Senin, 26 Juli 2010

Encouragement... Dorongan... Dukungan...

Segera bergabung di www.indi-smart.com






Encouragement
oleh Rhenald Kasali.

Lima belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah
sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya,
karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah
diberi nilai E (excellent) yang artinya sempurna, hebat, bagus
sekali.Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar
bahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah
ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang
terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.
Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah. Rupanya
karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan
diberi nilai buruk, malah dipuji.Ada apa?Apa tidak salah memberi
nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja
sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.

Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya
singkat. "Maaf Bapak dari mana?" "Dari Indonesia," jawab saya. Dia pun
tersenyum.

Budaya Menghukum
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup
saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun
masyarakat. "Saya mengerti", jawab ibu guru yang wajahnya mulai
berkerut, namun tetap simpatik itu. "Beberapa kali saya bertemu ayah-
ibu dari Indonesia yang anak-anaknya dididik di sini," lanjutnya. "Di
negeri Anda, guru sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini
bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju.
Encouragement! "Dia pun melanjutkan argumentasinya. "Saya sudah 20
tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun anak sebesar itu, baru
tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat
menjamin, ini adalah karya yang hebat", ujarnya menunjuk karangan
berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.

Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat
mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita. Saya teringat betapa
mudahnya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai "A", dari
program master hingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus
menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para
penguji yang siap menerkam. Saat ujian doktor saya pun dapat
melewatinya dengan mudah. Pertanyaan mereka memang sangat serius dan
membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat
bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut
menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu
jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan
menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian
penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan
kekurangan penuh keterbukaan.

Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya
saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut "menelan"
mahasiswanya yang duduk di bangku ujian. Ketika seseorang penguji atau
promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah,
tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan kebaikan itu
ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar
biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut
hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan
encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga,
kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat
betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga
menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.

Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak
didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi
penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel.
Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan
karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.
Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya.
"Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita
yang sudah jauh di depan," ujarnya dengan penuh kesungguhan.

Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis
dalam bentuk verbal. Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya
mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah,
melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras,
seperti berikut. "Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya
dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang
berarti." Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan
mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah
telah memberi penilaian yang tidak objektif. Dia pernah protes
menerima nilai E yang berarti Excellent (sempurna), tetapi saya
mengatakan "gurunya salah". Kini saya melihatnya dengan kacamata yang
berbeda.

Melahirkan Kehebatan
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan
hambatan atau rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi
yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan
bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan
keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan
dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...; Kalau...; Nanti...; dan
tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan
rapor di sekolah. Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah
membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di pihak lain dia juga bisa
mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru
dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis,
melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.
Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang
didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan
manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering
saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau
bodoh. Tetapi ada juga orang yang tambah pintar dan ada orang yang
tambah bodoh. Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan,
bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk
maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.

Sumber : Sindo, Kamis 15 Juli 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Permainan untuk Balita Anda (klik play, pilih lagu di kiri, lalu tekan sembarang tuts)