Rabu, 20 Juli 2011

Pendidikan Moral di SD Jepang

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pendidikan online interaktif untuk pelajar.

oleh: Junanto Herdiawan






Rak Sepatu di SD Jepang / photo: Junanto

Anak saya bersekolah di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) kota Tokyo, Jepang. Pekan lalu, saya diundang untuk menghadiri acara ‘open school’ di sekolah tersebut. Kalau di Indonesia, sekolah ini mungkin seperti SD Negeri yang banyak tersebar di pelosok nusantara. Biaya sekolahnya gratis dan lokasinya di sekitar perumahan.

Pada kesempatan itu, orang tua diajak melihat bagaimana anak-anak di Jepang belajar. Kami diperbolehkan masuk ke dalam kelas, dan melihat proses belajar mengajar mereka. Saya bersemangat untuk hadir, karena saya meyakini bahwa kemajuan suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari bagaimana bangsa tersebut mendidik anak-anaknya.

Melihat bagaimana ketangguhan masyarakat Jepang saat gempa bumi lalu, bagaimana mereka tetap memerhatikan kepentingan orang lain di saat kritis, dan bagaimana mereka memelihara keteraturan dalam berbagai aspek kehidupan, tidaklah mungkin terjadi tanpa ada kesengajaan. Fenomena itu bukan sesuatu yang terjadi by default, namun pastilah by design. Ada satu proses pembelajaran dan pembentukan karakter yang dilakukan terus menerus di masyarakat.

Dan saat saya melihat bagaimana anak-anak SD di Jepang, proses pembelajaran itu terlihat nyata. Fokus pendidikan dasar di sekolah Jepang lebih menitik beratkan pada pentingnya ‘Moral’. Moral menjadi fondasi yang ditanamkan secara sengaja pada anak-anak di Jepang. Ada satu mata pelajaran khusus yang mengajarkan anak tentang moral. Namun nilai moral diserap pada seluruh mata pelajaran dan kehidupan.

Sejak masa lampau, tiga agama utama di Jepang, Shinto, Buddha, dan Confusianisme, serta spirit samurai dan bushido, memberi landasan bagi pembentukan moral bangsa Jepang. Filosofi yang diajarkan adalah bagaimana menaklukan diri sendiri demi kepentingan yang lebih luas. Dan filosofi ini sangat memengaruhi serta menjadi inti dari sistem nilai di Jepang. Anak-anak diajarkan untuk memiliki harga diri, rasa malu, dan jujur. Mereka juga dididik untuk menghargai sistem nilai, bukan materi atau harta.


Suasana kelas dan orang tua / photo: Junanto


Di sekolah dasar, anak-anak diajarkan sistem nilai moral melalui empat aspek, yaitu Menghargai Diri Sendiri (Regarding Self), Menghargai Orang Lain (Relation to Others), Menghargai Lingkungan dan Keindahan (Relation to Nature & the Sublime), serta menghargai kelompok dan komunitas (Relation to Group & Society). Keempatnya diajarkan dan ditanamkan pada setiap anak sehingga membentuk perilaku mereka.

Pendidikan di SD Jepang selalu menanamkan pada anak-anak bahwa hidup tidak bisa semaunya sendiri, terutama dalam bermasyarakat. Mereka perlu memerhatikan orang lain, lingkungan, dan kelompok sosial. Tak heran kalau kita melihat dalam realitanya, masyarakat di Jepang saling menghargai. Di kendaraan umum, jalan raya, maupun bermasyarakat, mereka saling memperhatikan kepentingan orang lain. Rupanya hal ini telah ditanamkan sejak mereka berada di tingkat pendidikan dasar. Empat kali dalam seminggu, anak saya kebagian melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Ia harus membersihkan dan menyikat WC, menyapu dapur, dan mengepel lantai. Setiap anak di Jepang, tanpa kecuali, harus melakukan pekerjaan-pekerjaan itu. Akibatnya mereka bisa lebih mandiri dan menghormati orang lain.

