Senin, 27 Desember 2010

Jenius Bukan Jaminan Sukses

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.




Ada kabar dari Geoff Colvin, editor senior di majalah Fortune. Penulis sekaligus dosen yang dikenal dengan tulisan-tulisan kritisnya ini menyuguhkan data mengejutkan dalam bukunya bertajuk Talent Is Overrated (2008). Sebagaimana tercermin dalam judulnya, buku ini menunjukkan betapa kita terlalu berlebihan memuja-muja bakat dan kejeniusan. Padahal semua itu nyaris tak memberi manfaat apa-apa bagi masa depan anak, baik untuk meraih sukses maupun kebahagiaan.

Bakat dan kejeniusan bukanlah kunci utama meraih sukses, apa pun bidang yang ia tekuni. Baik dalam dunia olah-raga, seni, bisnis maupun intelektual, kunci paling pokok untuk meraih sukses bukan bakat besar maupun kejeniusan. Bukan pula keterampilan melakukan hal-hal yang dianggap luar biasa oleh orang pada umumnya. Banyak pebisnis sukses maupun intelektual yang IQ-nya rata-rata. Bukan superior, apalagi jenius. Bahkan ada yang IQ-nya sedikit di bawah rata-rata, tetapi ia memiliki ketahanan mental yang luar biasa untuk belajar dan menghadapi berbagai kesulitan, termasuk hambatan fisik. Sebagian kesulitan bisa terasa lebih ringan karena berubahnya persepsi, tetapi hambatan fisik memerlukan ketahanan untuk menanggung rasa sakit.

Sebagian orang sukses memang memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata. Ia benar-benar memiliki kemampuan intelektual yang bagus, bukan sekedar mampu mempertunjukkan kebolehan yang bersifat langka. Tetapi harus dicatat bahwa mereka meraih sukses itu melalui kerja keras yang luar biasa hebat dalam belajar. Mereka gigih belajar dan berlatih tatkala orang lain sudah terlelap. Kisah sukses Imam Syafi’i rahimahullah misalnya, bukan terutama soal kecerdasan, tetapi berkait erat dengan kemauan belajar yang luar biasa sekaligus kesanggupan untuk menghadapi kesulitan. Ini menjadikan seorang Imam Syafi’i yang ketika itu masih kanak-kanak, mampu bertahan untuk menyimak pelajaran dari luar kelas disebabkan ia tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk belajar di kelas sebagaimana anak-anak lain. Kisah Imam Bukhari mencari sebuah hadis adalah contoh lain tentang betapa berharganya kesediaan untuk menderita demi meraih apa yang diyakininya berharga. Ia rela menempuh perjalanan panjang yang sulit hanya untuk memperoleh sebuah hadis, meskipun hadis itu akhirnya tidak ia perhitungkan karena ternyata lemah.

Kisah Imam Bukhari tentu saja tidak terdapat di buku Talent Is Overrated. Saya hadirkan kisah ini karena lebih akrab dengan kita. Selebihnya banyak kisah sejenis yang bisa kita temukan. Tetapi apa pun kisahnya, inti pesannya adalah kejeniusan bukan segala-galanya. Jenius bukan jaminan sukses, Apalagi bahagia.

Anda tentu masih ingat kisah Billy Sidis yang saya sampaikan di majalah ini. Nama lengkapnya William James Sidis, anak dari Prof. Dr. Boris Sidis, orang Yahudi yang sangat mengagumi William James –seorang ahli psikologi. Secara intelektual, Billy luar biasa cerdas. IQ-nya 200, jauh di atas Albert Einstein. Usia 5 tahun sudah mampu menulis karya ilmiah –bukan cerita anak-anak—tentang anatomi. Usia 11 tahun kuliah di Harvard University –universitas terkemuka dunia yang terkenal dengan orang-orang cerdasnya—dan pada usia 14 tahun telah memberi kuliah di universitas yang sama. Semua catatan ini mengukuhkan kehebatannya sebagai anak jenius! Benar-benar jenius dan memang memiliki kemampuan intelektual luar biasa. Bukan sekedar mampu mempertontonkan kemampuan yang dapat dengan mudah dilatihkan kepada setiap anak dalam waktu satu dua hari.

