapai titik temu untuk merumuskan standar kelulusan siswa sekolah. Namun, pemerintah telah menentukan formula baru penentu kelulusan.

Mendiknas M. Nuh menegaskan bahwa ujian nasional (unas) bukan satu-satunya penentu kelulusan siswa. Salah satu unsur kelulusan didapat dari nilai gabungan. “Nilai sekolah ditambah nilai unas akan menjadi nilai gabungan”, ujarnya selesai rapat dengar pendapat (RDP) di DPR kemarin (13/12). Penentuan nilai sekolah siswa, kata dia, didapatkan dari nilai rapor semester satu hingga semester empat plus nilai ujian akhir sekolah (UAS). “Hasil rata-rata nilai gabungan nanti tidak boleh kurang dari 5,5. Itu standarnya,” terang Nuh.



Sayang, bobot penentu kelulusan belum ditentukan pemerintah. Nuh menyatakan, pihaknya belum bisa memastikan besaran bobot untuk menghitung nilai gabungan. “Bobotnya berapa, itu yang belum kami tentukan. Termasuk standar minimal kelulusan juga belum kami tentukan”, ucap mantan rektor ITS itu. Dia menjelaskan, nilai gabungan yang didapatkan siswa menjadi salah satu unsur penentu kelulusan. Jika sebelumnya kelulusan ditentukan dengan angka minimal unas 5,5, nanti angka tersebut belum bisa dianggap sebagai hasil akhir siswa. “Nilai gabungan akan dihitung lagi dengan nilai mata pelajaran non-unas”, tambah Nuh. Jika tahun depan formulasi baru itu direalisasikan, ungkap dia, sangat mungkin unas ulangan ditiadakan. Sebab, syarat kelulusan yang diberikan sudah cukup longgar.

Ketua Panitia Kerja (Panja) Unas Rully Chairul Azwar menegaskan, panja berharap Kemendiknas bijaksana dalam menentukan bobot sebagai salah satu perhitungan angka kelulusan. “Yang penting dalam formulasi baru itu, angka kelulusan mengakomodasi nilai rapor dan ujian sekolah”, ungkapnya. (nuq/c5/dwi)

Mungkinkah Menciptakan Kejeniusan?

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.




Posted by: "Julia Maria van Tiel"
Email: segaintil@yahoo.com


Apa yang dimaksud dengan jenius? Begitu banyak kriteria yang diberikan, tidak cukup hanya memiliki tingkat IQ yang tinggi saja. Bisakah jenius itu dapat diciptakan? Bukankah itu anugrah sejak lahir?

Kursus menciptakan anak-anak jenius berkembang seperti jamur di Indonesia. Mereka dilatih selama beberapa hari dengan menggunakan metoda-metoda tertentu. Namun apakah kursus tersebut memang bisa menciptakan anak-anak seperti yang diinginkan?

Genius Mind Consultacy atau GMC Indonesia salah satunya. Badan itu memberikan kursus yang tersebar di kota-kota di Indonesia. Percaya atau tidak, kursus ini banyak pengikutnya dan katanya dapat menjadikan anak jenius. Biayanya tiga juta lima ratus rupiah dan peserta dapat mengikuti dua kali sesi serta empat kali pelatihan. Hagi salah seorang pelatih di GMC mengatakan seorang anak dapat "disulap" menjadi jenius.

Pertama kami membuat kelas segembira mungkin, terus kami melakukan aktivasi dengan suara-suara audio yang dari Jepang itu seperti aktivasi yoga. Seperti lagu rileks. Manfaatnya meningkatkan konsentrasi, daya ingat, kreativas, daya paham dan meningkatkan talenta, hormon dan karakter anak tersebut.



Singkatnya metoda yang diberikan itu adalah untuk mengaktifkan otak tengah dan memotivasi seorang anak. Namun apakah otak tengah tersebut memang dapat diaktivasi untuk menciptakan kejeniusan seseorang? Ya kata Hagi sang pelatih. Kebanyakan konsentrasi pesertanya meningkat sementara daya ingat dan karakternya bisa berubah

Namun pendapat tersebut disangkal oleh Julia Maria van Tiel, pakar anak-anak berbakat khusus yang tinggal di Belanda. Menurutnya kejeniusan seorang anak tidak bisa diciptakan begitu saja.

