Selasa, 28 Desember 2010

Menggugat Pencapaian MDGs

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.




sumber: http://www.suarapembaruan.com/tajukrencana/menggugat-pencapaian-mdgs/76

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa di hadapan Sidang Majelis UmumPerserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai tujuan pembangunan millennium (millennium development goals/MDGs), di New York, awal pekan ini, mengungkapkan klaim pemerintah bisa lebih cepat mencapai delapan sasaran yang disepakati dalam MDGs. Sejumlah langkah penting yang dilakukan pemerintah, diuraikan oleh Menlu, mencakup dua hal pokok, yakni pendidikan dan kesehatan.

Ada delapan sasaran yang dituangkan dalam MDGs. Delapan sasaran itu meliputi pengentasan kemiskinan, pemerataan pendidikan dasar, pemberdayaan perempuan, mengurangi tingkat kematian anak, meningkatkan taraf kesehatan ibu, mengatasi ancaman HIV/AIDS dan penyakit mematikan lainnya, menjamin daya dukung lingkungan hidup, serta mengembangkan kemitraan global. Masing-masing tujuan, dilengkapi dengan parameter kuantitatif, untuk dapat dicapai pada 2015.

Terkait klaim Pemerintah Indonesia di hadapan forum internasional, kita perlu mengingatkan bahwa kenyataan di lapangan tidaklah demikian. Sebaliknya, menyimak pencapaian sementara selama sepuluh tahun, muncul keraguan Pemerintah Indonesia untuk merealisasikan semua target kuantitatif tersebut. Pasalnya, perkembangan pencapaian masing-masing tujuan terasa lambat, bahkan ada yang justru menurun pencapaiannya. Misalnya, pada indikator angka kematian ibu saat melahirkan. Jika saat pencanangan MDGs sepuluh tahun silam, rasio kematian ibu di Indonesia mencapai 225 kematian pada setiap 100.000 kelahiran hidup, pada 2010 rasio untuk justru memburuk menjadi 228 kematian. Padahal, pada 2015 ditargetkan menjadi 110 kematian per 100.000 kelahiran hidup.



Sedangkan, pada indikator pemerataan pendidikan dasar, perkembangannya terasa lamban.* Pada 2000 masih tercatat 1.091.739 anak putus sekolah, kemajuan yang dicapai pada 2010 masih sangat sedikit, yakni 1.085.138 anak. Pemerintah menargetkan pada 2015 tidak ada lagi anak putus sekolah. Demikian halnya jumlah penduduk miskin, pada 2000 sebanyak 18,8 persen dan sepuluh tahun berselang penurunannya belum signifikan, yakni menjadi 13 persen. Padahal, lima tahun lagi harus menjadi 7,5 persen sebagaimana ditargetkan program MDGs. Melihat statistik pencapaian MDGs selama 10 tahun tersebut, wajar jika banyak kalangan meragukan kemampuan pemerintah merealisasikan delapan MDGs. Kelemahan utama, tampaknya masih belum beringsut dari lemahnya implementasi.

Sebab, secara konseptual, Indonesia sangat siap menyambut era pembangunan milenium. Kebijakan pemerintah, khususnya politik anggaran, boleh dikata on the right track menuju pencapaian MDGs. Anggaran untuk pendidikan, misalnya, konstitusi memandatkan harus 20 persen dari belanja APBN. Anggaran kesehatan juga cukup besar, termasuk di dalamnya program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Pemerintah pun meluncurkan sejumlah program seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, dan Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang kesemuanya diarahkan untuk mengangkat rakyat dari kemiskinan.

Namun, kebijakan yang sejatinya sangat mendukung pencapaian MDGs tersebut, banyak karut marut dalam pelaksanaannya. Kebijakan anggaran pendidikan, misalnya, besaran 20 persen sebagaimana amanat konstitusi, ternyata tidak sepenuhnya dikelola Kemendiknas, yang sangat diperlukan untuk mendukung peningkatan akses pendidikan dasar bagi masyarakat, tetapi justru disebar ke banyak kementerian dan lembaga, dan digunakan sebagai sumber dana pendidikan kedinasan. Akibatnya, akses pendidikan dasar belum dirasakan oleh semua anak bangsa. Demikian pula pelaksanaan program Jamkesmas dan BLT, banyak yang tidak tepat sasaran. Banyak penduduk miskin yang luput dari program tersebut, akibat ketidakmampuan aparat menjangkaunya, dan lebih ironis lagi karena penyimpangan di lapangan.



Kenyataan tersebut pada akhirnya memunculkan kekhawatiran yang lebih dalam, yakni menyangkut aspek kualitas dari segala perbaikan yang dicapai negeri ini. Harus disadari, pencapaian target kuantitatif tidaklah menjamin perbaikan kehidupan manusia secara hakiki. Terkait hal itu, MDGs harus dipahami sebagai parameter statistik. Dengan demikian, pertanyaan terbesar adalah sejauh mana kualitas dari pencapaian MDGs tersebut untuk mewujudkan taraf kehidupan yang lebih baik seturut hakikat kemanusiaan.

Inilah tugas berat yang dihadapi pemerintah dan kita semua saat ini dan ke depan. Sebab, tak bisa dimungkiri, data statistik kita banyak kontradiktif dengan kenyataan di lapangan. Kini, masih tersisa lima tahun bagi pemerintah untuk mencapai target yang ditetapkan. Bagaimana caranya? Salah satu yang bisa dilakukan adalah mendorong APBN dan APBD sebagai lokomotif peningkatan taraf kehidupan masyarakat. Pemerintah perlu mengalokasikan dana yang besar pada program-program yang seturut dengan delapan sasaran MDGs, bahkan jika mungkin diperluas. Dengan alokasi dana yang mencukupi, langkah selanjutnya adalah mempertajam dan mengakselerasi implementasi program MDGs, dengan melibatkan secara intensif semua pihak, terutama pemerintah di daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Permainan untuk Balita Anda (klik play, pilih lagu di kiri, lalu tekan sembarang tuts)