Jumat, 24 September 2010

Jangan Bangga Jadi Guru "Killer"

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.






sumber: http://www.klubguru .com/2-view. php?subaction= showfull& id=1285250752& archive=& start_from= &ucat=1&




*JAKARTA, KOMPAS.com* — Metode pendidikan Indonesia yang mengutamakan
pemberian nilai buruk pada siswa sebagai salah satu bentuk hukuman
menjadikan anak-anak Indonesia yang cerdas menjadi tidak percaya diri.
Padahal, seharusnya sistem pemberian nilai yang tepat ialah memberikan
nilai sebagai wujud memberi semangat, seperti yang dilakukan di negara maju.
Hal itu diungkapkan Prof Rhenald Kasali, PhD, Guru Besar Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia (UI), di sela-sela acara Education Fair SMA Kanisius,
Jakarta, Kamis (23/9/2010).

Menurut Rhenald, keadaan ini masih terus berlaku di Indonesia. "Sampai hari
ini dosen atau guru masih melakukan seperti itu. Jadi, kalau orang enggak
bisa, enggak dibantu cari jalan keluarnya, tapi malah dibikin jadi panik,
dibuat makin tidak mengerti dengan dikasih nilai jelek. Rasanya ada
kebanggaan jadi dosen killer," katanya.

Rhenald melanjutkan, di luar negeri justru kebalikannya. "Di negara maju
(Amerika), anak saya bahasa Inggrisnya jelek justru dikasih nilai exellent.
Tujuannya mendorong memberikan kesempatan sehingga akhirnya dia menjadi
lebih percaya diri. Metode mereka (sekolah luar negeri) ialah orang
di-encourage supaya bersemangat dan akhirnya mau menjadi exellent," katanya.




Apabila Indonesia menerapkan metode ini, dampaknya sangat besar bagi murid
karena mereka akan menjadi lebih percaya diri. "Sebenarnya anak-anak kita
pintar, cuma tidak punya rasa percaya diri karena yang nilainya A kan hanya
5 sampai 6 persen, sementara yang 90 persen nilainya rata-rata," kata
Rhenald.

Kondisi ini tidak terlepas dari perilaku dosen atau guru di Indonesia yang
menerapkan metode model penjajah. "Perilaku dosen atau guru-guru di
Indonesia terjadi karena belajar dari dosen-dosen sebelumnya, model penjajah
bahwa anak itu bodoh, anak itu tertindas," katanya.

Selain itu, banyak orang menjadi guru atau dosen bukan karena panggilan
diri, melainkan karena tidak punya pilihan dalam hidup. "Dengan begitu,
ketika mereka menjadi guru atau dosen, mereka menjadi cenderung sangat
berkuasa. Karena juga dibayar rendah, mereka merasa dirinya berkuasa. Ketika
muridnya ternyata kurang cerdas, mereka cenderung ingin menghukum dan
menendang ke luar kelas. Mereka hanya bangga pada mereka yang mendapat nilai
A," papar Rhenald.
JAKARTA, KOMPAS.com — Metode pendidikan Indonesia yang mengutamakan
pemberian nilai buruk pada siswa sebagai salah satu bentuk hukuman
menjadikan anak-anak Indonesia yang cerdas menjadi tidak percaya diri.
Padahal, seharusnya sistem pemberian nilai yang tepat ialah memberikan
nilai sebagai wujud memberi semangat, seperti yang dilakukan di negara maju.

Menurut Rhenald, keadaan itu bisa diubah dengan seleksi ulang bagi para
guru. "Harus ada seleksi ulang bagi para guru, jadi ada penataran atau
pelatihan sehingga modal menjadi guru tidak hanya mengacu pada hard skill,
tetapi soft skill-nya juga," ujarnya.

Yang dimaksud soft skill, lanjut Rhenald, adalah motivasi, penggilan hidup
sebagai tenaga pendidik, dan keinginan untuk mengembangkan orang lain.
"Tidak hanya memandang dari segi akademisnya. Jadi, harus ada penilaian pada
behavioral competencies, " tambah Rhenald

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Permainan untuk Balita Anda (klik play, pilih lagu di kiri, lalu tekan sembarang tuts)