Ada yang percaya otak bisa diaktivasi sedemikian rupa sampai mencapai tingkat intelegensi yang luar biasa. Itu namanya pseudo science. Jadi mereka menggunakan yang disebut neurofeedback. Terapi itu seperti di Eropa atau Amerika memang ada. Tapi masih dalam bentuk riset. Hasilnya belum ada kesimpulan bahwa otak bisa diaktivasi sedemikian rupa dengan menggunakan alat yang disebut neurofeedback.



Digunakan di klinik
Julia Maria melanjutkan, di Belanda sendiri alat tersebut memang digunakan di klinik-klinik tapi masih dalam bentuk terapi alternatif. Hanya untuk mengajak anak untuk bisa memajukan konsentrasi sementara saja pada waktu dia melakukan sesi-sesi terapi tersebut.

Dalam promosinya lembaga pelatihan itu mengatakan bahwa hal tersebut berdasarkan penelitian ilmiah. Diakui juga oleh lembaga kursus itu sudah diakui di luar negeri. Dan itu menggiurkan sebagian besar orang tua yang memang ingin meningkatkan prestasi anaknya.

Kejeniusan seseorang itu diciptakan sejak lahir dan tidak bisa diciptakan begitu saja. Itu tidak betul dan tidak ilmiah. "Pertama, tidak ada dalam dunia ilmiah melakukan aktivasi otak tengah. Kedua jenius itu tidak bisa didorong. Jenius itu didapatkan dari lahir."

Mengapa kursus-kursus itu bertumbuhan bak jamur di musim hujan. Tidak adakah aturan yang melarang agar kursus itu tersebut dapat dihentikan? Di Indonesia, aku Julia Maria tidak ada lembaga satupun yang bisa digunakan untuk menjadi acuan. Di Belanda sendiri ada dua, yaitu Skepsis dan Kwakzalverij. Lembaga inilah yang mengatakan itu bukanlah scientific. Ini adalah alternatif. Jadi masyarakat akan bisa menentukan saya bisa pergi kemana?



Petisi
Akhirnyalah Julia Maria van Tiel bersama dengan praktisi lainnya mengeluarkan sebuah petisi yang menyatakan bahwa anak jenius tidak dapat diciptakan begitu saja.

Kita mengeluarkan petisi ini sebagai rasa tanggungjawab sebagai kelompok orang tua yang mengetahui sekali apa itu masalah anak jenius. Jadi dengan demikian kita memiliki rasa tanggungjawab sosial kepada sesama orang tua agar orang tua juga jangan sampai terkelabui.

Kendati demikian Hagi, sang trainer tidak menyerah begitu saja. Meskipun sudah diserang tampaknya ia yakin pihaknya berada di jalan yang benar.

sumber: http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/mungkinkah-menciptakan-kejeniusan

Guru Swasta Perlu Payung Hukum Khusus

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.





JAKARTA, KOMPAS.com - Dari segi kewajiban mendidik, guru swasta dan guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS) di sekolah-sekolah negeri tidak berbeda. Perbedaan yang menonjol adalah sikap diskriminatif terhadap guru-guru swasta yang kerap dipandang sebelah mata.

"Di swasta, jika UN tidak lulus maka guru yang disalahkan, dari segi kewajiban kami dengan guru negeri sama yaitu memberikan pengajaran terbaik kepada anak didik, namun dari segi hak kami tidak sama. Dari segi kesejahteraan antara guru swasta dan negeri tidak imbang," ungkap Fatah Yasin, Koordinator Presidium Guru Swasta, Rabu (24/11/2010) , di Gedung MPR/DPR RI Senayan, Jakarta.

