Selasa, 26 Oktober 2010

Tinjauan Buku: STONES INTO SCHOOLS

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.





Oleh: "Satria Dharma"

Jika Anda punya sedikit waktu untuk membaca di pagi, siang atau malam hari maka saya menganjurkan Anda untuk membaca buku “Stones into Schools”, sebuah buku tentang perjuangan Greg Mortenson dalam membangun lebih dari 145 sekolah di Pakistan dan Afghanistan selama 17 tahun ini. Buku ini adalah sekuel memoar laris “Three Cups of Tea” yang bukunya telah terjual 3,4 juta kopi dan diterbitkan di tiga lusin negara di seluruh dunia dan bertahan sebagai buku terlaris New York Times untuk kategori jenis nonfiksi selama tiga tahun terus menerus!

Fakta ini saja sebenarnya cukup untuk membuktikan bahwa buku ini dahsyat! Sebuah buku yang patut untuk Anda baca dan sebarluaskan semangatnya pada siapa saja yang ingin memiliki hidup yang memiliki arti bagi orang lain. Buku ini bahkan menjadi buku bacaan wajib bagi para perwira militer yang mengikuti pendidikan penumpasan pemberontakan (countersurgency) di Pentagon. Buku ini dapat mengajar para perwira tersebut agar mereka memahami semangat dan visi Greg Mortenson dalam membangun peradaban di negara yang diluluhlantakkan oleh perang yang tiada henti.

Buku ini diberi kata pengantar oleh Khaled Hosseini, penulis novel fenomenal laris “The Kite Runner”, yang memberikan penghargaan yang tinggi terhadap upaya Greg Mortenson untuk membangun sekolah di negara-negara yang luluh lantak oleh perang dan pertikaian suku itu. Greg tidak hanya membangun sekolah bagi anak-anak di daerah sangat terpencil di sudut-sudut dunia yang tak terbayangkan oleh kita tapi ia juga mengutamakan dedikasinya tersebut bagi anak-anak perempuan yang paling menderita oleh karena situasi perang dan pertikaian tersebut.



Greg percaya pada fenomena ‘Girl Effect’ pada pepatah Afrika yang menyatakan “Jika kita mengajar anak laki-laki, kita mendidik individu; tapi jika kita mengajar anak perempuan, kita mendidik satu komunitas.” Dari upayanya ini Greg berhasil menumbuhkan anak-anak perempuan yang berasal dari suku paling terpencil di Pakistan dan Afghanistan menjadi pahlawan dan pemimpin komunitasnya masing-masing, sesuatu yang bahkan takkan terbayangkan waktu sekolah itu dibangun.

Upaya-upaya serius untuk mempromosikan sekolah untuk anak perempuan agar dapat menjadi bagian dari pendidikan komunitas yang diprakarsai oleh Greg juga berlangsung di seluruh penjuru dunia, dari Guatemala dan Mesir hingga Bangladesh dan Uganda. Dan itu semua dimulai dari kunjungan pertama Greg ke desa Balti di pegunungan di Afghanistan (ia tersesat dan ditolong oleh penduduk desa itu saat itu) ketika Haji Ali berkata padanya. ”Pada cangkir teh pertama yang kamu minum bersama kami, kamu masih orang asing. Pada cangkir kedua, kau adalah teman. Tapi pada cangkir ketiga, kau menjadi keluarga – dan demi keluarga, kami bersedia melakukan apa saja, bahkan mati.” Greg telah minum bercangkir-cangkir teh bersama para penduduk gunung dan daerah-daerah paling terpencil di Afghanistan dan Pakistan dan ia bersedia untuk mati berkali-kali untuk membantu mereka, keluarga barunya, yang dibelanya begitu gigih. Begitu fantastisnya apa yang dilakukan oleh Greg sehingga bahkan membayangkannya saja telah membuat saya gemetaran. “Tashakor, Greg jan, atas semua yang telah Anda lakukan.” Demikian kata Khaled Hosseini dalam kata pengantarnya. Ya, Greg Mortenson adalah pahlawan dalam arti sesungguhnya. ....

baca selanjutnya di :
·         http://satriadharma.wordpress.com/2010/10/25/stones-into-schools/#more-317
·         http://satriadharma.com/index.php/2010/10/25/stones-into-schools/#more-206
·         http://satriadharma.com/

Bangun Generasi Baru Berkarakter!

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.





Oleh: Yudhistira ANM Massardi


NABI Muhammad Saw menganjurkan agar para orangtua mengajari anak-anak mereka menunggang kuda, memanah, dan berenang, sejak usia dini. Para orangtua Yahudi mengajari anak-anak mereka main piano, menembak, dan berlari. Para pemimpin Jepang, setelah dikalahkan oleh Sekutu dalam Perang Dunia II, langsung  memerintahkan agar bangsanya segera mengambil oper olahraga utama bangsa penakluknya, Amerika Serikat: bisbol. Bangsa Brasil, identik dengan sepakbola dan tarian samba. Bangsa Rusia identik dengan catur dan balet. Bangsa China identik dengan ping-pong dan senam. Bangsa Inggris identik dengan cricket dan polo.
Negara-negara tersebut, telah memilih dan memutuskan jenis olahraga dan seni yang diberi dukungan penuh. Untuk itu, negara menyediakan sarana dan prasarananya: dari sekolah pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi. Dengan  demikian, seluruh bangsa, setiap keluarga, setiap anak, siap untuk ambil bagian, termasuk berkompetisi sepanjang tahun, penuh semangat.



Tuhan memberikan tiga kemampuan dasar bagi manusia untuk belajar: kemampuan penglihatan (visual), kemampuan pendengaran (auditori), dan kemampuan raga (kinestetik). Ketiga kemampuan itu harus diasah dan ditingkatkan agar manusia bisa mencapai tingkatan paripurna: seluruh kecerdasan jamaknya terbangun optimal. Untuk itu, negara dan bangsa harus memberikan dukungan penuh. Tanpa itu, maka tujuan pendidikan yakni, --“...agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (UU No 20 Th 2003/Sisdiknas) “-- tidak akan bisa dicapai.

Nabi Muhammad dan para pemimpin bangsa-bangsa besar paham: membangun karakter dan kecerdasan bangsa, harus dimulai sejak anak usia dini; dan itu dilakukan melalui main. Para pakar pendidikan modern, seperti Charles H. Wolfgang, merumuskan bahwa untuk membangun kecerdasan jamak anak-anak usia dini, perlu dilakukan stimulasi melalui tiga macam main: Main Sensorimotor (Fungsional) , Main Peran Makro dan Mikro (Simbolik), Main Pembangunan Sifat Cair dan Terstruktur. Sara Smilansky kemudian menambahinya dengan: Main dengan Aturan. Pada saat sebelum, selama dan sesudah main, kepada anak diberikan pijakan main yang berisi ilmu pengetahuan, aturan, penuturan kembali pengalaman main, dan evaluasi. Orang dewasa/guru perlu mendampingi agar anak bisa memahami dan memaknai seluruh proses, aturan dan tujuan main secara baik dan benar, secara kronologis, ilmiah, maupun akidah.



Bangsa Indonesia harus melalui proses dari awal. Menetapkan jenis main yang akan menjadi identitas bangsa (bulutangkis, misalnya), dan negara (Kemendiknas, Kemendagri, Kemenpora) beserta seluruh masyarakat menjadikannya sebagai gerakan nasional yang kompetitif dan berkelanjutan.

Melalui aktifitas olehraga sejak dini, anak-anak secara jasmani dibiasakan hidup sehat dan bugar. Melalui aturan main dan disiplin dalam pelatihan dan pertandingan, mereka dibiasakan bekerja dalam aturan, memahami batasan-batasan, dan kerja-keras untuk mencapai hasil optimal.

Pada waktu latihan pemanasan dan pertandingan, para suporter menyanyikan lagu-lagu daerah/nasional/ patriotis, sehingga semua merasakan getar identitas dan jati diri sebagai warga bangsa. Kompetisi yang berlangsung di tiap wilayah dan berlanjut ke tingkat nasional, akan melatih mental mereka untuk siap menang dan juga siap kalah. Jika sportifitas dijaga dan ditegakkan, maka kita bisa menghasilkan satu generasi baru yang tahan banting dan berdisiplin.



Dengan setiap jenis olahraga, anak-anak dicerdaskan secara kinestetik, visual dan auditori. Kecerdasan jamaknya juga terbangun secara simultan. Yakni, Kecerdasan linguistik (cerdas kosakata), Kecerdasan logika dan matematika (cerdas angka dan rasional), Kecerdasan spasial (cerdas ruang/tempat/ gambar), Kecerdasan kinestetika- raga (cerdas raga), Kecerdasan musik (cerdas musik), Kecerdasan interpersonal (cerdas orang), Kecerdasan intrapersonal (cerdas diri), Kecerdasan naturalis (cerdas alam), dan Kecerdasan Spiritual. Hanya dengan pendekatan semacam itu, kita bisa melahirkan generasi baru bangsa yang berkarakter, berbudi pekerti luhur, memiliki jati diri, berdisiplin, sportif, berani, dan mandiri. Insya Allah.[]



*Yudhistira ANM Massardi adalah sastrawan/wartawan/ pemimpin umum Media TK Sentra, dan pengelola sekolah TK-SD gratis untuk kaum dhuafa di Bekasi.