Kebersahajaan juga diajarkan dan ditanamkan pada anak-anak sejak dini. Nilai moral jauh lebih penting dari nilai materi. Mereka hampir tidak pernah menunjukkan atau bicara tentang materi. Anak-anak di SD Jepang tidak ada yang membawa handphone, ataupun barang berharga. Berbicara tentang materi adalah hal yang memalukan dan dianggap rendah di Jepang.

Keselarasan antara pendidikan di sekolah dengan nilai-nilai yang ditanamkan di rumah dan masyarakat juga penting. Apabila anak di sekolah membersihkan WC, maka otomatis itu juga dikerjakan di rumah. Apabila anak di sekolah bersahaja, maka orang tua di rumah juga mencontohkan kebersahajaan. Hal ini menjadikan moral lebih mudah tertanam dan terpateri di anak. Dengan kata lain, orang tua tidak ‘membongkar’ apa yang diajarkan di sekolah oleh guru. Mereka justru mempertajam nilai-nilai itu dalam keseharian sang anak.


Menyiapkan Makan Siang utk teman2nya / foto: Junanto

Saat makan siang tiba, anak-anak merapikan meja untuk digunakan makan siang bersama di kelas. Yang mengagetkan saya adalah, makan siang itu dilayani oleh mereka sendiri secara bergiliran. Beberapa anak pergi ke dapur  umum sekolah untuk mengambil trolley makanan dan minuman. Kemudian mereka melayani teman-temannya dengan mengambilkan makanan dan menyajikan minuman. Hal seperti ini menanamkan nilai pada anak tentang pentingnya melayani orang lain. Saya yakin, apabila anak-anak terbiasa melayani, sekiranya nanti menjadi pejabat publik, pasti nalurinya melayani  masyarakat, bukan malah minta dilayani.

Saya sendiri bukan seorang ahli pendidikan ataupun seorang pendidik. Namun sebagai orang tua yang kemarin kebetulan melihat sistem pendidikan dasar di SD Negeri Jepang, saya tercenung. Mata pelajaran yang menurut saya ‘berat’ dan kerap dipaksakan harus dihafal di SD kita, tidak terlihat di sini. Satu-satunya hafalan yang saya pikir cukup berat hanyalah huruf Kanji. Sementara, selebihnya adalah penanaman nilai.


 Mengantar minuman untuk teman / foto: Junanto

Besarnya kekuatan industri Jepang, majunya perekonomian, teknologi canggih, hanyalah ujung yang terlihat dari negeri Jepang. Di balik itu semua ada sebuah perjuangan panjang dalam membentuk budaya dan karakter. Ibarat pohon besar yang dahan dan rantingnya banyak, asalnya tetap dari satu petak akar. Dan akar itu, saya pikir adalah pendidikan dasar. Sistem pendidikan Jepang seperti di atas tadi, berlaku seragam di seluruh sekolah. Apa yang ditanamkan, apa yang diajarkan, merata di semua sekolah hingga pelosok negeri.

Mungkin di negeri kita banyak juga sekolah yang mengajarkan pembentukan karakter. Ada sekolah mahal yang bagus. Namun selama dilakukan terpisah-terpisah, bukan sebagai sistem nasional, anak akan mengalami kebingungan dalam kehidupan nyata. Apalagi kalau sekolah mahal sudah menjadi bagian dari mencari gengsi, maka satu nilai moral sudah berkurang di sana.

Di Jepang, masalah pendidikan ditangani oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olah Raga, dan Ilmu Pengetahuan Jepang (MEXT) atau disebut dengan Monkasho. Pemerintah Jepang mensentralisir pendidikan dan mengatur proses didik anak-anak di Jepang. MEXT menyadari bahwa pendidikan tak dapat dipisahkan dari kebudayaan, karena dalam proses pendidikan, anak diajarkan budaya dan nilai-nilai moral.

Mudah-mudahan dikeluarkannya kata ‘Budaya’ dari Departemen ‘Pendidikan dan Kebudayaan’ sehingga menjadi Departemen ‘Pendidikan Nasional’ di negeri kita, bukan berarti bahwa pendidikan kita mulai melupakan Budaya, yang di dalamnya mencakup moral dan budi pekerti. Hakikat pendidikan dasar adalah juga membentuk budaya, moral, dan budi pekerti, bukan sekedar menjadikan anak-anak kita pintar dan otaknya menguasai ilmu teknologi.