Untuk itu, lanjut Fatah, pihaknya meminta Komisi X DPR RI membuat peraturan pemerintah (PP) khusus untuk guru swasta Indonesia. Guru swasta saat ini membutuhkan payung berkenaan nasibnya dan profesinya. "Kami hanya mengharapkan agar kesejahteraan dan status guru swasta dan negeri bisa disamakan," tandas Fatah.

Fatah menambahkan, seharusnya tidak ada lagi pelabelan guru swasta, guru negeri, atau guru honorer. Ia berharap, semua guru sama, yaitu guru Indonesia. Fatah mengatakan, saat ini jumlah guru honorer swasta di Indonesia mencapai 1.100.000 orang. Dari jumlah tersebut, guru yang memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) baru 600.000 orang.



Ifa, Koordinator Serikat Guru Jakarta (SGJ) mengatakan, guru honorer perlu diakomodir, khususnya yang terhitung sejak 2006 ke atas. Ia mengatakan, kesejahteraan guru honorer perlu juga diperhatikan, minimal kesejahteraannya disamakan. E Baskoro Poedjinoegroho, Pembina Kolese Kanisius, menimpali, bahwa saat ini pihaknya dan guru-guru swasta sedang melaporkan kasus diskriminasi terhadap guru swasta kepada Mahkamah Konstitusi (MK). "Kami sudah menggugat ke MK dan saat ini sudah memasuki sidang ketiga," ucap Baskoro. "Kami berharap, Komisi X ikut mendukung upaya ini," tambahnya.

Sementara itu, Anggota Komisi X- DPR RI, Raihan Iskandar mengatakan, untuk menangani kasus guru swasta telah dibentuk Panita Kerja (Panja) gabungan. Komisi X berjanji akan memperjuangkan masukan para guru tersebut. "Kami juga sudah meminta Mendiknas agar memberikan pos atau anggaran yang sudah terencana untuk guru-guru swasta ini," lanjut Raihan.

http://edukasi.kompas.com/read/2010/11/24/21001241/Guru.Swasta.Perlu.Payung.Hukum.Khusus-14

Menggugat Pencapaian MDGs

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.




sumber: http://www.suarapembaruan.com/tajukrencana/menggugat-pencapaian-mdgs/76

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa di hadapan Sidang Majelis UmumPerserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai tujuan pembangunan millennium (millennium development goals/MDGs), di New York, awal pekan ini, mengungkapkan klaim pemerintah bisa lebih cepat mencapai delapan sasaran yang disepakati dalam MDGs. Sejumlah langkah penting yang dilakukan pemerintah, diuraikan oleh Menlu, mencakup dua hal pokok, yakni pendidikan dan kesehatan.

Ada delapan sasaran yang dituangkan dalam MDGs. Delapan sasaran itu meliputi pengentasan kemiskinan, pemerataan pendidikan dasar, pemberdayaan perempuan, mengurangi tingkat kematian anak, meningkatkan taraf kesehatan ibu, mengatasi ancaman HIV/AIDS dan penyakit mematikan lainnya, menjamin daya dukung lingkungan hidup, serta mengembangkan kemitraan global. Masing-masing tujuan, dilengkapi dengan parameter kuantitatif, untuk dapat dicapai pada 2015.

Terkait klaim Pemerintah Indonesia di hadapan forum internasional, kita perlu mengingatkan bahwa kenyataan di lapangan tidaklah demikian. Sebaliknya, menyimak pencapaian sementara selama sepuluh tahun, muncul keraguan Pemerintah Indonesia untuk merealisasikan semua target kuantitatif tersebut. Pasalnya, perkembangan pencapaian masing-masing tujuan terasa lambat, bahkan ada yang justru menurun pencapaiannya. Misalnya, pada indikator angka kematian ibu saat melahirkan. Jika saat pencanangan MDGs sepuluh tahun silam, rasio kematian ibu di Indonesia mencapai 225 kematian pada setiap 100.000 kelahiran hidup, pada 2010 rasio untuk justru memburuk menjadi 228 kematian. Padahal, pada 2015 ditargetkan menjadi 110 kematian per 100.000 kelahiran hidup.