Yudhistira ANM Massardi
email: ymassardi@yahoo. com
www.mediatksentra. com

Sabtu, 23 Oktober 2010

Gerakan Indonesia mengajar, Guru Bermutu Tinggi, Mengajar di Daerah Terpencil

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.








KOMPAS.com - Hidup di Singapura, bekerja di perusahaan multinasional dengan gaji besar, ternyata bukan akhir cita-cita Ayu Kartika Dewi. Begitu ada kesempatan menjadi guru sekolah dasar di daerah terpencil, berbagai fasilitas perusahaan yang sudah dinikmati di Singapura langsung ditinggalkannya.

”Ini kesempatan yang ditunggu-tunggu,” kata lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya, ini bersemangat, ketika mengetahui akan menjadi guru sekolah dasar dan ditempatkan di daerah terpencil di Kabupaten Halmahera Selatan.

Ketika tahu untuk mencapai Halmahera Selatan butuh waktu delapan jam menggunakan kapal laut dari Ternate, semangatnya tak surut, bahkan makin berapi-api.

”Buku harian saya tidak akan monoton, sekolah, kuliah, lalu bekerja, tetapi penuh warna. Saya bisa merasakan hidup di daerah terpencil,” kata Ayu yang tak sabar ingin segera berangkat ke tempat penugasan.

Lain lagi dengan Erwin Puspaningtyas Irjayanti (24). Lulusan Institut Pertanian Bogor yang sudah bekerja di sebuah bank terkemuka di Jakarta dengan gaji sangat memadai ini rela meninggalkan pekerjaannya untuk mengabdi menjadi guru sekolah dasar nun jauh di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat.

”Ini kesempatan emas berbuat untuk negeri sekaligus memenuhi panggilan hati,” kata wanita penulis novel best seller The Sacred Romance of King Sulaiman & Queen Sheba (1986) yang diterbitkan PT Mizan ini bersemangat.

Semangat serupa dipancarkan Rahman Adi Pradana (24). Peraih dua gelar kesarjanaan, Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung dan lulusan cum laude Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran Bandung, ini rela meninggalkan pekerjaannya di sebuah perusahaan multinasional di Jakarta dan bertugas menjadi guru sekolah dasar di Halmahera Selatan.

Orangtuanya sempat kaget. Namun, setelah diyakinkan bahwa ia ingin memberikan sesuatu yang terbaik untuk negerinya, Indonesia, orangtuanya mendukung langkah Adi. ”Negeri ini sudah sangat baik. Saatnya memberikan sesuatu untuk negeri yang saya cintai,” kata Adi.

Generasi pilihan Menjadi guru sekolah dasar di daerah terpencil atau menjadi Pengajar Muda merupakan program dari ”Indonesia Mengajar” yang digagas Anies Baswedan yang juga Rektor Universitas Paramadina, Jakarta.

Ide dasarnya, masih banyak sekolah dasar di daerah terpencil yang dibimbing guru-guru kualitasnya tidak sesuai dengan standar. ”Jika kondisi ini terus dibiarkan, Indonesia sulit maju,” kata Anies Baswedan.

Setelah berdiskusi dengan banyak kalangan, akhirnya dibentuklah gerakan Indonesia Mengajar yang mencari generasi muda terbaik untuk menjadi guru SD di daerah terpencil.

”Gerakan Indonesia mengajar hanya menempatkan guru di daerah terpencil selama satu tahun,” kata Anies. Selama bertugas, mereka akan mendapat uang saku Rp 3,2 juta sampai Rp 4,8 juta per bulan, tergantung dari daerah tugas.



Banyak harapan

Setelah gerakan ini dipublikasikan, ternyata responsnya luar biasa. Meskipun persyaratannya cukup ketat, seperti indeks prestasi kumulatif (IPK) minimal 3, berusia di bawah 25 tahun, dan berbagai persyaratan lain, tercatat 1.383 orang mendaftar. Mereka merupakan lulusan-lulusan terbaik dari berbagai perguruan tinggi.

Setelah diseleksi ketat, terpilih 160 orang. Kemudian diseleksi lagi sehingga terpilih 51 sarjana berkualitas terbaik yang akan ditempatkan di lima daerah terpencil, yakni di Kabupaten Halmahera Selatan (Maluku Utara), Kabupaten Paser (Kalimantan Timur), Kabupaten Bengkalis (Riau), Kabupaten Majene (Sulawesi Barat), dan Kabupaten Tulang Bawang Barat (Lampung).

Bukan di ibu kota kabupaten, justru semuanya ditempatkan di daerah-daerah terisolasi yang sarana transportasinya sangat sulit, listrik terbatas, dan tidak ada sinyal telepon, apalagi internet.

Agar tidak kaget saat ditempatkan di daerah terisolasi, para Pengajar Muda diberikan pelatihan selama tujuh minggu, termasuk cara mengajar, kurikulum pengajaran, ekstrakurikuler, sampai menjaga kesehatan di daerah terpencil. Saat pelatihan di asrama, listrik pun dimatikan setelah pukul 22.00 dan telepon seluler disimpan panitia.

”Pelatihan ini sebagai persiapan agar tidak kaget ketika bertugas di tempat yang sesungguhnya,” kata Mutia Hapsari, lulusan Antropologi Universitas Indonesia.

Meski tahu akan ditempatkan di daerah terisolasi, semua peserta sangat antusias. ”Kondisi di tempat tugas sangat menantang. Saya akan tahu kondisi masyarakat Indonesia yang sesungguhnya,” kata Bagus Arya Wirapati (21), lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Mengenal kondisi masyarakat di daerah terpencil memang menjadi salah satu sasaran gerakan ini. Tak sekadar mengenal, mereka juga diharapkan menjadi contoh, memotivasi dan berbagi ilmu dengan anak- anak sekolah dasar. ”Percayalah, prestasi yang kalian raih selama ini akan menjadi idaman anak- anak sekolah dasar di daerah terpencil,” kata Anies.

Bagi Pengajar Muda, pengalaman selama tinggal setahun di daerah terpencil juga akan menjadi pengalaman yang melekat seumur hidup. Mereka akan mengetahui denyut nadi masyarakat di daerah pedalaman.

Diharapkan setelah mereka kembali ke profesi apa pun yang mereka tekuni, apakah menjadi peneliti, bankir, pengusaha, ataupun politisi, mereka tidak lupa diri. Ada bagian kecil masyarakat Indonesia yang membutuhkan perhatian mereka.



(THY)

Kamis, 21 Oktober 2010

01 Apakah Indismart Itu



Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.

Senin, 18 Oktober 2010

89 Persen Siswa Bersemangat Belajar Berkat Ujian Nasional

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar





Jakarta, 4/10/2010 (Kominfo-Newsroom) Kepala pusat Penilaian Pendidikan,
Kemendiknas, Nugaan Yulia Wardhani mengungkapkan dari hasil kajian empirik
dengan beberapa universitas di Indonesia bahwa dampak positif Ujian Nasional
(UN) sebanyak 89 persen siswa lebih semangat belajar, semangat menambah
wawasan, dan meningkat masuk sekolah.


“Rata-rata nilai UN SMP relatif ada peningkatan, ada penurunan namun
tidak begitu berarti. Begitu juga pada level SMU, ada peningkatan. Secara
umum terjadi peningkatan dan penurunan tidak siginifikan. Dari kesimpulan
kajian itu bahwa sebanyak 89 persen siswa lebih semangat belajar,” kata
Nugaan Yulia Wardhani saat rapat dengar pendapat dengan Komisi X di Gedung
DPR RI Jakarta, Senin (4/10).


Menurutnya, peningkatan semangat belajar siswa harus diimbangi dengan
perhatian orang tua secara lebih maksimal dengan memberi dorongan belajar,
atau menambah fasilitas belajar pada anak-anaknya.


Namun rupanya siswa memiliki respon atau opini yang beragam tentang
pelaksanaan UN. Nugaan Yulia Wardhani menjelaskan hal ini berdasarkan studi
IKIP Padang pada 2004.



“Opini siswa tentang UN terbagi pada tidak stres, sedikit stres, sangat
stres, dan tidak menanggapi. Yang tertinggi adalah sedikit stress dan sangat
stres sedikit yang memilih jawabannya,” jelasnya.


Sementara itu, anggota Komisi IX DPR dari FPG, HM Nasrudin mengatakan, patut
dipahami bahwa setiap sistem ada kelebihan dan kekurangan. Maka kita perlu
mengkaji sejauh mana UN bisa menjadi parameter bagi para siswa.


“Di berbagai negara tidak melaksanakan UN. Maka sebaiknya keputusan tentang
UN harus komprehensif dan sangat berhati-hati. Karena tidak semua sekolah
dapat kita survei. Pembanding negara lain diperlukan sebagai komparasi
tentang penerapan UN,” tukasnya.


Anggota Komisi X DPR lainnya, Dedi Wahidin turut mengapresiasi paparan
Nugaan Yulia Wardhani. Tapi menurutnya, hal tersebut kontra dengan kondisi
di daerah. Ebtanas kata dia, lebih baik dari pada UN, kembalikan lagi UN ke
Ebtanas. Untuk pemetaan, tidak untuk alat kelulusan, tidak untuk alat
melanjutkan. Dengan pemetaan, kalau ada sekolah yang hasilnya jelek, ini
yang harus diperhatikan serta ditelusuri penyebabnya.