Apabila halnya demikian, kita tak perlu heran kalau masih melihat banyak orang pintar dan otaknya cerdas, namun miskin moral dan budi pekerti. Mungkin kita terlewat untuk menginternalisasi nilai-nilai moral saat SD dulu. Mungkin waktu kita saat itu tersita untuk menghafal ilmu-ilmu ‘penting’ lainnya. Demikian sekedar catatan saya dari menghadiri pertemuan orang tua di SD Jepang. Salam.

Sumber: http://edukasi.kompasiana.com/2011/07/03/moral-di-sd-jepang


Junanto Herdiawan adalah Ekonom dan penggiat ilmu filsafat. Hobi jalan-jalan dan makan-makan. Saat ini tinggal dan bekerja di Tokyo. Bertugas mencermati dinamika ekonomi Jepang, Cina, Korea, Taiwan, dan Hong Kong.

Benarkah Semakin Berat, Semakin Hebat?

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pendidikan online interaktif untuk pelajar.





Oleh: Rhenald Kasali

Sebagian besar pembaca, mungkin dibesarkan dalam kultur ekonomi yang sulit sehingga kaya dengan berbagai peribahasa seperti: Hemat Pangkal Kaya dan Rajin Pangkal Pandai. Kita bermain layang-layang di antara pematang sawah yang tiada batasnya, menangkap belut di antara lumpur-lumpur sungai yang  airnya bening, bermain bersama anak-anak kampung dengan tiada henti canda, tawa, dan keringat.

Bagaimana anak-anak kita sekarang? Lahan-lahan kosong telah berganti menjadi kebun sawit atau perumahan mewah. Tak ada lagi lapangan badminton, arena bermain layang-layang dan air yang mengalir bening. Pestisida dan pupuk kimia merusak tanah. Tapi anak-anak punya mainan baru, Facebook,  Twitter, online games, warnet, dan bimbel. Pergaulan fisik diganti oleh dunia maya, statistik, dan ilmu berhitung diganti kalkulator dan software. Dulu kita hanya belajar sembilan mata pelajaran sehingga masih banyak waktu untuk bermain. Bagaimana anak-anak kita?

Bukannya dikurangi, tetapi semakin hari yang dipaksakan masuk ke dalam otak anak-anak kita semakin banyak. Sewaktu saya menulis "Sekolah Untuk Apa?" minggu lalu, saya menyebut anak saya di kelas sepuluh diharuskan menuntaskan 16 mata pelajaran, seorang ibu menyurati saya karena anaknya yang belajar di MI diwajibkan tuntas 23 mata pelajaran. Sementara di New Zealand dan banyak negara maju anak-anak sekolah hanya mengambil 6 mata pelajaran. Ketika mereka menganut spirit "The Power of Simplicity" , kita justru tenggelam dalam spirit benang kusut, "kalau terlalu mudah tidak akan melahirkan kehebatan".

Bukan hanya itu, di banyak negara selain dirampingkan, mata ajar wajib juga dibatasi hanya dua, selebihnya dijadikan pilihan yang dikaitkan dengan karier masa depan. Bagaimana di sini? Mata ajar yang banyak itu adalah mata ajar yang sakral, wajib diambil semuanya. Kesakralan itu sesungguhnya hanya semu saja, karena mata ajar agama disamakan dengan berhitung dan  sejarah ala kita, yaitu ala hafal-hafalan. Bukan belajar dari sejarah, tetapi pengetahuan tentang sejarah. Bukan akhlak dan moral dalam beragama, melainkan hafalan ayat. Dan bukan logika matematika, melainkan bagaimana menurunkan rumus. Lengkaplah penderitaan anak-anak kita.