Sedangkan, pada indikator pemerataan pendidikan dasar, perkembangannya terasa lamban.* Pada 2000 masih tercatat 1.091.739 anak putus sekolah, kemajuan yang dicapai pada 2010 masih sangat sedikit, yakni 1.085.138 anak. Pemerintah menargetkan pada 2015 tidak ada lagi anak putus sekolah. Demikian halnya jumlah penduduk miskin, pada 2000 sebanyak 18,8 persen dan sepuluh tahun berselang penurunannya belum signifikan, yakni menjadi 13 persen. Padahal, lima tahun lagi harus menjadi 7,5 persen sebagaimana ditargetkan program MDGs. Melihat statistik pencapaian MDGs selama 10 tahun tersebut, wajar jika banyak kalangan meragukan kemampuan pemerintah merealisasikan delapan MDGs. Kelemahan utama, tampaknya masih belum beringsut dari lemahnya implementasi.

Sebab, secara konseptual, Indonesia sangat siap menyambut era pembangunan milenium. Kebijakan pemerintah, khususnya politik anggaran, boleh dikata on the right track menuju pencapaian MDGs. Anggaran untuk pendidikan, misalnya, konstitusi memandatkan harus 20 persen dari belanja APBN. Anggaran kesehatan juga cukup besar, termasuk di dalamnya program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Pemerintah pun meluncurkan sejumlah program seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, dan Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang kesemuanya diarahkan untuk mengangkat rakyat dari kemiskinan.

Namun, kebijakan yang sejatinya sangat mendukung pencapaian MDGs tersebut, banyak karut marut dalam pelaksanaannya. Kebijakan anggaran pendidikan, misalnya, besaran 20 persen sebagaimana amanat konstitusi, ternyata tidak sepenuhnya dikelola Kemendiknas, yang sangat diperlukan untuk mendukung peningkatan akses pendidikan dasar bagi masyarakat, tetapi justru disebar ke banyak kementerian dan lembaga, dan digunakan sebagai sumber dana pendidikan kedinasan. Akibatnya, akses pendidikan dasar belum dirasakan oleh semua anak bangsa. Demikian pula pelaksanaan program Jamkesmas dan BLT, banyak yang tidak tepat sasaran. Banyak penduduk miskin yang luput dari program tersebut, akibat ketidakmampuan aparat menjangkaunya, dan lebih ironis lagi karena penyimpangan di lapangan.



Kenyataan tersebut pada akhirnya memunculkan kekhawatiran yang lebih dalam, yakni menyangkut aspek kualitas dari segala perbaikan yang dicapai negeri ini. Harus disadari, pencapaian target kuantitatif tidaklah menjamin perbaikan kehidupan manusia secara hakiki. Terkait hal itu, MDGs harus dipahami sebagai parameter statistik. Dengan demikian, pertanyaan terbesar adalah sejauh mana kualitas dari pencapaian MDGs tersebut untuk mewujudkan taraf kehidupan yang lebih baik seturut hakikat kemanusiaan.

Inilah tugas berat yang dihadapi pemerintah dan kita semua saat ini dan ke depan. Sebab, tak bisa dimungkiri, data statistik kita banyak kontradiktif dengan kenyataan di lapangan. Kini, masih tersisa lima tahun bagi pemerintah untuk mencapai target yang ditetapkan. Bagaimana caranya? Salah satu yang bisa dilakukan adalah mendorong APBN dan APBD sebagai lokomotif peningkatan taraf kehidupan masyarakat. Pemerintah perlu mengalokasikan dana yang besar pada program-program yang seturut dengan delapan sasaran MDGs, bahkan jika mungkin diperluas. Dengan alokasi dana yang mencukupi, langkah selanjutnya adalah mempertajam dan mengakselerasi implementasi program MDGs, dengan melibatkan secara intensif semua pihak, terutama pemerintah di daerah.

Permainan untuk Balita Anda (klik play, pilih lagu di kiri, lalu tekan sembarang tuts)