“Di negara-negara yang juga melaksanakan UN, di sisi lain kedisiplinan
mereka lebih bagus. Maka kita tidak bisa membandingkan diri dengan mereka,”
tegasnya. (T.wd)


Sumber: http://www.bipnewsr oom.info/ index.php? &newsid=66803& _link=loadnews. php

Mendeteksi Anak Kecanduan Pornografi

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.




JAKARTA, KOMPAS.com — Tanda-tanda anak atau remaja yang mengalami kecanduan pornografi tidak sepenuhnya kasat mata. Para orang tua wajib mewaspadai tanda-tanda tersebut supaya dapat segera dilakukan penanganan dan pencegahan.


Menurut psikolog keluarga Elly Risman, Psi, di sela-sela acara "Mengenali dan Mengatasi Adiksi Pornografi pada Anak dan Remaja" di Universitas Paramadina, Kamis (30/9/2010) kemarin, setidaknya ada delapan tanda seorang anak atau remaja yang keranjingan gambar, film atau materi berbau pornografi.



Inilah ciri-ciri anak yang sudah teradiksi:
1. Suka menyendiri
2. Bicara tidak melihat mata lawan bicara
3. Prestasi di sekolah menurun
4. Suka berbicara jorok
5. Berperilaku jorok (menarik tali bra, menyenggol dengan sengaja bagian-bagian tubuh tertentu, dll)
6. Suka berkhayal tentang pornografi
7. Banyak minum dan banyak pipis
8. Suka menonton, bila dihentikan akan mengamuk (tantrum)


Sementara itu, pada kesempatan yang sama, Randall F Hyde, PhD, pakar penanganan adiksi pornografi, memberikan beberapa cara mendeteksi anak atau remaja yang telah teradiksi pornografi.
"Yang pertama adalah catatan history (di komputer) menunjukkan banyak web yang berhubungan dengan pornografi," ujarnya.



Para orang tua juga dapat menggunakan teknik yang disebut "tinta tumpah". "Kita sengaja menumpahkan tinta di kertas dan meminta anak menyebutkan gambar apa yang tercipta melalui tumpahan tinta tersebut. Karena hal yang ia jelaskan merupakan asosiasi dari realita yang ia ketahui," terangnya.


Cara lain adalah dengan meminta anak untuk menggambar dirinya (laki-laki atau perempuan). Randall bilang, orang tua patut curiga kalau seorang anak mampu menggambar dan menerangkan dengan baik bagian-bagian tubuh tertentu di luar pengetahuan seksual anak seusianya.


Untuk mencegah adiksi pornografi, Randall sangat menyarankan para orang tua untuk menjalin komunikasi yang lebih dekat. "Bermain merupakan cara efektif menimbulkan ikatan batin yang membuat anak terproteksi dari hal buruk," kata Randall.

Sumber: Kompas.com

Remaja AS Susah Bangun Pagi, Sekolah Dianjurkan Mulai Lebih Siang

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.




REPUBLIKA.CO. ID, NEW YORK--Menurut survei *National Sleep Foundation*,
sekitar 50 persen remaja di AS kurang tidur selama duduk di bangku sekolah.
Para pakar mengatakan, remaja secara biologis terprogram untuk tidur dan
bangun terlambat, sehingga irama alami tubuh mereka tidak sesuai dengan jam
sekolah pagi.


Kurangnya waktu tidur ini berdampak negatif pada semua segi kehidupan
remaja. Sekarang, semakin banyak guru berusaha menyesuaikan kondisi itu
dengan jadwal sekolah pada pagi hari.


Danny, 16 tahun, adalah remaja aktif yang suka berolahraga dan mendengarkan
music rock. Tetapi, seperti halnya remaja lainnya, ia juga kurang tidur.
“Setiap bangun pagi, saya selalu masih mengantuk. Rasanya tidak ingin pergi
sekolah. Selama pelajaran pertama dan kedua saya hampir tidak bisa membuka
mata,” tutur Danny.


Sementara banyak yang yakin bahwa remaja biasanya malas bangun pagi. Namun
para pakar mengatakan, hal itu tidak benar sepenuhnya.


Michael Breus, pakar psikologi klinis yang ahli dalam masalah kelainan
tidur, mengatakan, “Kita tahu orang yang kurang tidur, mudah uring-uringan.
Jadi, jika anak yang seharusnya tidur 8-9 atau bahkan 9-10 jam, hanya tidur
tujuh jam semalam, mereka akan mengalami sejenis depresi yang dapat
mempengaruhi keseluruhan aktivitas mereka,“ jelasnya.
Irama biologis remaja, kata Breus. adalah tidur dan bangun terlambat. Tetapi
karena sekolah dimulai jam tujuh pagi, remaja seperti Danny pergi ke sekolah
dengan setengah mengantuk.



Breus mengakui, meskipun ada faktor-faktor lain yang turut menyebabkan
remaja kurang tidur, sekolah merupakan tempat di mana perubahan-perubahan
kecil yang dilakukan dapat memberikan hasil yang luar biasa.


“Berbagai penelitian menunjukkan bahwa perubahan dimulainya jam sekolah yang
memungkinkan anak-anak masuk sedikit lebih siang membuat nilai mata
pelajaran pertama dan kedua lebih baik,” ungkap Breus lebih lanjut.


Puluhan sekolah di seluruh AS mengamati penelitian itu dan sedang
mempertimbangkan cara untuk menyesuaikan jadwal jam pelajaran mereka.


Sumber: www.republika.co.id

Anak Berbakat Belum Tentu Sukses

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.

Professor Joan Freeman (sebelah kiri)



(ANTARA News)- Anak-anak dengan bakat luar biasa ternyata sama besar  kemungkinannya untuk gagal maupun sukses pada masa dewasa. Dalam salah satu penelitian terpaling luas yang pernah diadakan, ditemukan bahwa dari 210 anak berbakat, hanya tiga persen yang akhirnya "jadi orang". Professor Joan Freeman mengatakan dari 210 anak-anak yang dia teliti, hanya setengah lusin yang bisa dikatakan meraih 'kesuksesan konvensional' . "Pada usia enam atau tujuh tahun anak berbakat memiliki potensi yang mencengangkan, tetapi banyak dari mereka terjebak dalam situasi potensi terpasung," kata Freeman seperti yang dikutip Daily Mail, Senin.


Professor Freeman melacak anak-anak yang berbakat di bidang matematika, seni, dan musik sejak tahun 1974 hingga sekarang. Kebanyakan dari mereka tidak sukses pada masa dewasa karena perlakuan yang mereka alami dan dalam beberapa kasus direngut dari masa kanak-kanak. Dalam beberapa kejadian, orang tua menekan anaknya begitu keras atau malah dipisahkan dari kelompok sebayanya, sehingga akhirnya hanya mempunyai  sedikit teman. Ia juga menambahkan 'menjadi istimewa berarti lebih bisa menghadapi hal-hal yang bersifat intelektual tapi tak selalu bisa menghadapi hal-hal emosional.


Freeman juga cenderung menekankan bahwa anak-anak berbakat sama rapuhnya dengan anak biasa bahkan mungkin "punya kekuatan emosi yang lebih besar". "Saya ingin menegaskan bahwa mereka yang berbakat juga hanya manusia biasa tapi menghadapi tantangan-tantangan , khususnya harapan yang tidak sesuai kenyataan, biasanya dipandang aneh dan tak bahagia," tegas Freeman. "Orang tua dan guru bisa merasa terancam dengan kehadiran mereka dan bereaksi  meredam kemampuan mereka. Yang mereka inginkan hanya diterima apa adanya, kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi, dan mendapatkan dukungan moral yang memadai," papar Freeman lebih jauh.


Salah satu contoh anak berbakat yang kemudian gagal untuk berkembang adalah Andrew Halliburton, yang ketika masih berusia delapan tahun telah memahami matematika untuk sekolah menengah tetapi kini hanya bekerja di warung cepat saji McDonald. Contoh lain yang menarik adalah Anna Markland dan Jocelyn Lavin yang telah menjadi bintang sekolah musik Chetham, Manchester, Inggris, ketika berusia 11 tahun. Markland  yang kini berusia 46 tahun, berasal Princes Risborough, Buckinghamshire, Inggris dan pada 1982 dinobatkan sebagai Pemusik Termuda Terbaik pleh BBC. Ia kemudian belajar musik di Oxford selama dua tahun dan sekarang menjadi seorang pemusik profesional, yang menurutnya merupakan profesi terbaik di dunia. 


Sebaliknya, Lavin berbalik dari musik dan berpindah menekuni ilmu pengatahuan alam. Ia kemudian memperoleh nilai A dalam bidang itu di antara 210 anak berbakat tadi. Tetapi setelah masuk University College London, ia gagal dalam matematika dan astronomi pada usia 17 tahun. Ia kemudian keluar tanpa meraih satu gelarpun. "Saya tak tahu yang ingin saya tekuni kecuali terbang ke luar angkasa," katanya. Setelah 20 tahun berprofesi sebagai guru matematika, ia kini masih harus bermasalah dengan rumahnya yang dililit masalah kredit.


Menurut Professor Freeman, permasalahan lain bagi anak-anak istimewa, mereka sering kali cemerlang di bidang apa saja sehingga mereka cenderung ingin mencoba bidang lain padahal bidang yang terdahulu belum dikuasai betul. Pada dasarnya anak cerdas akan gagal jika mereka ditempatkan di bawah tekanan untuk berkembang. "Kepuasan dan kreatifitas dari masa anak-anak adalah dasar untuk semua pekerjaan besar," pungkas Freeman.
(Ber/A038/BRT)

Sumber: Antara

Jumat, 24 September 2010

Video Gambaran Indismart.mpg

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.