Ubah Cara Pandang

Namun sewaktu saya bercerita bagaimana sekolah di Belanda, Cina, dan New Zealand, ada juga orang tua yang protes. Mereka tak menginginkan sekolahnya dibuat lebih mudah. “Sekolah itu memang harus sulit dan anak-anak harus berjuang,”. Kalau dibuat mudah, bagi orang tua ini, maka sekolah tak akan menghasilkan apa-apa. Saya dapat mengerti pandangan ini karena anaknya termasuk anak yg cerdas, tuntas semua mata pelajaran dengan nilai tinggi. Namun saya kurang mengerti bagaimana orangtua rela menyita seluruh waktu masa muda anaknya hanya untuk belajar.

Mendidik bukanlah untuk melahirkan orang-orang yang bingung, tahu semua tapi selalu bertanya "saya harus melakukan apa?" ini adalah realita, semakin banyak ditemui orang yang tak bisa bekerja dengan prioritas. Anda mungkin pernah mendengar ucapan Stephen Covey, "Dahulukanlah Yang Utama". Atau seperti kata Maxwell, "Bekerjalah dengan prioritas karena 80% hasil yang engkau capai hanya berasal dari 20% upayamu." Orang yang ingin menuntaskan semua tugas (dan banyak) bisa bagus di ijazah tapi bisa bingung dalam kehidupan. Kata para ulama, kesempurnaan hanyalah milik Tuhan. Tetapi seperti Michael Jackson yang sudah sempurna, manusia selalu ingin lebih sempurna lagi, sampai akhirnya rusaklah wajah, tubuh dan kesehatan jiwanya.

Saya juga kurang mengerti kalau pendidik kurang memahami bahwa talenta dan leadership merupakan kunci untuk mencapai keberhasilan hidup. Untuk itulah talenta harus diasah, diberi ruang ,dan waktu agar ia tumbuh. Leadership maupun entrepreneurship diasah dari keseharian di luar bangku sekolah. Diuji dalam interaksi kehidupan.

Tentu saya bertanya-tanya kalau pendidikan kita dibuat lebih ramping apakah benar menjadi lebih baik. Saya selalu teringat masa-masa memulai karir  sebagai penguji di program S3. Saat seorang tua, kandidat doktor diuji, yang mengajukan pertanyaan ada 13 orang hebat. Namanya juga orang hebat, pertanyaannya pasti sulit bagi seorang pemula. Tetapi Semua penguji tidak puas, kandidat digoreng ke kiri, diongseng ke kanan hingga nyaris hangus. Di ruang rapat semua menyatakan tidak puas. Sebagai doktor muda yang baru kembali dari sekolah doktor saya tak punya suara yang berarti. Saya hanya bertanya,"beginikah cara bapak-bapak menguji seorang calon doktor?"

Semua orang terdiam, dan saya pun terkejut dengan pertanyaan saya. Beberapa orang menatap tajam, karena mereka adalah mantan guru-guru saya dan terkenal di hadapan publik. Karena malu telah berta-kata bodoh, saya teruskan saja berkata jujur. Saya katakan kita harus percaya diri. Ujian dengan penguji sebanyak ini menunjukkan kita kurang pede. Lagi pula tak ada yang bisa lulus dengan ujian seperti ini. Semua dosen hanya marah-marah karena kepintarannya tak dimengerti orang lain, dan memberi saran yang saling bertentangan.

Sayapun mengatakan andaikan saya yang diuji di sini, saya berani jamin saya pun tidak akan lulus. Pertanyaan ujian terlalu luas. Di Amerika Serikat, kita hanya diuji oleh empat orang pembimbing, dan bila kita bingung, kita tidak dibantai, malah dibantu. Di Indonesia, kalau kita membantu mahasiswa kita dianggap berkolusi. Di SLTA negara-negara maju, jumlah mata ajar memang ramping, tetapi sejak remaja mereka sudah biasa membuat makalah dengan kedalaman referensi dan terbiasa bekerja dengan metode ilmiah.

Demikianlah persekolahan kita. Bukannya disederhanakan, justru dibuat menjadi lebih kompleks. Semua mata ajar kita anggap sakral. Buku ditambah. Subjek ditambah. Guru juga ditambah. Saya kadang tak habis berpikir, bagaimana kita bisa menghasilkan kehebatan dari keribetan ini.