Pertanyaannya, apakah yang dapat diperoleh dari kejeniusannya? Sekali lagi, Billy sangat jenius. Benar-benar anak jenius yang sempurna. Tetapi kejeniusan itu tidak memberi manfaat apa-apa baginya. Perkembangan sosial, emosional dan komunikasinya tidak sejalan dengan kemampuan kognitifnya. Ia mampu berpikir rumit dan memecahkan masalah-masalah akademis, jauh melampaui anak-anak seusianya dan bahkan lebih unggul dibanding orang-orang dewasa. Tetapi ia tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Ia juga mengalami hambatan emosional. Kemampuan intelektualnya yang luar biasa tidak mampu menolongnya untuk bisa berperilaku secara lebih dewasa sesuai usianya. Keasyikan Billy dengan dunianya membuat ia mengalami keterlambatan dalam perkembangan emosi dan perilaku. Inilah yang kemudian menjadi masalah besar dalam hidupnya sehingga ia memilih untuk menarik diri dari dunia intelektual, lalu bekerja sebagai tukang cuci piring di rumah makan sampai akhir hayatnya.

Kasus Billy hanya salah satu saja. Anak-anak yang memiliki kecerdasan luar biasa, atau mereka hanya disibukkan dengan belajar secara akademik, cenderung menjadi pribadi yang tidak matang dan rentan masalah jika mereka kurang memperoleh kesempatan berkembang secara alamiah. Kerentanan ini akan meningkat manakala anak-anak dipacu untuk menunjukkan prestasi yang bisa membanggakan orangtua atau melakukan sesuatu yang bisa membangkitkan kebanggaan orang terhadapnya. Ia membuat anak sibuk melakukan hal-hal yang tampak luar biasa, meskipun sesungguhnya tidak penting bagi kehidupannya di masa kini maupun masa mendatang. Meskipun ia mampu menunjukkan kemampuan-kemampuan yang jarang dimiliki orang, tetapi ini bukanlah prestasi yang sesungguhnya (true achievement) . Mungkin ia memang mampu menunjukkan prestasi tersebut (real achievement) . Hanya saja yang diperlukan oleh seorang anak agar ia memiliki motivasi yang benar-benar kuat adalah prestasi yang sesungguhnya (true achievement) . Begitu Janine Walker Caffrey, Ed.D., menulis dalam bukunya yang berjudul Drive: 9 Ways to Motivate Your Kids to Achieve (2008).

Jadi, sekedar jenius saja tidak cukup. Apalagi jika yang terjadi sesungguhnya bukan kejeniusan, melainkan perilaku yang mengesankan sebagai jenius (play acting as genius). Permainan kesan ini bisa muncul dari orang-orang yang memiliki kemampuan di atas rata-rata, bisa juga pada mereka yang biasa-biasa saja. Tidak sedikit perilaku yang dibentuk oleh orangtua atau orang dewasa lainnya pada anak, sehingga orang lain menganggap hebat. Sementara anak itu sendiri boleh jadi merasa dirinya hebat, boleh jadi mempunyai waham kebesaran (grandeur delusion) dan bisa juga anak sepenuhnya mengetahui bahwa ia tidak sehebat yang dilihat orang.

Banyak peristiwa dalam sejarah yang menunjukkan upaya untuk mengesankan diri atau anak sebagai jenius. Wolfgang Amadeus Mozart pernah menyatakan bahwa ia menggubah konserto sekali jadi. Tetapi kemudian diketahui bahwa ia bisa menyusun sebuah konserto bahkan dalam waktu bertahun-tahun. Bukan cuma setahun. Apalagi sekali jadi. Hanya saja ia berlatih keras dan pada waktu yang tepat ia seperti memperoleh ilham, lalu mempertunjukkan karya “sekali jadi” yang sudah ia susun bertahun-tahun itu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Permainan untuk Balita Anda (klik play, pilih lagu di kiri, lalu tekan sembarang tuts)