Berry Natalegawa Jalan Kaki 420 Mil London-Edinburg Untuk Unicef

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.





LONDON--Seorang ayah dari tiga putra melakukan jalan kaki sepanjang 420 mil dari London ke Edinburgh untuk mengumpulkan dana bagi anak-anak UNICEF di Indonesia. Berry Natalegawa (48) yang lama menetap di Inggris kepada koresponden Antara London, Rabu menyampaikan rencananya untuk berjalan kaki selama dua minggu yang dimulai Kamis 22 Mei mendatang.

Berry Natalegawa, dari Limesdale Gardens, Edgware, London berharap dapat mengumpulkan dana sebesar 250.000 Poundsterling untuk UNICEF dengan berjalan sepanjang 420 mil dari London ke Edinburgh. Duta besar RI untuk Kerajan Inggris dan Republik Irlandia Yuri Thamrin secara khusus menyampaikan penghargaan kepada Berry Natalegawa yang akan melakukan kegiatan sosial itu

Sebagai warga Indonesia yang tinggal di UK sudah sepantasnya dan berkewajiban melapor Life`s walk in aid of UNICEF ini ke KBRI, ujar Berry. Dubes Yuri Thamrin dan KBRI London akan mendukung rencana Barry yang dinilai sangat positif, apalagi UNICEF juga mempunyai banyak program Indonesia, ujarnya.

Menurut Berry, tujuan hanya satu. "Saya ingin menolong orang-orang yang tidak mampu dan terbelenggu dalam serba kekurangan," ujar adik Menlu RI Marty Natalegawa. Dikatakannya diberbagai belahan dunia banyak anak-anak yang hidup sengsara dan menderita tanpa kemampuan untuk keluar dari kondisi yang di hadapi nya.



Berry memberi contoh peristiwa Haiti dan Chile, juga gempa di Indonesia yang menyebabkan anak-anak selalu menjadi korban.

Diakuinya Mengapa saya melakukan jalan, karena ia benar-benar terdorong untuk bergerak dan melakukan sesuatu, ujar suami Zulindatando Berry Natalegawa yang dinikahinya August 1987. "Saya benar prihatin dan sedih melihat keadaan di sekitar, yang seringkali menyangkut anak-anak," ujar arsitek yang memiliki usaha konsultan disain.

Di Asia, juga di Afrika kita selalu mendengar dan tidak jarang melihat sendiri kesulitan yang berkepanjangan, mulai anak-anak sampai usia lanjut. Menurut Berry yang sebelumnya melakukan lari 10 Km untuk amal itu ingin melakukan sesuatu dalam hidupnya yang dapat merubah paling tidak dapat meringankan penderitaan anak anak di dunia.

Ia mengakui, "Kali ini saya melakukan sendiri, maksudnya tanpa peserta lain yaitu berjalan dan melangkah, satu demi satu, yang dapat dimanifestasikan sebagai perjuangan seseorang." Berry mengakui jarak antara London dan Edinburgh cukup jauh. "Saya harus menghadapinya sendiri," ujarnya yang disebutnya sebagai Life`s walk. Satu Journey, satu life`s walk.
Red: Krisman Purwoko
Sumber: ant

Jangan Bangga Jadi Guru "Killer"

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.






sumber: http://www.klubguru .com/2-view. php?subaction= showfull& id=1285250752& archive=& start_from= &ucat=1&




*JAKARTA, KOMPAS.com* — Metode pendidikan Indonesia yang mengutamakan
pemberian nilai buruk pada siswa sebagai salah satu bentuk hukuman
menjadikan anak-anak Indonesia yang cerdas menjadi tidak percaya diri.
Padahal, seharusnya sistem pemberian nilai yang tepat ialah memberikan
nilai sebagai wujud memberi semangat, seperti yang dilakukan di negara maju.
Hal itu diungkapkan Prof Rhenald Kasali, PhD, Guru Besar Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia (UI), di sela-sela acara Education Fair SMA Kanisius,
Jakarta, Kamis (23/9/2010).

Menurut Rhenald, keadaan ini masih terus berlaku di Indonesia. "Sampai hari
ini dosen atau guru masih melakukan seperti itu. Jadi, kalau orang enggak
bisa, enggak dibantu cari jalan keluarnya, tapi malah dibikin jadi panik,
dibuat makin tidak mengerti dengan dikasih nilai jelek. Rasanya ada
kebanggaan jadi dosen killer," katanya.

Rhenald melanjutkan, di luar negeri justru kebalikannya. "Di negara maju
(Amerika), anak saya bahasa Inggrisnya jelek justru dikasih nilai exellent.
Tujuannya mendorong memberikan kesempatan sehingga akhirnya dia menjadi
lebih percaya diri. Metode mereka (sekolah luar negeri) ialah orang
di-encourage supaya bersemangat dan akhirnya mau menjadi exellent," katanya.




Apabila Indonesia menerapkan metode ini, dampaknya sangat besar bagi murid
karena mereka akan menjadi lebih percaya diri. "Sebenarnya anak-anak kita
pintar, cuma tidak punya rasa percaya diri karena yang nilainya A kan hanya
5 sampai 6 persen, sementara yang 90 persen nilainya rata-rata," kata
Rhenald.

Kondisi ini tidak terlepas dari perilaku dosen atau guru di Indonesia yang
menerapkan metode model penjajah. "Perilaku dosen atau guru-guru di
Indonesia terjadi karena belajar dari dosen-dosen sebelumnya, model penjajah
bahwa anak itu bodoh, anak itu tertindas," katanya.

Selain itu, banyak orang menjadi guru atau dosen bukan karena panggilan
diri, melainkan karena tidak punya pilihan dalam hidup. "Dengan begitu,
ketika mereka menjadi guru atau dosen, mereka menjadi cenderung sangat
berkuasa. Karena juga dibayar rendah, mereka merasa dirinya berkuasa. Ketika
muridnya ternyata kurang cerdas, mereka cenderung ingin menghukum dan
menendang ke luar kelas. Mereka hanya bangga pada mereka yang mendapat nilai
A," papar Rhenald.
JAKARTA, KOMPAS.com — Metode pendidikan Indonesia yang mengutamakan
pemberian nilai buruk pada siswa sebagai salah satu bentuk hukuman
menjadikan anak-anak Indonesia yang cerdas menjadi tidak percaya diri.
Padahal, seharusnya sistem pemberian nilai yang tepat ialah memberikan
nilai sebagai wujud memberi semangat, seperti yang dilakukan di negara maju.

Menurut Rhenald, keadaan itu bisa diubah dengan seleksi ulang bagi para
guru. "Harus ada seleksi ulang bagi para guru, jadi ada penataran atau
pelatihan sehingga modal menjadi guru tidak hanya mengacu pada hard skill,
tetapi soft skill-nya juga," ujarnya.

Yang dimaksud soft skill, lanjut Rhenald, adalah motivasi, penggilan hidup
sebagai tenaga pendidik, dan keinginan untuk mengembangkan orang lain.
"Tidak hanya memandang dari segi akademisnya. Jadi, harus ada penilaian pada
behavioral competencies, " tambah Rhenald

Jumat, 17 September 2010

Ayo Belajar dan Berdiskusi Internet Sehat di Acara Blog Vaganza

Segera bergabung di www.indi-smart.com














Kamis, 16 September 2010

Menyiasati Agar Anak Tidak Sering Menonton TV

Segera bergabung di www.indi-smart.com


Judul asli: MengAkali TV bagi anak
oleh -Meti Mediyastuti-




Televisi adalah media hiburan yang sangat diminati semua orang, Pengaruh Media terhadap anak makin besar, teknologi semakin canggih & intensitasnya semakin tinggi. Padahal orangtua tidak punya waktu yang cukup untuk memerhatikan, mendampingi & mengawasi anak. Anak lebih banyak menghabiskan waktu menonton TV ketimbang melakukan hal lainnya.

Dalam seminggu anak menonton TV sekitar 170 jam. Apa yang mereka pelajari selama itu? Mereka akan belajar bahwa kekerasan itu menyelesaikan masalah. Mereka juga belajar untuk duduk di rumah dan menonton, bukannya bermain di luar dan berolahraga. Hal ini menjauhkan mereka dari pelajaran-pelajaran hidup yang penting, seperti bagaimana cara berinteraksi dengan teman sebaya, belajar cara berkompromi dan berbagi di dunia yang penuh dengan orang lain.

Sebenernya Televisi ada sisi Positif dan Negatifnya, tapi lebih banyak Negatifnya, ketimbang positifnya, terbukti dengan banyaknya Iklan yang sangat merusak anak, anak bisa meniru, juga bisa merengek apa yang ada dalam Iklan tersebut.

Yaa tergantung kita sebagai Orang tua, kita yang harus punya konsistensi buat anak hehehe...serius amat neh gw*_*
Aku coba sama Anakku sendiri, aku berusaha konsisten...matikan TV sekarang juga, ALhamdulillah berhasil..oya mungkin judul postingan ini hampir sama ama postingan terdahulu yang pernah aku tulis, tapi, tentu dong beda heheheh...