Saya tentu tak akan protes kalau dengan sekolah yang ditempa kesulitan ini kita bisa pergi ke bulan. Fakta menunjukkan sebaliknya. Bahkan TKW yang Sekolah Dasarnya ditempuh dengan sama beratnya dengan para dokter saja hanya berakhir di ujung kesulitan. Tidakkah kita bertanya, jangan-jangan ada yang tidak beres dengan kurikulum persekolahan kita?

Saya juga bertanya-tanya, akankah anak-anak dididik dengan baik kalau hanya belajar 6 mata pelajaran seperti di New Zealand, Denmark atau negara-negara industri lainnya? Namun fakta yang saya temui, ternyata pendidikan yang hanya fokus pada enam mata pelajaran itu menempatkan pendidikan New Zealand terbaik keenam di dunia. Rasanya di sana juga tak ada siswa yang kesurupan saat ujian, apalagi contekan massal. Perlukah kita meremajakan cara berpikir kita?

 Rhenald Kasali

 Ketua Program MMUI

Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/412716/44/

Seni Memuji Anak

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pendidikan online interaktif untuk pelajar.






Oleh: Sumardiono


 Memuji anak adalah sebuah pekerjaan seni, bukan pekerjaan eksak yang bisa ditentukan rumusnya. Efektivitas pujian tak hanya ditentukan oleh cara kita memuji, tetapi juga dipengaruhi oleh karakter anak dalam merespon pujian.  Ada anak-anak yang dipuji sedikit sudah langsung bersemangat. Ada anak yang membutuhkan banyak pujian supaya semangat. Tetapi, ada juga anak-anak yang justru jadi tak semangat kalau terlalu banyak pujian.

Berikut ini beberapa tips tentang pujian kepada anak:

 *Hindari memuji berlebihan*
 Puji secukupnya. Jangan terlalu banyak. Jangan menjadi pemujaan pada anak sehingga sedikit-sedikit yang dilakukan anak, Anda langsung memujinya. Terlalu banyak pujian akan menjadikan pujian kurang berharga dan tidak bermakna. Anak juga jadi malas untuk mengembangkan potensi dirinya.

 *Puji untuk usaha anak*
 Fokuskan pada usaha, bukan hanya pada hasil. Terkadang, hasil yang diperoleh anak belum sempurna, tetapi niat dan usahanya bagus. Puji perjuangan dan usaha anak. "Terima kasih sudah menolong Mama membereskan tempat tidur."

 *Puji secara spesifik, bukan umum*
 Berikan pujian untuk usaha yang dilakukan anak, bukan untuk anaknya sendiri. Lebih baik mengatakan pujian "prakarya buatanmu keren" daripada memuji "kamu anak yang pandai".



 *Pujian bukan toleransi kegagalan*
 Ketika anak gagal, pujian pada usaha anak dapat menolong anak untuk mengatasi kekecewaannya. Tetapi pujian tetap harus dapat berfungsi memicu anak untuk menjadi lebih baik di waktu yang lain. Jangan sampai, anak merasa bahwa keberhasilan dan kegagalan adalah dua hal yang sama saja.

 *Pujian tak hanya kata-kata*
 Pujian tak hanya diwujudkan dengan kata-kata verbal. Pujian bisa ditunjukkan dengan acungan jempol, tepukan bahu, senyuman, belaian di rambut, dan sebagainya. Walaupun Anda tak mengatakan apa-apa, anak tahu bahwa Anda sedang menunjukkan pujian Anda.

 *Dorong anak memuji orang lain*
 Supaya anak tak egois dan hanya berfokus pada dirinya sendiri, perlihatkan contoh dengan memuji anak lain atau karya lain di depan anak Anda. Lakukan pujian kepada siapapun yang berhak dipuji: pasangan, adik, tetangga, pembantu, atau siapapun. Sesekali minta anak untuk berpendapat dan mengapresiasi karya/prestasi anak lain.

 (Sumber: http://rumahinspirasi.com/homeschooling/seni-memuji-anak)

Museum dan Pentingnya Rekaman Sejarah Kehidupan Bangsa yang Memikat Hati

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pendidikan online interaktif untuk pelajar.