Nah postingan kali ini, aku sangat berharap, gimana caranya mengAkali Tv buat anak, karena Anak sekarang gak bisa terhindari dari TV, kecuali si TV itu gak ada sama sekali di rumah hehehe

Dan aku coba anak-anakku nonton TV hanya sabtu Mingu ternyata berhasil, ketika Azka anak sulungku hari jumat pulang sekolah udah langsung minta dinyalakan TV, karena besoknya libur, Nah dalam waktu anak menonton TV, kita juga harus bisa mendampingi anak2 nonton apa...

Aku selalu berusaha :
disekitar TV selalu disimpen banyak mainan kesukaannya, plus Buku-buku yang digemarinya, karena anakku suka sama buku juga, dengan demikian Anak akan buyar konsentrasinya, anak akan memilih mainan atau buku-buku yang ia gemari.

Walopun acaranya seru banget, tetep tidak akan konsentrasi full pada TV, atau kita bisa candain mereka di depan TV, itupun sangat berhasil, Apalagi kalo dah Iklan anak-anak akan pindah konsentrasi pada maenanya, padahal anak2 biasanya paling suka liat Iklanna, tapi dengan cara tadi dengan mainannya, anak akan buyar terhdap TV, lebih memilih mainan yang didepannya ketimbang TV, bener lho...aku lakuin sama anak-anakku hehehehe.

Sampe akhirnya anak meninggalakan itu TV dan anak konsentrasi ke mainannya,,,ffffuuiiihh berhasil..sampe aku smepet bilang
" kaka koq TVnya gak ditonton"
terus Kaka Jawab :
" Matiin aja mi, kaka lagi seru neh "
heheheh...

Moga bisa yaa semuanya, coba aja deh, cara yang sangat sederhana, tapi jangan lupa kita tetep jadi Orangtua yang proaktif juga, sambil dampingi anak nonton, kita sambil baca buku-buku kesukaannya, sambil diceritain dengan penuh penghayatan , dan dengan intonasi sesuai cerita di buku...coba deh hehhehe..

http://tips-dunia-anak.blogspot.com/atom.xml

Selasa, 07 September 2010

Diskon Indismart untuk Pemegang Adira Club Member

Segera bergabung di www.indi-smart.com





Kabar Gembira! khusus bagi pemegang Adira Club Member,  Indismart  akan memberikan diskon istimewa untuk setiap pembelian Voucher Indismart di Kantor Indismart, Contact Sales ACM, dan Stand Adira/ACM/Indismart di event tertentu. Diskon ini berlaku untuk pembelian voucher 6 bulan (10%) dan 12 bulan (15%). Maksimum jumlah pembelian untuk satu kartu adalah tiga voucher.  Promo ini berlaku mulai 15 September 2010 hingga 14 September 2013

Senin, 06 September 2010

Mohon Maaf Lahir dan Batin

Segera bergabung di www.indi-smart.com

Kamis, 02 September 2010

Homeschooling dan Kesiapan Orang Tua

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.


Oleh Maya Ana Pujiati  







Tulisan ini saya dedikasikan untuk para peminat homeschooling.

Homeschooling kini bukan lagi sebuah wacana. Sudah banyak orang yang mencobanya. Namun sejauh ini, persoalan tentang legalitas masih saja menjadi bahan pembicaraan dan bahkan polemik. Pemerintah sendiri nampaknya memiliki paradigma sendiri tentang kehadiran homeschooling. Memperkaya model pendidikan, tentu iya, namun di sisi lain, ketika homeschooling sudah tersosialisasikan wacananya kepada masyarakat, tata kelengkapan teknisnya juga perlu disiapkan. Satu hal yang sangat penting untuk ditindaklanjuti, adalah kesiapan orang tua.

Homeschooling dalam persepsi saya, bukanlah perkara yang mudah. Kendati dalam gambaran kasar sepertinya begitu menyenangkan dan fleksibel, tapi karena kefleksibelan itu pula orang tua harus memiliki wawasan yang kaya dalam melayani kebutuhan belajar anak-anak. Orang tua membutuhkan panduan untuk membimbing anak-anak, meski tidak selalu harus menjadi guru dalam pengertian guru yang berdiri di depan kelas. Tidak semua orang tua siap dengan kondisi fleksibel dan serba harus menyiapkannya sendiri. Hal itu pula nampaknya yang memicu munculnya “sekolah-sekolah” homeschooling. Dengan menyadari bahwa tidak semua peminat homeschooling adalah orang-orang yang siap dari sisi mental dan juga skill, banyak lembaga-lembaga berlabelkan homeschooling berdiri di tengah-tengah kita.

Homeschooling bagi saya adalah pendidikan alternatif yang berbasis rumah. Namun faktanya, makna homeschooling kini menjadi bias. Menjamurnya “sekolah” berlabel homeschooling di beberapa tempat, khususnya Jakarta dan Bandung, membuat homeschooling memang hanya sebuah istilah yang tak bisa dicerna dari akar kata. Sama halnya ketika kita menamai sebuah tempat dengan sebutan cipanas tapi udara dan air di tempat itu ternyata dingin.

Setelah melewati berbagai pengkajian pribadi, saya bisa katakan bahwa homeschooling membutuhkan pertanggungjawaban. Jangan sampai wacana homeschooling hanya menjadi pemicu untuk merebaknya gerakan anti sekolah yang didasari oleh kemalasan. Karena bukan tidak mungkin, peminat homeschooling yang tidak siap secara mental dan skill, mereka tak hanya meninggalkan sekolah tapi juga meninggalkan belajar.

Homeschooling itu memang asyik, tapi tetap ada resikonya. Perhitungkan dengan matang untuk memilih homeschooling, sampai kita yakin betul bahwa pilihan itu memang paling tepat dan sesuai dengan kondisi dan kesiapan kita serta anak-anak. Seorang peminat homeschooling yang benar-benar serius, menurut saya bahkan harus memperhitungkan untuk siap dengan kondisi paling buruk, misalnya tanpa ijazah. Itu memang pilihan radikal, tapi ketika tujuan pendidikan pribadi sudah ditetapkan, hal itu bukanlah persoalan besar.

Keberadaan ijazah pada mulanya, bisa jadi memiliki tujuan filosofis yang lebih tinggi dari sekedar tanda lulus. Ijazah adalah simbol dari keseriusan belajar anak sekolah dalam masa pendidikannya. Kalau kemudian terjadi degradasi nilai pada ijazah, itulah anomali dari sebuah konsep. Kita pun akan menemukan hal itu di bidang apapun di luar bidang pendidikan.

Meskipun banyak persoalan terjadi di dunia pendidikan, untuk menyelesaikannya tidaklah bisa dengan cara-cara impulsif, saling curiga, dan menghakimi. Kalau homeschooling itu bisa menjadi salah satu pilihan di antara banyak pilihan yang ada, cari tahu dan pahami lebih dulu dengan sedalam-dalamnya. Mengalirlah seperti air, temukan hal-hal baru, dan teruslah belajar. Karena hanya dengan belajar kita bisa menemukan kearifan dari setiap pengetahuan dan pendapat yang hidup di sekeliling kita.

Sumber: http://duniaparenting.com/homeschooling-dan-kesiapan-orang-tua/

Homeschooling, Bukan Musuh Sekolah Formal

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.





"" DAMA tampak begitu antusias memperhatikan penjelasan Ny. Ika tentang kelelawar dari buku Jendela Iptek Seri Ekologi. Anak dan ibu ini begitu asyik... ""
DAMA tampak begitu antusias memperhatikan penjelasan Ny. Ika tentang kelelawar dari buku Jendela Iptek Seri Ekologi. Anak dan ibu ini begitu asyik belajar sambil duduk di lantai, tanpa menghiraukan orang-orang lewat di depan mereka.
 “Kalau kelelawar makannya apa, Ma? Kayak Batman, ya?” ungkap bocah tiga tahun ini sambil menunjuk gambar hewan nokturnal yang terpampang di buku tadi. Ny Ika sejenak membaca teks gambar.
 “Kelelawar ini makannya buah-buahan dan serangga. Coba lihat gambar binatang di halaman sebelahnya. Binatang apa, ya? Warnanya black and white seperti tapir yang kita lihat di halaman sebelumnya,” ungkap sang ibu sambil tersenyum.
Di sudut lain Kantor Cabang Homeschooling Kak Seto (HSKS) Bandung yang dikenalkan ke publik sejak 19 Januari 2008, terlihat seorang anak perempuan usia dua tahunan. Ia asyik mengamati kumpulan ikan sambil berusaha memasukkan tangan ke dalam akuarium.
Ibunya mengamati dari jarak setengah meter sambil terus berkomunikasi. Seringkali sang ibu berhasil menarik perhatian putrinya. Sehingga mereka bisa bernyanyi bersama, menari, membuat gerakan lucu, dan saling merespons dengan bahasa gestural.
Sepintas aktivitas tadi hanyalah kegiatan bermain antara orangtua dan anak. Namun bila dicermati para orangtua itu tengah menerapkan konsep homeschooling, yang salah satu kriterianya menempatkan anak sebagai subyek pendidikan.
Tokoh pendidikan anak Seto Mulyadi, menjelaskan dalam konsep homeschooling, orangtua atau orang dewasa berperan sebagai tutor atau pembimbing. Kegiatan belajar dirancang fleksibel sehingga homeschooler (peserta homeschooling) merasa nyaman belajar di mana saja.
 “Anak-anak bisa memperoleh banyak ilmu yang bisa langsung diimplementasikan. Sebab konsep homeschooling dirancang untuk meningkatkan life skill anak-anak sesuai minat dan bakat mereka,” jelas Kak Seto.
Penerapan konsep homeschooling di Indonesia, merupakan satu upaya masyarakat melaksanakan program wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) sembilan tahun. Pemerintah berharap angka partisipasi kasar pendidikan anak-anak bisa memenuhi target hingga 95 persen.

Tapi di lapangan masih banyak anak-anak tak bisa masuk sekolah formal, karena tiga sebab. Secara psikologis anak tak cocok dengan metode belajar sekolah formal, secara finansial orangtua tak sanggup membiayai pendidikan anak. Atau karena letak sekolah sangat jauh dengan tempat tinggal mereka.
 “Jadi, homeschooling bukan musuh bagi sekolah formal. Bukan pula bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap sekolah formal. Konsep ini sebatas alternatif agar anak bisa belajar lebih nyaman tanpa dibebani banyak tugas atau dipaksa ikut disiplin seperti robot. Perlu diingat undang-undang kita mengatur tentang wajib belajar. Bukan wajib sekolah,” tegas Kak Seto.

Hambatan Teknis dan Khawatir Ijazah
STEVANUS, seorang warga Kota Bogor, mengaku sempat ragu menjalani konsep home schooling. Pria berkulit putih ini khawatir apa ia dan istri bisa mendidik putra mereka Jose (9) melalui cara belajar seperti ini. Setelah melakukan konsultasi dengan staf HSKS Jakarta, Stevanus mengambil program distance learning. Silabus dari tenaga ahli pendidikan di lembaga ini, menuntun tahap demi tahap apa yang perlu Stevanus ajarkan kepada Jose serta apa tujuannya.
 “Ternyata memang pelaksanaannya begitu fleksibel. Jose bahkan bisa belajar di kantor saya. Buat saya semua ini pengalaman berharga, dapat mengajarkan anak secara langsung. Kalaupun ada kendala kami bisa konsultasikan lewat komunitas home schooling,” ungkap Stevanus.
Kekawatiran lain orangtua melaksanakan home schooling yaitu masalah legalitas dan ijazah. “Secara pribadi saya ingin tahu apa kalau ikut home schooling anak saya nanti bisa dapat ijazah setara SD, SMP, dan SMA? Apa bisa lanjut ke perguruan tinggi?” ungkap Ny. Ika.
Kasubdin Dikluseporabud Disdik Kota Bandung, Wawan Dewanta, menjelaskan pemerintah memiliki program akselerasi pendidikan me­lalui program kejar paket A (setara SD), paket B (setara SMP), dan paket C (setara SMA).
 “Tapi sebelum ujian kesetaraan, peserta program kejar lebih dulu belajar di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat atau PKBM yang didirikan pemerintah. Beberapa perguruan tinggi di Bandung bisa menerima peserta program kejar paket C, selama ia lulus tes masuk. Hingga kini kami masih pelajari aturan teknis pemerintah pusat tentang peserta pendidikan homeschooling,” jelas Wawan.

Lebih Banyak Teman
SUATU penelitian di Amerika Serikat mengungkap homeschooler memiliki nilai akademik sekaligus keterampilan sosial lebih tinggi, diban­ding anak-anak di sekolah biasa. Sebab di sekolah umum anak tetap digabung dengan teman yang itu-itu juga. Meski tiap tahun mereka naik kelas. Sementara home schooler diajarkan empati supaya bisa bersosialisasi dengan siapapun. Termasuk dengan teman-teman baru di lingkungan baru. Bahkan karena sifat yang fleksibel beberapa kali homeschooler belajar di tenda pengungsi bersama anak-anak korban bencana.
Sampai sekarang memang masih ada orang keliru terhadap home schooling. Mereka mengatakan home schooling hanya cocok diterapkan buat anak-anak yang punya masalah interaksi dengan orang lain. Semoga penelitian di Amerika Serikat serta praktik konsep home schooling di Indonesia bisa meluruskan anggapan keliru tadi.


Format Homeschooling:

1.  Home schooling Tunggal
     Kegiatan belajar dilakukan satu keluarga tanpa bergantung dengan lainnya.
2.  Home schooling Majemuk
     Kegiatan belajar dilakukan dua keluarga atau lebih yang satu sama lain saling bekerjasama.
3.  Home schooling Komunitas
     Gabungan beberapa home schooling yang menyusun dan menentukan silabus, bahan ajar, kegiatan pokok, sarana/prasarana dan jadwal pembelajaran.

Sumber: http://pnfi.kemdiknas.go.id/publikasi/read/20080115133404/Homeschooling-Bukan-Musuh-Sekolah-Formal.html

HOME SCHOOLING SEBAGAI ALTERNATIF PEMBELAJARAN FORMAL

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.

Disarikan dari: http://tokay.blog.uns.ac.id/2010/01/10/home-schooling-sebagai-alternatif-pembelajaran-formal-boy/comment-page-1/#comment-24





LATAR BELAKANG
Menurut Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, jenis pendidikan di Indonesia terbagi menjadi tiga jalur, yaitu jalur formal, nonformal, dan informal. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Di masyarakat, pendidikan formal biasa dikenal sebagai SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Dalam pendidikan formal, siswa belajar dan dididik menurut kurikulum tertentu, diadakan di sekolah, serta belajar menurut materi ajar dan jadwal yang ditetapkan sebelumnya.
Manusia adalah makhluk yang unik, memiliki karakteristik masing-masing, kemampuan yang berbeda, serta kebutuhan yang berbeda pula. Maka bukanlah hal yang mengejutkan jika ada sekelompok siswa yang tidak cocok dengan sistem pendidikan formal. Jika siswa tidak dapat mengikuti pendidikan formal di sekolah karena alasan tertentu, ia berhak untuk memilih pendidikan alternatif lain yang dapat memenuhi haknya sebagai warga negara untuk belajar. Karena setiap anak berhak mendapatkan pendidikan, dalam bentuk apapun. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 31 ayat 1 menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Setiap orang tua menghendaki anak-anaknya mendapat pendidikan yang berkualitas, serta nilai-nilai iman dan moral yang tertanam dengan baik. Namun, melihat fakta bahwa tidak semua siswa merasa cocok dengan pembelajaran yang dilakukan di kelas, tidak terpenuhinya kebutuhan siswa karena keterbatasan waktu dan materi yang padat, kurang berkembangnya kemampuan siswa dalam bidang non-akademik karena tidak setiap sekolah mempunyai fasilitas untuk mengembangkannya, serta kurangnya pengembangan di bidang keagamaan, muncullah ide orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya di rumah. Hal ini yang menjadi latar belakang berdirinya home schooling. Keberadaan home schooling yang sah di mata Undang-undang membuat home schooling menjadi pendidikan alternatif yang akhir-akhir ini mulai banyak dipraktekkan oleh masyarakat Indonesia.

PENGERTIAN HOME SCHOOLING
Istilah home schooling berasal dari bahasa Inggris yang berarti sekolah rumah. Home schooling dikenal juga dengan nama homeschooling, home-based education, home education, home-schooling, unschooling, deschooling, a form of alternative education, sekolah mandiri atau sekolah rumah. Pengertian umum home schooling adalah model pendidikan dimana sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya. Memilih untuk bertanggungjawab berarti orangtua terlibat langsung menentukan proses penyelenggaraan pendidikan, penentuan arah dan tujuan pendidikan, nilai-nilai yang hendak dikembangkan, kecerdasan dan keterampilan, kurikulum dan materi, serta metode dan praktek belajar (Sumardiono dalam Simbolon: 2008).

SEJARAH HOME SCHOOLING
Menurut John Cadlwell Holt (Simbolon, 2008), filosofi berdirinya home schooling adalah manusia pada dasarnya makhluk belajar dan senang belajar, kita tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur, atau mengontrolnya. Didorong oleh filosofi tersebut, pada tahun 1960-an terjadi perbincangan dan perdebatan luas mengenai pendidikan sekolah dan sistem sekolah. Sebagai guru dan pengamat anak dan pendidikan, Holt menyatakan bahwa kegagalan akademis pada siswa tidak ditentukan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh sistem sekolah itu sendiri. Pada waktu yang hampir bersamaan, akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, Ray dan Dorothy Moor melakukan penelitian mengenai kecenderungan orang tua menyekolahkan anak lebih awal (early childhood education). Penelitian mereka menunjukkan bahwa memasukkan anak-anak pada sekolah formal sebelum usia 8-12 tahun bukan hanya tak efektif, tetapi sesungguhnya juga berakibat buruk bagi anak-anak, khususnya anak-anak laki-laki karena keterlambatan kedewasaan mereka (Sumardiono dalam Simbolon, 2008). Setelah pemikirannya tentang kegagalan sistem sekolah mendapat tanggapan luas, kemudian Holt menerbitkan karyanya yang lain Instead of Education dan Ways to Help People Do Things Better pada tahun 1976. Buku ini mendapat sambutan hangat dari para orangtua pendukung home schooling di berbagai penjuru Amerika Serikat. Pada tahun 1977, Holt menerbitkan majalah untuk pendidikan di rumah yang diberi nama Growing Without Schooling. Serupa dengan Holt, Ray dan Dorothy Moore kemudian menjadi pendukung dan konsultan penting home schooling. Setelah itu, home schooling terus berkembang dengan berbagai alasan. Selain karena alasan keyakinan (beliefs), pertumbuhan home schooling juga banyak dipicu oleh ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah formal.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB LAHIRNYA HOME SCHOOLING
1. KEGAGALAN SEKOLAH FORMAL
Kegagalan sekolah formal dalam menghasilkan mutu pendidikan yang lebih baik menjadi pemicu bagi keluarga-keluarga di Indonesia maupun di mancanegara untuk menyelenggarakan home schooling karena dinilai dapat menghasilkan pendidikan bermutu.
2. SOSOK HOME SCHOOLING TERKENAL

Banyaknya tokoh-tokoh penting dunia yang bisa berhasil dalam hidupnya tanpa menjalani sekolah formal juga memicu munculnya home schooling. Misalnya Benyamin Franklin, Thomas Alfa Edison, serta tokoh dalam negeri seperti K.H. Agus Salim dan Ki Hajar Dewantara.
3. TERSEDIANYA SARANA PENDUKUNG
Perkembangan home schooling ikut dipicu oleh perkembangan sarana dan fasilitas. Fasilitas itu antara lain fasilitas pendidikan (perpustakaan, museum, lembaga penelitian), fasilitas umum (taman, stasiun, jalan raya), fasilitas sosial (taman, panti asuhan, rumah sakit), fasilitas bisnis (mall, pameran, restoran, pabrik, sawah, perkebunan), dan fasilitas teknologi dan informasi (internet dan audiovisual).