Oleh: Hernowo

Selama seminggu, sejak Selasa, 12 Juli lalu, anak perempuan saya mendapat kesempatan berkunjung ke Korea Selatan. Haula Luthfia, demikian nama anak saya, tergabung dalam ALSA (Asian Law Students Association). Bersama-sama rekan-rekannya yang lain di ALSA, dia menghadiri sidang WIPO (World Intellectual Property Organization) di Seoul.

Sejak tiba di Seoul, anak saya rajin mengirim e-mail kepada saya untuk mengisahkan pengalaman-barunya di Seoul. Pada hari ketiga, saya diberitahu bahwa dia terpilih menjadi salah satu speaker  terbaik di WIPO Assembly. Saya tidak tahu persis tentang kabar menggembirakan yang disampaikannya tersebut. Semoga bermanfaat baginya kelak. Saya lebih tertarik ceritanya tentang museum yang dia kunjungi di Seoul:

“Hari ini aku acaranya mengunjungi Korean Museum War,” tulis anak saya. Itu museum tentang sejarah Korea Selatan ketika terjadi perang antara Korut dan Korsel. Bagaimana perebutan wilayahnya, situasi saat perang, hingga keadaannya saat ini. “Museumnya benar-benar menarik, Pa. Sepertinya orang-orang Korea senang sekali membuat replika kejadian-kejadian bersejarah di negara mereka.”

Membaca cerita anak saya, tiba-tiba kenangan ketika saya mengunjungi Imperial War Museum, pada akhir 1997, di London pun muncul secara sangat jelas. Kebetulan, saya juga menuliskan pengalaman saya sewaktu berada di museum perang di London tersebut. Saya bahkan merasakan benar bagaimana Blitzkrieg  terjadi. Suara dentuman bom yang berjatuhan dan bergoyangnya replika rumah yang saya tempati saat itu. Juga bagaimana film yang menayangkan kekejaman perang yang terus diputar setiap hari, sepanjang waktu, membuat saya merenung. Museum itu juga telah menjadi tempat belajar bagi anak-anak sekolah.

“Di museum ini juga,” lanjut anak saya, “dibuat berbagai macam replika situasi perang antara Korut dengan Korsel. Mereka membuatnya sangat apik. Tidak hanya replika, mereka juga memutar berbagai video tentang perang tersebut. Aku langsung mengingat keadaan Indonesia, Pa. Sayang sekali, Indonesia tidak mengabadikan sejarah-sejarah yang ada. Kalaupun ada, museum-museum yang ada saat  ini kurang terawat sehingga membuat orang-orang Indonesia malas mengunjunginya.”



 Saya tentu merasakan apa yang dirasakan oleh anak saya. Kita, bangsa Indonesia, tidak diberi kesempatan untuk mengenang (baca: menghargai masa lalu). Mengenang  di sini bukan untuk kembali ke masa lalu atau memujanya, melainkan bagaimana kita yang hidup saat ini mampu mengaitkan kehidupan masa kini (dan juga masa depan) dengan sejarah kita. Bagaimana Indonesia terbentuk dan betapa negara yang kita cintai ini, Indonesia, tidak hadir begitu saja.

“Setelah dari Korean War Museum, kami mengunjungi General Assembly Museum. Ini semacam museum gedung DPR di Korea Selatan. Ada satu hal yang sangat menarik perhatianku di sini. Mereka sengaja membuat museum ini dengan tujuan agar orang-orang Korsel bisa dikenalkan kepada hal-hal yang berbau politik sejak dini. Memang agak membosankan sih tempatnya, karena hanya terdiri dari  gambar-gambar ketua parlemen dari periode ke periode, sistem parlemen di sana, replika ruangan sidang, dll. Tetapi, mereka membangun ruangan-ruangan khusus yang dibuat untuk anak-anak SD. Di ruangan-ruangan itu mereka bisa belajar sambil bermain. Sungguh ide yang menarik.”

 Ya, kapan bangsa kita punya ide semenarik itu ya?[]

Permainan untuk Balita Anda (klik play, pilih lagu di kiri, lalu tekan sembarang tuts)