KURIKULUM DAN MATERI PEMBELAJARAN HOME SCHOOLING
Kurikulum pembelajaran home schooling adalah kurikulum yang didesain sendiri namun tetap mengacu kepada kurikulum nasional. Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Bryan Ray menunjukkan bahwa mayoritas home schoolers (71%) memilih sendiri materi pembelajaran dan kurikulum dari kurikulum yang tersedia, kemudian melakukan penyesuaian agar sesuai dengan kebutuhan anak-anak dan keadaan keluarga. Selain itu, 24% diantaranya menggunakan paket kurikulum lengkap yang dibeli dari lembaga penyedia kurikulum dan materi ajar. Sekitar 3% menggunakan materi dari sekolah satelit (partner home schooling) atau program khusus yang dijalankan oleh sekolah swasta setempat.

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN HOME SCHOOLING
1. KELEBIHAN
Memberi banyak keleluasaan bagi anak untuk menikmati proses belajar tanpa harus merasa tertekan dengan beban-beban yang terkondisi oleh target kurikulum.
Menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, lingkungan sosial dan suasana belajar yang lebih baik.
Menghindari penyakit sosial yang dianggap orang tua dapat terjadi di sekolah seperti tawuran, kenakalan remaja (bullying), narkoba dan pelecehan.
Memberikan keterampilan khusus yang menuntut pembelajaran dalam waktu yang lama seperti pertanian, seni, olahraga, dan sejenisnya.
Memberikan kehangatan dan proteksi dalam pembelajaran terutama bagi anak yang sakit atau cacat.
2. KEKURANGAN
Tidak adanya suasana kompetitif sehingga anak tidak bisa membandingkan sampai dimana kemampuannya dibanding anak-anak lain seusianya.
Keterampilan dan dinamika bersosialisasi dengan teman sebaya relatif rendah.
Ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim (team work), organisasi dan kepemimpinan.
Proteksi berlebihan dari orang tua dapat memberikan efek samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi dan masalah sosial yang kompleks yang tidak terprediksi.

DASAR HUKUM HOME SCHOOLING
Keberadaan home schooling legal di mata hukum Indonesia. Home schooling termasuk kategori pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Negara tidak mengatur proses pembelajarannya, tetapi hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan. Hal ini termuat dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengenai pendidikan informal.
Selanjutnya, ketentuan mengenai kesetaraan diatur dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 26 ayat (6): “Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.”. Siswa yang mengikuti home schooling akan memperoleh ijazah kesetaraan yang dikeluarkan oleh Depdiknas yaitu Paket A setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C setara SMU. Ijazah ini dapat digunakan untuk meneruskan pendidikan sekolah formal yang lebih tinggi.

MODEL- MODEL HOME SCHOOLING
Menurut Depdiknas (Sumardiono, 2006), home schooling (sekolah rumah) pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) Sekolah rumah tunggal, yaitu layanan pendidikan yang dilakukan oleh orang tua/wali terhadap seorang anak atau lebih terutama di rumahnya sendiri atau di tempat-tempat lain yang menyenangkan bagi peserta didik, dan (2) Sekolah rumah majemuk, yaitu layanan pendidikan yang dilakukan oleh para orang tua/wali terhadap anak-anak dari suatu lingkungan yang tidak selalu bertalian dalam keluarga, yang diselenggarakan di beberapa rumah atau di tempat/fasilitas pendidikan yang ditentukan oleh suatu komunitas pendidikan yang dibentuk atau dikelola secara lebih teratur dan terstruktur.

HOME SCHOOLING DI INDONESIA

Perkembangan home schooling di Indonesia belum diketahui secara pasti karena belum ada penelitian khusus tetang asal mula perkembangannya. Namun, sebenarnya ada beberapa home schooling yang muncul di sekitar kita salah satunya adalah home schooling kak seto dengan metode mengajar yang unik school home kak seto mengutamakan kenyamanan si anak dalam belajar. Di home school kak seto tidak hanya mendidik anak secara biasa tetapi juga mendidik secara mental dan school home kak seto merupakan solusi dalam mencari homeschooling berkualitas di indonesia. Tak hanya di jakarta home schooling kak seto didirikan home school kak seto juga ada di cirebon dan bandung Dengan metode pengajaran yang tepat menjadikan homeschooling kak seto merupakan pilihan yang terbaik para pencari homeschooling di jakarta maupun di bandung atau corebon. Dengan metode dari kak seto yang membimbing mental anak kak seto juga memberikan metode untuk pengajaran yang baik sesuai umur sang anak. Homeschooling kak seto merupakan pilihan yang baik bagi orang tua yang ingin memberikan home schooling bagi anaknya. Jika dilihat dari konsep home schooling sebagai pembelajaran yang tidak berlangsung di pendidikan formal, ternyata home schooling telah dipraktekkan oleh beberapa tokoh seperti K.H. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka. K.H.Agus Salim memilih untuk mendidik anak-anaknya sendiri di rumah sehingga mereka tidak hanya pandai membaca, menulis dan berhitung, tetapi juga memperdalam keislaman dan menguasai berbagai bahasa asing. Sementara itu, jika merunut pengertian home schooling ala Amerika Serikat, home schooling di Indonesia sudah sejak tahun 1990-an. Saat ini, perkembangan home schooling di Indonesia dipengaruhi oleh akses terhadap informasi yang semakin terbuka dan membuat para orang tua memiliki semakin banyak pilihan untuk pendidikan anak-anaknya.

KESIMPULAN
Home schooling dapat dijadikan sebagai pendidikan alternatif bagi masyarakat yang tidak merasa cocok dengan kurikulum pendidikan formal seperti kurangnya penekanan pada pendidikan keimanan maupun materi ajar yang padat serta keinginan untuk meluangkan waktu yang lebih banyak bersama anaknya. Keberadaan home schooling sebagai pendidikan alternatif di Indonesia sangat penting mengingat fleksibilitas home schooling yang dapat dilakukan dimana saja, oleh siapa saja, dan kapan saja.

DAFTAR PUSTAKA

Ikhsan, M. (2006). Pendidikan Alternatif di Indonesia. [Online]. Tersedia: http://teknologipendidikan.wordpress.com/2006/09/12/pendidikan-alternatif-di-indonesia/.
Simbolon, P. (2008). Homeschooling sebagai Pendidikan Alternatif. [Online]. Tersedia: http://pormadi.wordpress.com/2007/11/12/homeschooling/.
Sumardiono (2006). Model Home Schooling. [Online]. Tersedia: http://www.sumardiono.com/index.php?option=com_content&task=view&id=310&Itemid=80.
_____. (2007). Homeschooling Semakin Meluas. [Online]. Tersedia: http://www.sumardiono.com/index.php?option=com_content&task=view&id=698&Itemid=79.
Undang-Undang Sisdiknas. Jakarta: Sinar Grafika _____. Pendidikan Formal. [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_formal.

Rabu, 25 Agustus 2010

Promo Berkah Ramadhan dari Indismart

Segera bergabung di www.indi-smart.com





Kabar gembira, sebagai bentuk penghargaan kami kepada masyarakat Indonesia atas antusiasmenya bergabung dengan Indismart, kami menggelar promo Berkah Ramadhan. Dalam promo ini, setiap 5 orang pendaftar bersamaan/kolektif, pendaftar akan mendapatkan 10 akun Indismart.  Dengan mengikuti paket ini, Anda telah berhemat 50%. Promo ini berlaku hingga Kamis, 2 September 2010.


Terdapat dua cara untuk memanfaatkan promo ini: pertama, melalui cara transfer, dan kedua melalui pembelian voucher. Dengan promo ini, Anda hanya mengeluarkan Rp 330.000.- dari yang seharusnya Rp 660.000.- untuk mendapatkan 10 akun Indismart selama setahun penuh. Untuk pemesanan dan informasi, silakan hubungi 022 71294696. Promo ini terbatas bagi 50 pendaftar pertama paket Berkah Ramadlan.


Segeralah bergabung! Ramadhan lebih seru dengan Indismart! Ngabuburit jadi lebih bermanfaat! Indismart, hadiah terbaik untuk pelajar… www.indi-smart.com

Sabtu, 21 Agustus 2010

Mengajak Anak Berpikir Saat Membaca

Segera bergabung di www.indi-smart.com, dan dapatkan ratusan konten pembelajaran online interaktif untuk pelajar.


by em





diambil dari www.orgsites.com

Beberapa teman mengaku kebingungan saat membacakan buku untuk anaknya. Selain tidak biasa, mereka juga menanyakan bagaimana cara membacakan buku yang benar untuk anak-anak. Seperti mendongeng, membacakan buku pun tidak mempunyai teori yang pasti. Teori tentang membacakan buku untuk anak lebih berkaitan dengan efek kegiatan membaca itu sendiri. Membacakan buku merupakan keterampilan teknis yang apabila sering kita lakukan, maka semakin pandailah kita. Kalaupun ada artikel berisi tips-tips membacakan buku untuk anak, penerapannya bergantung pada berbagai hal yang berhubungan dengan situasi dan kondisi, seperti usia dan karakter anak, jenis buku, dan lain sebagainya.

Teknik membacakan buku untuk anak dikenal dengan sebutan Read Aloud. Teknik ini meminta orang dewasa untuk membacakan buku dengan bersuara pada anak-anak. Read Aloud percaya bahwa awalnya anak-anak mencerap kata-kata melalui pendengaran. Dalam Read Aloud, anak-anak dikenalkan pada bahasa tulisan (yang dilisankan) sebelum akhirnya mereka bisa membaca tulisan itu sendiri. Buku menjadi prasyarat utama ketika hendak melakukan Read Aloud. Oleh karena itu, semakin sering kita melakukan Read Aloud semakin besarlah minat anak untuk membaca buku.

Beberapa penelitian mengungkapkan, Read Aloud dapat mengembangkan kemampuan anak  dalam berbahasa. Read Aloud dianggap sebagai cara paling baik untuk mempersiapkan anak belajar membaca dan menjaga minatnya dalam membaca. Dengan Read Aloud kita juga mengajak anak mengenal elemen-elemen cerita seperti karakter, plot, dan melakukan prediksi. Selain itu, membacakan buku kepada anak juga dapat mempererat ikatan emosional antara orang tua dan anaknya. Ketika kita membacakan buku kepada anak, pada dasarnya kita juga sedang berbagi petualangan bersama mereka.

Melakukan Read Aloud bukan hal yang mahal dan susah. Modalnya  cukup rasa cinta kita untuk berbagi kesenangan membaca kepada anak. Namun, memang seringkali orang dewasa tidak percaya diri dalam melakukannya. Kalau Anda pernah menonton film Despicable Me, Anda pasti ingat dengan adegan di mana Gru, tokoh utama yang jahat, terpaksa membacakan buku kepada 3 anak yang diadopsinya. Cara Gru membacakan tidak menarik sekali, namun anak-anak tetap antusias dengan isi buku itu. Dari sini kita harus bisa yakin bahwa anak-anak di manapun sebenarnya senang mendengarkan cerita.

Lalu bagaimana cara membacakan buku kepada anak? Pakailah gaya Anda. Tidak harus memiliki bakat khusus pendongeng seperti mengubah suara atau membuat bermacam mimik. Kalau memang Anda memilikinya, itu akan menjadi nilai tambah. Selama suara dan intonasi yang Anda lakukan jelas, anak-anak akan dengan senang hati mendengarkannya. Pilih buku yang sesuai dengan usia anak, lihat apakah kata-kata dalam buku itu bisa dipahami anak seusianya.

Karena tujuan Read Aloud adalah mengenalkan bahasa teks pada anak, sepanjang Read Aloud sebaiknya kita juga menunjuk kata-kata yang sedang kita bacakan kepada anak. Dengan begitu anak-anak paham bahwa setiap kata yang kita bacakan memiliki simbol yang merepresentasikannya. Inilah yang akhirnya mendorong anak untuk ingin segera bisa membaca dan mempelajari huruf-huruf di buku tersebut.

Usai membacakan buku adalah waktu yang tepat untuk mendiskusikan isi buku bersama anak. Sebelum membaca sebaiknya kita membaca dulu isi buku tersebut sehingga kita dapat memilih apa yang akan kita diskusikan.

Nah, kalau Anda sudah melakukan Read Aloud, jangan lupa juga melakukan Think Aloud. Apakah gerangan itu? Ketika kita membaca sesungguhnya kita juga melakukan kegiatan berpikir. Kita mengaitkan, mempertanyakan, memprediksi, membayangkan, menilai, dan menyimpulkan apa yang sedang kita baca. Dengan begitu kita memahami dan memberi makna pada bacaan.

Think Aloud adalah teknik memverbalkan atau melisankan pikiran yang melintas ketika kita sedang membaca. Teknik ini penting untuk memberi contoh kepada anak-anak bagaimana cara berpikir sepanjang membaca buku sehingga mereka dapat melakukannya saat mereka membaca secara independen. Seperti Read Aloud, kita juga menggunakan suara saat membacakan buku. Namun, di sela-sela pembacaan kita memberi komentar kepada isi buku yang sedang dibaca. Tidak perlu meminta respon dari anak-anak ketika Anda melakukan Think Aloud. Anak-anak hanya perlu melihat bagaimana kita berpikir saat membaca dengan memperhatikan komentar-komentar kita dan memberi kesimpulan di akhir bacaan.

Seperti halnya Read Aloud, Think Aloud pun tidak sulit untuk dilakukan karena kita sudah punya modal dalam diri kita, yaitu berpikir. Pertama, bacalah terlebih dahulu buku yang hendak dibacakan. Perkirakan bagian mana saja yang akan dikomentari. Beri tanda dengan menempelkan post it pada bagian cerita yang hendak Anda komentari. Setelah membaca, lihat kembali apakah post it telah menempel pada bagian yang benar-benar Anda akan komentari dan apakah komentar yang akan diberikan cukup memberi kemampuan berpikir yang tepat pada anak. Berikut beberapa strategi berpikir yang dapat gunakan untuk melakukan Think Aloud:
Kaitkan isi bacaan dengan kehidupan nyata. Misal, apabila ada adegan gempa bumi dalam sebuah cerita, kita bisa berkomentar, “Aku juga pernah mengalami gempa bumi, rasanya bumi bergetar dan membuatku pusing.” Kalimat lain yang dapat digunakan antara lain, “Aku jadi ingat dengan…,” “Ingat tidak, kita kan pernah mengalami hal yang sama saat…”, atau “Di Indonesia tidak ada musim salju, tapi kita punya…”
Menebak atau memprediksi isi bacaan selanjutnya. Misal, ketika bacaan menjelaskan tentang sebuah negeri,  kita berkomentar, “Aku jadi ingin tahu siapa saja yang hidup di negeri ajaib ini.” Beberapa kalimat yang dapat digunakan antara lain, “Aku rasa aku tahu apa yang akan terjadi kemudian, sepertinya…,” “Dia akan mengalami masalah apabila…,” atau “Aku rasa dia akan belajar tentang…”
Membayangkan atau menggambarkan isi bacaan. Misalnya dengan berkomentar, “Duh, aku bisa membayangkan bagaimana malunya sang raja berjalan tanpa pakaian.” Beberapa kalimat yang bisa digunakan antara lain, “Walaupun tidak ada dalam gambar, aku bisa tahu bahwa…,” “Aku bisa merasakan bagaimana…,” “Ini membuatku takut ketika…,” atau “Sebentar, aku rasa aku bisa mencium…”
Memberi kesimpulan pada bacaan. Misalnya dengan berkomentar “Aku rasa seharusnya dia merasa bersalah karena mencuri kue itu dari kawannya”. Kalimat lain yang dapat digunakan antara lain: “sejauh ini aku belajar tentang…”, “Aku tidak tahu alasannya, tapi aku kira….”, atau “Sejauh ini, bagian paling menari adalah …”.
Mempertanyakan isi bacaan. Misalnya dengan berkomentar, “Aku jadi ingin tahu mengapa mereka berkelahi.” Kalimat lain yang dapat digunakan antara lain, “Aku jadi ingin tahu apa maksudnya…,” “Sangat tidak masuk akal saat…,” atau “Coba aku baca lagi, rasanya aneh sekali bahwa…”
Memberi penilaian terhadap isi bacaan, Misalnya dengan berkomentar, “Aku sangat suka bagaimana penulis menggambarkan kuenya. Lucu sekali.” Kalimat lain yang dapat digunakan antara lain, “Bagian paling menarik dari cerita ini adalah…,” “Yang tidak aku suka dari buku ini adalah…,” “Sangat menyenangkan mengetahui bahwa…” atau “Seandainya aku…” .

Strategi-strategi di atas merupakan contoh, Anda bisa mengembangkannya sesuai dengan cara berpikir Anda sendiri. Yang pasti, anak akan belajar dari apa yang kita lakukan pada mereka. Satu kutipan dari Center for the Improvement of Early Reading Achievement (CIERA) mudah-mudahan bisa mengingatkan, “one of the ways in which students become fluent readers is by listening to good models of fluent reading“. Kalau kita ingin anak kita memiliki kemampuan membaca yang baik, kita pun harus menunjukkan diri sebagai pembaca yang baik.

sumber: http://omemdisini.com/mengajak-anak-berpikir-saat-membaca/

Permainan untuk Balita Anda (klik play, pilih lagu di kiri, lalu tekan sembarang tuts)